Kamis, 17 April 2008

Dilema empirik hari ini...

Hari ini Jum'at 18 April 2008. Tadi malem Bapak Jogja menelpon dan sms kepadaku bahwa Ibu Jogja akan berkunjung ke Jakarta, khususnya untuk menengok kabar dan keberadaan anak-anakku HDSF, cucu-cucu mereka. Melalui telpon kita telah sepakat bahwa Ibu Jogja sore hari ini akan dijemput oleh Encik dan SF di stasiun Bekasi. Beliau naik kereta Fajar Utama Jogja, berangkat pagi dan sore hari ini akan tiba di stasiun Bekasi. Beliau aku sarankan untuk naik Kereta Eksekutif Taksaka, namun beliau lebih memilih naik kereta bisnis. Alasannya karena kereta itu turun langsung di stasiun Bekasi, sedangkan Kereta Taksaka harus turun di stasiun Gambir atau stasiun Jatinegara. Tadinya aku juga ingin menyarankan beliau agar naik kereta sorenya, agar aku bisa menjemput beliau pada hari Sabtu pagi, dimana hari itu libur, namun ternyata beliau sudah mendapatkan tiket kereta.

Ini adalah kunjungan mereka yang pertama di rumah kontrakanku. Rumah kontrakanku yang kondisinya masih apa adanya. Suasana yang sempit, tidak ada asesories selengkap sebagaimana di rumah sendiri, tidak ada AC, tidak ada kulkas, mesin cuci, tidak ada kursi tamu, ruangan yang sempit, ketersediaan peralatan yang masih ala kadarnya. Ini adalah masa dimana aku mengajak anak-anak dengan untuk menghadapi kondisi apa adanya. Dan sejauh ini, aku melihat tidak ada perubahan psikologis pada diri anak-anak. Beberapa kali saat aku bersama mereka mengunjungi rumah kami di kompleks Bekasi Jaya Indah yang berjarak beberapa ratus meter dari rumah kontrakan ini, aku selalu menawarkan apakah mereka ingin kembali ke rumah kami saat ini, dan mereka selalu menjawab bahwa senentara ini masih ingin tinggal di rumah kontrakan. Aku bersyukur bahwa anak-anak bisa fleksibel terhadap kondisi yang memang harus kita hadapi. Fleksibilitas mereka akan menambah kekuatan moral dan mentalku untuk memandang secara optimis terhadap masa depan. Mereka tidak pernah mengeluh karena lokasi rumah kontrakan yang berbeda dengan kompleks perumahan kami. Kondisi sekitar rumah kami dapat dikatakan adalah komunitas para urban. Sejauh mata memandang, yang ada adalah para keluarga kontraktor, yang setiap tahun harus memperbaharui dan memperpanjang kontrakan rumahnya. Sebelumnya aku tidak pernah mengira bahwa ada suatu area dimana sebagian besar diisi oleh para kontraktor, yang ternyata itu benar-benar ada dan tidak jauh dari lokasi rumahku. Kemaren malam, aku sempat mentraktir beberapa penghuni rumah kontrakan di sekitarku. Seorang ibu bilang kepadaku bahwa dia mengontrak rumah itu sejak tahun 1990. Dan yang seperti itu katanya sebagian besar penghuni rumah kontrakan di sekitar lingkungan rumah kontrakanku. Artinya, mereka adalah kontraktor permanen.

Aku sempat berpikir betapa bersyukurnya aku yang sampai saat ini masih memiliki rumah sendiri, meskipun saat ini kondisinya tidak jelas. Juga, masih ada satu buah ruko di dekat terminal Bekasi. Kondisinya saat ini masih sepi namun prospek kedepan kayaknya tidak terlalu jelek, karena disamping kompleks ruko akan dibangun stasiun kereta api Bekasi untuk jalur luar kota. Aku mestinya juga sempat beryukur pernah memiliki beberapa rumah dalam waktu yang bersamaan. Rumah di kompleks Telkom jatiasih yang asli dan dekat pintu tol juga rumah di Graha Harapan Bekasi yang areanya cukup berkembang karena dekat kompleks Grand Wisata. Anak-anak pun sudah biasa setiap weekend kita ajak jalan ke Jakarta atau setiap cuti berwisata ke luar kota. Minimal dengan mobil sendiri kita menyusuri beberapa kota di Jawa Barat dan bermalam di beberapa tempat yang udaranya dingin. Selama ini mereka juga diasuh oleh baby sitter ataupun pembantu yang kita upgrade menjadi semacam baby sitter, dan anak-anak biasa mendapatkan perlakuan dan pengawasan yang relatif intens dari mereka.

Sekarang ini kondisinya jelas-jelas berbeda. Dengan berbagai keterbatasan mereka berkembang menjadi anak-anak yang ternyata bisa fleksibel dengan keadaan. Aku bersyukur bahwa mereka tidak pernah mengeluh dengan perubahan ini. Mereka tetap ceria. Mereka tetap optimis. Mereka juga telah mengenal kebiasaan-kebiasaan yang telah sistemik pada mereka, seperti kebiasaan mengaji setiap hari ke musholla, sholat berjamaah, belajar dan lain sebagainya.

Pagi ini aku mendapatkan telepon dari seseorang yang aku tidak terlalu mengharapkannya. Seorang teman, kakak kelasku waktu kuliah di Jogja, katakan saja namanya mas Bowo. Dia bekerja di kantor pusat pada perusahaan tempatku bekerja. Level dan grade dia sudah lumayan tinggi, sebagai assistant vice president. Suatu posisi menurutku mestinya dia bisa lebih fokus pada pekerjaannya. Ternyata bagi dia tidak. Mungkin itulah kelebihannya. Dengan jabatannya, dia justru sangat aktif pada kegiatan lain yang disebutnya sebagai bisnis masa depan. Bagiku sendiri itu bukanlah bisnis, melainkan lebih pada kegiatan yang membuang-buang waktu dengan hasil yang tidak jelas. Ya, bisnis multi level marketing namanya. Bisnis yang aku sejak dulu tidak pernah tertarik. Bisnis yang menempatkan seseorang pada dua pilihan, kita dikadalin atau kita mengkadalin seseorang. Mungkin bahasa ini sarkastis, tapi aku betul-betul tidak menemukan istilah lain yang lebih tepat. Mungkin itulah refleksi marketing, dimana pekerjaanku saat inipun dan juga banyak pekerjaan lainnya adalah tidak lepas dari marketing. Yah memang kalo dipikir sebenarnya istilah marketing ini netral yang mestinya menjadi jiwa bagi setiap enterpreneur. Juga, marketing menjadi bahan kajian bagi motivator, dosen, pengamat. Marketing menjadi ilmu yang cukup mahal dan populer bagi dunia bisnis maupun akademik.

Tapi marketing pada bisnis multilevel ini menurutku sudah menjurus pada upaya objektikasi manusia. Manusia benar-benar dijadikan objek, tidak peduli sahabat, teman, kerabat, orang yang baru saja dikenal, orang yang tidak dikenal secara pribadi tapi dikenal melalui referensi, dan lain sebagainya. Pendeknya, setiap ketemu dengan seseorang, seorang marketer mlm pasti akan menjadikannya sebagai prospek dan objek pasarnya. Dia akan mengejar orang tersebut, mempresentasikan hal-hal sedemikian rupa agar yang mendengarkan tertarik dan masuk pada target bisnisnya, entah itu membeli produk atau bergabung menjadi bawahannya atau downlinenya. Dia sudah hampir satu tahun ini dengan sabar dan ketelatenan yang luar biasa, tidak pernah berhenti dan lelah mengajakku untuk bergabung. Hampir setiap saat, secara rutin dia mengirimkan sms-sms yang berisi kata-kata untuk memotivasi bisnis di mlm atau hanya sekadar say hello saja. Kata-kata pada smsnya terkadang sangat panjang. Saat ini bahkan aku tidak ingat, mlm dia itu entah amway ataukah cni namanya.

Secara administratif aku memang sudah bergabung karena telah menjadi downlinenya, tapi nyaris tidak pernah membeli produknya atau aku juga tidak pernah mencari market baru untuk menjadi downlineku yang otomatis juga menjadi downline dia. Aku juga tidak pernah tertarik membawa berbagai media yang dikirimkan oleh mlm itu ke alamat rumahku, dan juga aku tidak pernah tertarik untuk mendengarkan berbagai kaset dan cd yang dipinjamkannya kepadaku. Hanya karena aku ingin menjaga perasaan dia dan menjaga hubungan maka aku tidak secara frontal menolak setiap ajakannya. Terkadang aku berkorban, beli tiket pertemuan yang diadakannnya secara rutin, dan saat acara itu tiba aku bilang ada acara mendadak sehingga tidak dapat hadir pada acaranya.

Hari ini tentunya aku sulit untuk menolak ajakannya. Dia sudah menyediakan tiket seharga Rp. 500.000,- yang didebet dari kartu kreditnya saat malam-malam itu dia berkunjung bersama isterinya sekitar 2 bulan yang lalu ke rumah kami. Itu bukanlah uang yang kecil untuk sebuah acara yang aku tidak terlalu berminat. Lagi-lagi waktu itu aku tidak enak dia sudah jauh-jauh datang ke Bekasi, dan mempresentasikan melalui power point secara pribadi kepadaku, dan ujung-ujungnya mengajak mengikuti seminar bisnis. Katanya, ini adalah seminar regional yang diikuti oleh ribuan peserta dari seluruh wilayah Indonesia, dengan pembicara bla...bla...bla.....

Siang ini aku masih dalam dilematika. Karena seminar itu 3 hari. Padahal hari ini Ibu Jogja baru saja datang di Bekasi. Aku belum memutuskan. Aku nyaris menelepon bahwa malam ini aku tidak bisa hadir, tapi dia keburu meneleponku bahwa nanti malam dia menungguku di Senayan, karena tiket seminar masih ada di tangannya.

Duh Gusti, paringono sabar pada diriku ini untuk menghadapi hal-hal seperti ini.

Memoir 1998: Kegalauan hati di hari pertama bekerja

Beberapa peristiwa yang aku alami pada sekitar tahun-tahun 1998-1999 rasanya sulit untuk aku lupakan begitu saja. Ada beberapa peristiwa yang sebenarnya kalau disajikan secara runtut akan menjadi cerita tersendiri yang sangat memorial bagiku. Tahun itu menjadi tidak terlupakan, saat aku menyelesaikan pelatihan officer development training centre (odtp) pada sebuah bank pemerintah, dengan hasil yang cukup memuaskan. Pada saat itu ada dua tahap pelatihan yang harus kami selesaikan sebagai pegawai baru, yakni pertama keuangan di Jogja yang diadakan secara eksternal dengan pelaksana pelatihan sebuah lembaga pelatihan pada universitas di Jogjakarta selama tiga bulan, sedangkan yang kedua pelatihan internal di Jakarta selama empat bulan. Ada belasan teman kami yang tidak berhasil menyelesaikan standar nilai yang diminta perusahaan sehingga harus dikeluarkan dari kelas. Aku sendiri berhasil menyelesaikan kedua pelatihan tersebut dengan nilai yang cukup memuaskan. --untuk tidak mengatakan bahwa aku salah satu yang terbaik pada pelatihan tersebut.

Aku sendiri tidak terlalu surprised dengan nulai yang kuperoleh, dan aku tidak terlalu enjoy saat aku menerima SK penempatan sebagai pegawai baru. Malah, yang kurasakan saat itu adalah penyesalan, kegamangan dan ketidakpastian apakah aku akan melanjutkan untuk bekerja pada perusahaan tersebut. Kenapa? Karena saat itu aku begitu gamang saat mengetahui bahwa aku ditempatkan di suatu lokasi kantor cabang yang sangat jauh, tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Kalaupun buku peta terbesar yang dijual di gramedia kita letakkan diatas meja, lokasi daerah tersebut kemungkinan tidak akan tergambarkan dengan jelas pada peta tersebut. Kegamanganku itu karena terutama disebabkan aku baru saja menjalani pernikahan, sekitar 10 sebelum keberangkatanku ke lokasi tersebut. Aku ditempatkan di sebuah kota kecamatan yang di pulau Halmahera. Sebuah pulau berbentuk hurufk, mirip pulau Sulawesi dengan ukuran mini. Dari ibukota kabupaten, yakni Ternate, masih harus dicapai dengan naik feri atau speedboat selama satu jam menuju pelabuhan Sidangolo dan dilanjutkan dengan perjalanan darat selama lima jam sampai ke Tobelo. Belakangan karena dampak otonomi daerah maka nama ini dimekarkan menjadi ibukota kabupaten, sedangkan Ternate menjadi ibukota Propinsi Maluku Utara. Di propinsi ini sempat terjadi kerusuhan rasial yang cukup luas, dimana aku sempat mengabadikan diri di tengah-tengah peristiwa kerusuhan tersebut. (Di lain kesempatan aku akan mengulas kembali peristiwa yang kualami pada kerusuhan tersebut). Aku sempat membaca berita teraktual bahwa hari ini DPRD Maluku telah menetapkan pasangan Abdul Gafur-Abdurrahim Fabanyo menjadi Maluku Utara 1 dan 2. Maih kuingat bahwa di tengah-tengah kerusuhan yang terjadi pada tahun 1999 aku bersama seorang teman aktivis Muhammadiyah di Jakarta, sempat berkunjung dan berbincang cukup lama di rumah Pak Abdurrahim Fabanyo, yang saat itu menjadi ketua PAN.

Pagi-pagi Shubuh aku sudah harus berangkat ke bandara, dengan perasaan berkecamuk. Perasaan sedih harus meninggalkan Jakarta, meinggalkan pulau Jawa, dan meninggalkan keluarga. Aku merasa sangat asing dan teralienasi dengan perjalananku ini. Suatu perjalanan yang serasa menekan hatiku pada saat itu. Perjalanan dengan pesawat Garuda saat itu adalah rute terjauh yang kualami selama itu. Perjalanan dari Jakarta saat itu tidak bisa dicapai secara langsung ke lokasi terdekat, melainkan harus transit terlebih dahulu di Makassar. Setelah beberapa jam menunggu di bandara maka perjalanan dilanjutkan ke Manado. Di tempat inipun aku masih harus melakukan menginap semalam di hotel Sahid di Kawanua, karena kebetulan satu-satunya pesawat yang bisa aku tumpangi dari Manado ke Ternate sudah berangkat.

Di kota ini aku secara tidak terduga ketemu dengan salah seorang teman lama. Berhubung perjalananku adalah perjalanan dinas, maka aku dijemput oleh salah pegawai kantor cabang yang ada di kota Manado. Temanku ini, katakanlah namanya Rinto, yang ternyata telah kukenal sebagai kakak kelasku waktu kuliah di Jogjakarta. Sungguh pertemuan yang tidak terduga bahwa di daerah yang aku merasa asing, merasa teralienasi dan merasa gundah luar biasa, ternyata aku bertemu dengan seorang teman yang berasal dari kota yang sama. Dan yang kurasakan sebagai teralienasi ini ternyata tidak hanya kurasakan sendirian, melainkan diapun juga merasakannya. Bedanya, aku baru merasakannya pada hari-hari pertama di perantauan, sedangkan temanku itu terlah bertahun-tahun berada di kota Manado. “Aku sudah berulang kali mencoba mengajukan pindah, namun keinginanku itu seperti membentur tembok sebuah sistem yang sulit untuk berkomunikasi secara manusiawi denganku”, katanya dengan nada pesimis dan putus asa. Ternyata problem personal dia hampir sama denganku. Dia ditempatkan di kota ini sesaat dia mau melaksanakan pernikahan. Karena calon isterinya telah bekerja di sebuah instansi di Jakarta, sampai saat itu rencana pernikahan tersebut belum bisa dilaksanakannya. Kepesimisan dia rasa-sasanya semakin menusuk ulu hatiku, mengingat hari pertama saja sudah aku jalani dengan demikian beratnya. Aku membayangkan bahwa aku tidak akan tahan berlama-lama seperti dia. Aku berpikir, apakah memang seperti ini sebuah perusahaan besar nasional tidak mungkin untuk melihat problem personal pegawainya satu persatu? Aku tidak tahu dengan mekanisme human capital bagaimana seharusnya ini bisa diselesaikan karena memang ini bukan kompetensiku. Namun yang kurasakan, seandaninya perasaan ini dialami oleh banyak pegawai pada perusahaan ini, betapa besar nilai kerugian yang dialami perusahaan karena damapk alienasi pegawai akan membawa dampak kontraproduktif dalam bekerja. Semalam kita sempat ngobrol ngalor-ngidul. Di kemudian hari aku mendengar bahwa Rinto temanku ini pada akhirnya memutuskan mengundurkan diri dari perusahaan tempatku bekerja, karena keinginannya untuk pindah ke pulau Jawa tidak kunjung ada kepastian.
Dari Manado, esok harinya aku melanjutkan perjalanan ke kota Ternate. Perjalanan ke Ternate sungguh tidak kusangka sama sekali. Di bandara Ternate ternyata aku tidak mendapatkan tiket regular. Pada awalnya aku merasa bersyukur karena tidak ada pesawat yang bisa kunaiki. Aku sempat berharap bahwa ada keajaiban bahwa tidak ada lagi pesawat ke Ternate dan satu-satunya pesawat yang yang bisa kutumpangi adalah pesawat ke Jakarta dimana aku bisa pulang kembali. Di tengah-tengah aku duduk di ruang tunggu bandara, di tengah-tentah aku sedang berpikir untuk menentukan langkahku berikutnya, tiba-tiba ada seorang bapak setengah tua yang menghampiriku. “Bapak mau ke Ternate? Saya ada pesawat yang akan berangkat hari ini kesana”, katanya menawarkan.

Aku sempat kaget. Bagaimana mungkin seseorang bisa menawarkan untuk naik pesawat, yang tidak terdaftar pada jadual pemberangkatan pesawat. Bapak tersebut menjelaskan bahwa pesawat ini tinggal butuh satu atau dua penumpang lagi dan akan segera berangkat. Hal ini benar-benar mengingatkanku pada terminal-terminal di Jawa, dimana ada banyak omprengan pelat hitam yang bisa digunakan sebagai alternatif kendaraan resmi. Tapi pesawat, mungkinkah? Ah, memang ada-ada saja peristiwa ini.

Ternyata ini memang benar-benar terjadi. Setelah kita deal dengan harga yang ditawarkan kepadaku maka aku segera diajak menuju ke sebuah tempat yang kulihat adalah sebuah markas tni, berlokasi sekitar 3 km dari bandara. Pesawat itu sudah siap untuk berangkat, dan tinggal menungguku seorang saja. Aku betul-betul surprised. Pesawat itu adalah pesawat cassa. Pesawat kecil yang hanya berkapasitas 6 orang. Aku memutuskan untuk ikut karena ini adalah pengalaman pertama. Aku sebagai penumpang, bisa ngobrol dan minum ngopi bersama pilot. Sekalian nanti akan kubantu pilotnya mengendalikan pesawat, menekan beberapa tombol di kokpit, begitu pikirku. Ternyata benar, pengalaman naik pesawat itu benar-benar aku rasakan selah aku adalah co-pilot. Sampai di bandara pun tak kalah uniknya. Dari jauh kulihat bandara yang tidak seberapa besar itu ada beberapa hewan yang digembalakannya di sekitar pinggir bandara, dan beberapa orang tampak menggiring satwa-satwa tersebut saat melihat ada pesawat mau turun ke lapangan. Ternyata, datangnya pesawat itu juga diikuti oleh kedatangan mobil-mobil omprengan dari kota yang terletak beberapa km dari bandara, yang dari kejauhan di angkasa telah melihat bahwa ada sebuah pesawat yang akan turun di bandara.

Setiba di bandara, tidak lama kemudian aku diantarkan menuju kota. Tempat pertama yang aku tuju adalah wartel. Aku ingin mengabarkan bahwa diriku telah sampai ke Ternate dengan berbagai pengalaman yang aku alami ini kepada keluarga di Jawa. Aku diturunkan di sebuah wartel di tengah-tengah kota Ternate. Tidak jauh dari wartel tersebut adalah pantai yang tampak indah dan pelabuhan. Selesai aku menelepon keluarga, lagi–lagi terjadi sesuatu yang tidak kusangka-sangka. Di tengah aku membayar biaya telepon, tiba-tiba aku mendengar namaku dipanggil oleh seseorang. “Hei..., Taufiq”, panggilnya. Aku tidak menoleh dengan panggilan itu. Rasanya tidak mungkin ada orang yang mengenalku di tempat ini. Ada kekhhawatiranku bahwa panggilan itu adalah semacam fatamorgana ditengah kegundahanku menjalani har-hari pertama di kota yang masih asing bagiku ini. Orang yang memanggilku telah tiba di belakangku dan menepuk bahuku,”Kamu Taufiq kan. Taufiq El Rahman, dari Jogja? Kamu lupa denganku?”, seru dia. Seketika aku menoleh dan nyaris tidak percaya dengan yang kualami. “Hai Teguh”, teriakku dengan nyaris tidak percaya dengan seseorang yang ada di depanku ini. “Berapa tahun kita tidak ketemu? Enam tahun? Tujuh tahun lalu?”. Tentu saja wajah yang ada di depanku tidak asing lagi. Dia adalah Teguh, lulusan dokter gigi dari universitas yang sama denganku. Kami dulu pernah satu panitia dalam kegiatan yang diadakan oleh Senat Mahasiswa universitas kami. Bertemu dengan temanku ini, ingatanku kembali ke masa lalu pada salah salah satu teman kami, Salman Dianda Anwar dan salah satu senior kami almarhum Khoiri Umar. Mendiang Khoiri Umar –yang meninggal dunia tahun 1993 di Gresik Jawa Timur-- inilah yang mengajakku untuk aktif di kepanitiaan dan memperkenalkanku dengan Teguh dan Salman Dianda Anwar. Nama Khoiri Umar sendiri telah tercatat dalam sejarah gerakan mahasiswa Indonesia sebagai ketua pertama Senat Mahasiswa tingkat Universitas pada universitas tempat kami belajar di Jogjakarta. Sedangkan teman kami, Salman Dianda Anwar, dalam perjalanan berikutnya juga menjadi ketua senat di fakultasnya, dan sempat menjadi sekjen ikatan senat fakultas pertanian seluruh Indonesia. Beberapa tahun terakhir ini, Salman Dianda Anwar sempat menjadi salah saorang raising star karena karirnya melesat dari seorang demonstran menjadi seorang direktur pada perusahaan swasta terkemuka di Indonesia. Dia sempat menggalang alumni muda universitas kami untuk berdemo di bundaran HI saat Rezim Megawati melalui Laksamana Sukardi melego Indosat kepada swasta asing dari Singapura, Temasek Group.

Kami segera terlibat dalam pembicaraan yang ramai dan penuh dengan sendau-gurau. Benar-benar pengalaman yang tidak kusangka bahwa di daerah yang asing inipun aku masih ketemu dengan seorang sahabat lama. Di tengah-tengah keceriaan kami karena telah lama tidak bertemu, aku ceritakan betapa sedihnya aku berangkat di hari-hari pertama bekerja karena ditempatkan di suatu daerah yang sangat jauh dari peradabanku. Ternyata yang kualami ini juga dirasakan olehnya. “Aku juga mengalami kegamanagan yang sama dengan dirimu, Fiq. Selulus dari universitas, ada tawaran penerimaan dokter gigi dan diterima bekerja di lingkungan kemiliteran. Tidak kusangka ternyata aku ditempatkan di sebuah propinsi paling timur di Indonesia. Aku sudah menikah dengan puteri salah seorang bupati di Jawa. Awalnya aku mau disersi, tapi mengingat isteri dan mertuaku akhirnya aku jalani juga tugas ini”, tutur dia. Isterinya adalah seorang dokter lulusan universitas yang sama dengan kami. Sementara ini mereka berpisah karena isterinya akan mengambil spesialis di Jogjakarta, sementara sahabatku Teguh ini bekerja di Papua.

“Aku sedang menunggu transit kapal yang beberapa jam lagi akan melanjutkan jalan ke Papua”, kata dia. Artinya, tak lama lagi aku akan berpisah dengannya. Pertemuan dengan sahabat di tengah-tengah suasana sepi di daerah yang tidak kita kenal seperti ini rasanya sangat membuat kegundahan kita bisa terlupakan. Setidaknya sementara waktu. Ingatan kita kembali ke saat-saat kita masih bersama, saat beraktivitas, saat belajar bersama di sebuah universitas di Jogjakarta yang telah memberikan suasana kenangan demikian berharga bagi kita. Jogjakarta, tempatku mengenal berbagai aktivitas. Jogjakarta, tempat dimana aku mengenal banyak teman dan sahabat dari berbagai daerah. Jogjakarta telah menjadi kota kedua setalah kota kelahiranku. Jogjakarta telah demikian menyatu dengan hatiku. Dan bagaimanakah dengan kota yang akan aku datangi kali ini? Kota yang aku datangi dengan kegundahan hati? Demikianlah suasana hatiku saat itu, memori tahun 1998 akhir.

Senin, 14 April 2008

Sepinya hari tanpa mereka

Siang hari, Minggu 15 April 2008, tingkat kekhawatiran makin menjadi. Aku bingung mau melakukan aktivitas apa hari ini, karena pikiranku tertuju pada HDSF yang sampai saat ini belum ada kabarnya. Mau menunggu kehadiran anak-anak sampai sore sesuai janji HN bahwa sore ini anak-anak akan dikembalikan, namun aku mengkhawatirkan bahwa dia akan ingkar janji. Aku ingin menghubungi beberapa nomor telepon, tetapi kusadari bahwa itu tidak bisa kulakukan karena handphone Motorola A925ku rusak. Lalu aku ke wartel, menghubungi Bapak di Kadipaten Jogja. Ternyata beliau pun sedang mengalami kekhawatiran yang sama. Beliau mengharapkan agar aku terus memantau keberadaan HDSF. “Kami tidak bisa tidur semalaman karena memikirkan hal ini mas”, ungkap beliau. Tampak kesedihan beliau atas kejadian ini. Akupun mencoba menghibur beliau dan diriku sendiri dengan mengemukakan rasa optimismeku bahwa sore ini HDSF akan kembali, karena kondisi apartemen mamanya tidak memungkinkan untuk membawa serta anak-anak dalam waktu yang lama. Di tengah-tengah pembicaraan dengan Jogja, ada telepon dari AM, adik kandung HN yang saat ini dimisilinya cukup jauh di sebuah pulau Indonesia bagian timur. Rupaya dia ada informasi penting mengenai hal ini.

Aku segera melakukan kontak dengan AM secara langsung. Ternyata AM bisa baru saja kontak dengan mbak UM yang ada di Ciledug, membicarakan soal HDSF. Dia bilang bahwa mbak UM menceritakan saat ini HDSF dibawa ke apartemen HN, dai mbak UM menyarankan agar HDSF diambil oleh keluarga Jogja. Inilah ide yang menurutku benar-benar fatal, berpotensi menjadikan HDSF sebagai objek perebutan dan ada upaya kesengajaan untuk menciptakan barrier diantara HDSF dengan diriku. Hal ini tampak dari cara-caranya mengambil HDSF dengan sepihak, lalu membuat keputusan-keputusan sendiri dengan mengabaikan diriku sebagai orangtuanya. AM sendiri juga akan menanyakan perihal rencana dan konsep yang ada pada diri HN untuk masa depan HDSF, semisal kalau memang HN berkeinginan untuk merealisir hak asuh yang dimenangkannya di Pengadilan Agama namun di sisi lain dia tidak bisa merawat karena tidak memiliki kapabilitas. Menurut AM, judgement HN yang akan menitipkan HDSF ke pihak lain, dengan mengabaikan preferensi kedua yakni diriku, semestinya ada kejelasan peran dan tanggungjawab HN sendiri dengan pihak yang dititipinya. Untuk itulah AM ingin meminta kejelasan konsep dari HN sendiri mengenai hal ini.

“Dia tidak bisa begitu saja mengambil HDSF dari mas. Kalau dia tetap melakukan itu, kemudian dia menitipkannya pada pihak lain maka dia harus siap secara finansial untuk memenuhi kebutuhan anak-anak sampai dewasa”, kata AM. “Sementara itu, saya kira mas bisa melakukan upaya secara hukum untuk mengambil hak asuh atas anak”, tambahnya. Soal tanggungjawab secara finansial ini tadinya tidak menjadi isu penting bagiku. Namun aku baru tahu ternyata bagi HN itu merupakan isu penting. Satu hal yang pasti HN di satu sisi merasa tidak memiliki kapasitas membesarkan anak-anak, tetapi ingin mengalihkan anak-anak dariku untuk diserahkan kepada pihak lainnya. “Saya akan coba kontak HN mas. Semoga saja hari ini HDSF dikembalikan lagi kepada mas, karena toh anak-anak harus sekolah”, kata AM. Aku agak lega dengan informasi ini, namun masih banyak pertanyaan dan kegalauan yang berkecamuk dalam pikiranku.

Sekitar pukul 14.00 BBWI, karena rasa kegalauan dan kekhawatiran kalau saja HDSF tidak dipulangkan sore ini maka aku setengah memaksa kepada Encik untuk kuajak mencari apartemen HN. Awalnya dia bilang bahwa tidak begitu tahu lokasinya karena dari stasiun Gondangdia bajaj yang dikendarainya sengaja dibuat mutar-mutar terlebih dahulu sebelum sampai ke apartemen HN. Namun dengan sedikit upaya dan setengah memaksa aku berhasil membawa dia untuk mencari apartemen yang dimaksud.

Perjalanan menuju apartemen atau apalah namanya, cukup panjang rute dan waktu yang harus kami lalui. Dari stasiun Bekasi ternyata tidak bisa langsung ke stasiun Gondangdia, melainkan harus ke kota terlebih dahulu. Dengan Kereta Express kami, yakni aku, Encik dan anaknya ke stasiun kota dan berlanjut ke Gondangdia. Setelah itu kita naik bajaj. Ternyata lokasi tempat tinggal baru HN tidak begitu jauh dari kampus MM UGM. Mungkin HN memang mencari tempat yang dekat agar bisa menyelesaikan kuliah S2nya, yang setahuku sudah beberapa kali mendapatkan peringatan agar segera menyelesaikan studinya.

Rumah itu ternyata bukanlah apartemen seperti yang kusangka semula, melainkan kos eksekutif. Tempat-tempat seperti ini memang banyak bertebaran di sudut-sudut ibukota. Banyak kalangan eksekutif muda yang lebih nyaman menempati kos-kos eksekutif seperti ini, karena fasilitas yang relatif lengkap dan terutama jarak dengan tempat kerja dapat dijangkau dengan cepat dan mudah. Kata Encik, tempat ini banyak dihuni oleh para wanita simpanan atau isteri kedua. Entahlah. Itu bukan urusanku. Di depan rumah ada sebuah rumah sakit yang tidak begitu besar namun tampak nyaman. Akupun menunggu di warung kopi di sebelah rumah tersebut.

Di tengah-tengah aku menyeruput kopi susu yang masih panas itu, tiba-tiba Encik muncul kembali dan menyampaikan bahwa HN dan HDSF sejak pagi sudah pergi keluar rumah. “Saya sempat masuk kamarnya dan ada kartu nama ini pak. Saya akan coba untuk menelepon dia”, katanya. Sempat aku melirik sebentar kartu nama yang dipegangnya. Aku sempat baca jabatan dia saat ini, senior manajer di sebuah cabang di sekitar Jakarta Kota. Aku persilakan Encik untuk meneleponnya, karena akupun ingin segera mendapatkan kabar tentang anak-anakku.

Sepulang dari wartel, Encik agak tergopoh-gopoh dengan sinar mata cukup gembira. “Pak, saat ini anak-anak sudah ada di rumah saya. Saat saya menelepn, Bu HN baru saja tiba di depan pintu rumah saya. Katanya HDSF dia tinggal disana, karena dia buru-buru dan tidak mungkin bisa menunggu saya”, lapornya. Alhamdulillah. Aku sangat bersyukur dengan kabar ini. “Kita harus segera pulang. Kasihan HDSF kalau menunggu terlalu lama”, kataku. Awalnya kita mau naik taxy, tapi pasti di hari Minggu seperti ini jalan tol masuk Bekasi biasanya macet. Akhirnya kita pulang dengan rute yang sama. Ke stasiun kota, lalu berlanjut ke Bekasi. Perjalanan yang makan waktu sekitar 1 jam itu rasanya berjalan dengan lambat, karena sudah terbayang aku akan ketemu HDSF setelah mengalami kekhawatiran tentang keberadaan mereka selama dua hari.

Begitu sampai di rumah, anak-anak menghambur ke pelukanku. “Papa…, kenapa lama sekali…”. HD menangis, karena merasa mengunggu terlalu lama. Dia menunggu ke rumah kontrakan sebelahku, dan tadi banyak dihibur agar tidak terasa dalam penantiannya menunggu kepulanganku. Sedangkan SF tampak ceria, main-main di depan rumah. Dia berlarian menuju ke arahku. Aku memeluk mereka dengan haru dan perasaan lega sekali.

Malam ini aku menawarkan mereka untuk makan malam sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Serempak mereka bilang, Steak….! Malam itu kita makan di Steak Obong, sebuah waralaba steak yang berasal dari kota Jogja. Sampai di rumah, aku melewatkan malam dengan banyak bercanda dan ngobrol dengan mereka. Cukup larut, sekitar tengah malam baru kita tidur. Betapa berbeda kurasakan malam kemarin dengan malam ini. Aku lega dan bersyukur anak-anak sudah kembali.

Membuka keran komunikasi demi si kecil...

Hari Minggu, 13 April 2008, saat aku telepon ke Jogja, Ibu Kadipaten menyarankan agar aku mencoba untuk membuat surat kepada HN soal HDSF. Aku pikir, ide ini cukup menarik. Sebelumnya aku tidak pernah berpikir adanya kemungkinan untuk membuka keran komunikasi yang telah beku dengan HN. Soal berhasil tidaknya, kupikir itu bukan urusanku. namanya juga usaha. Hari ini juga aku membuat surat untuknya sebagai berikut:
Assalamu’alaikum wr wb.

Melalui surat ini, terlebih dahulu aku sampaikan harapan semoga dirimu dalam keadaan baik-baik dan sehat walafiat, dalam keadaan yang lebih baik dibandingkan dengan waktu-waktu yang lalu. Semoga kejadian demi kejadian pada diri kita masing-masing akan semakin membuka mata dan memberikan hikmah pelajaran yang berharga bagi kita untuk menatap masa depan kita masing-masing dengan penuh rasa optimis bahwa masa depan kita akan lebih baik dibandingkan dengan saat ini dan masa lalu kita. Amien.

Awalnya demikian berat bagiku untuk menuliskan surat kepada dirimu, mengingat betapa beku dan dinginnya komunikasi kita selama ini (hal yang aku sendiri masih sulit untuk memahami kenapa ini bisa terjadi, karena toh masalah kita mestinya sudah bisa segera kita selesaikan). Melalui surat ini aku ingin mencairkan suasana komunikasi kita agar kita bisa saling memahami posisi kita masing-masing dengan melupakan tragedi apa yang terjadi diantara kita dimasa lalu. Menurutku upaya mencairkan komunikasi dengan dirimu adalah hal yang mendesak untuk kita lakukan, karena implikasi dan kemanfaatannya terutama bukanlah untuk kita melainkan untuk buah hati kita, HD dan SF. Aku menuliskan surat disini tidak dalam kapasitas dan perspektif untuk menoleh kebelakang atas tragedi yang terjadi diantara kita. Aku menuliskan kata-kata disini, yang mewakili suasana hatiku ini, adalah dalam kerangka untuk mengupayakan keadaan yang lebih baik, terutama untuk masa depan buah hati kita, HD dan SF.

Menurutku adalah sesuatu hal yang wajar, normal, manusiawi ketika dua insan yang berupaya untuk menyatukan visi, misi dan hidup mereka dalam suatu kehidupan berumahtangga namun ternyata realita menunjukkan bahwa mereka telah gagal dalam proses tersebut. Kita boleh, dan memang sangat boleh untuk gagal dalam membangun rumah tangga kita, karena apa yang kita putuskan untuk berpisah adalah demi kebaikan dan masa depan kita masing-masing. Namun demikian sungguh kita akan berdosa apabila kegagalan kita dalam membangun rumah tangga –sengaja atau tidak—ternyata membawa serta dan implikasi yang tidak baik terhadap masa depan anak-anak kita. Kupikir dirimu tentunya setuju bahwa HD dan SF membutuhkan ruang dan media yang luas untuk berkembang, perlindungan yang maksimal, pengawasan yang intensif, pendidikan yang baik dan kasih sayang yang optimal dari orangtuanya. Mereka adalah amanah bagi kita, yang tentunya kita akan dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang telah kita lakukan dan berikan kepada mereka sebagai bekal untuk menjadi anak-anak yang shalih dan shalihah. Mereka adalah anak-anak kita, kepada siapa kita boleh berharap bahwa dari doa-doa mereka kepada kita sebagai orangtuanya, kelak akan lebih meringankan beban kita dalam kehidupan nantinya pasca kehidupan kita di dunia. Setuju?

Aku telah berbicara secada panjang lebar mengenai HD dan SF dengan Bapak dan Ibu di Kadipaten Jogja. Pembicaraan yang telah membawa rasa hormat dan kagumku kepada beliau, dengan sikap bijak dan emphaty beliau dalam hal ini. Sebagaimana kamu ketahui bahwa pada awalnya beliau sangat-sangat berkeinginan dan ikhlas menyediakan waktu beliau untuk mengasuh anak-anak kita, terutama karena kekhawatiran dampak konflik berkepanjangan kita terhadap anak-anak kita. Aku sangat menghargai dan berterima kasih atas kesediaan dan keikhlasan beliau untuk “direpotkan” dengan mengasuh dan mengawasi anak-anak kita. Beliau sangat berharap bahwa kondisi Jogja yang lebih netral akan memberikan suasana yang lebih baik bagi HD dan SF, disamping juga kekhawatiran beliau bahwa kondisi dan konflik berkepanjangan kita akan berpengaruh secara psikologis maupun finansial kepada HD dan SF. Pada akhirnya melalui pembicaraan yang intensif aku bisa meyakinkan beliau bahwa di tangan orangtuanya, HD dan SF masih berada pada jalur on-track dalam perspektif amanah, bahwa kita masih dan akan selalu bertanggungjawab secara fokus dan totalitas untuk masa depan anak-anak kita. Karena menurutku, bagaimanapun juga preferensi tanggungjawab atas masa depan anak-anak kita yang pertama adalah pada kita sendiri drbagai orangtua kandungnya, yang kelak pasti kita akan dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang telah kita lakukan atas hal tersebut. Sepanjang kita masih mampu untuk mendidik secara langsung anak-anak kita dengan penuh totalitas, fokus dan optimis terhadap masa depan anak-anak kita, menurutku akan menjadi hal yang kurang pada tempatnya kalau kita melimpahkan tanggungjawab kita tersebut kepada selain kita. Kecuali kalau kita memang tidak mampu lagi untuk menjalankan amanah sebagai orangtua HD dan SF.

Bukan sekadar alasan tanggungjawab semata, melainkan juga tentunya kita dan juga anak-anak kita akan membutuhkan kedekatan psikologis antara mereka dengan kita sebagai orangtuanya dalam tingkat usia yang sekarang ini. Akan menjadi pertanyaan yang serius bagi anak-anak kita kelak misalnya, kenapa mereka diasuh oleh Eyangnya, sedangkan orangtuanya sendiri sebenarnya masih sanggup untuk mengasuhnya secara finansial maupun nonfinansial kepada mereka. Mereka akan bertanya kenapa, kenapa dan kenapa, kelak saat mereka sudah pada tingkat dewasa dan terlanjur jauh secara psikologis dengan kita. Apakah orangtuanya tidak suka, atau tidak bertanggungjawab, atau ada hal-hal lainnya, tentunya kita tidak menginginkan munculnya pertanyaan-pertanyaan seperti itu kan? Kalau kita sebagai orangtuanya masih mampu untuk memberikan ruang yang luas bagi perkembangan dan masa depan anak-anaknya, kenapa kita harus menimpakan apa yang menjadi tanggungjawab kita kepada selain kita. Aku sendiri sudah bertekad untuk mengupayakan resources yang ada pada diriku semaksimal mungkin untuk membesarkan mereka secara langsung.

Aku juga sudah sampaikan kepada Bapak dan Ibu Jogja bahwa anak-anak akan sering kita bawa ke Jogja. Kenapa? Karena semakin banyak kontribusi limpahan kasih sayang dan perhatian Eyangnya tersebut tentunya akan sangat bermanfaat untuk mengisi ruang-ruang kosong yang mungkin ada pada anak-anak kita. Ruang-ruang kosong yang kumaksud adalah perbedaan yang dialaminya dibandingkan dengan anak-anak sebaya lainnya yang diasuh oleh kedua orangtuanya secara bersamaan. Anak-anak kita tentu akan sangat membutuhkan hal itu. Setiap liburan akan aku bawa anak-anak ke Jogja, yang kita tahu anak-anak kita sangat enjoy dengan suasana di Jogja. Dan kelak saat anak-anak sudah masuk ke SMP, menurutku suasana di Jogja akan lebih kondusif dibandingkan dengan Jakarta. Karena suasana dan predikat Jogja sebagai kota pelajar akan lebih baik dalam mengantisipasi pengaruh-pengaruh eksternal yang kurang baik sebagaimana yang banyak terjadi pada kota metropolis seperti Jakarta dan sekitarnya. Juga, pada tingkat usia SMP, tentunya anak-anak sudah sampai pada tingkat pemikiran bahwa mereka terpaksa berpisah dengan orangtuanya adalah semata untuk mendapatkan pendidikan yang lebih kondusif. Kamu tentunya setuju bahwa perlu adanya komitmen dan pengertian yang sama diantara banyak pihak yang berkepentingan untuk memberikan perhatian kepada HD dan SF, antara diriku, dirimu dan Bapak-Ibu di Jogja. Bayangkan, betapa akan berdampak kurang baik pada HD dan SF manakala mereka merasa menjadi objek yang “diperebutkan”, yang sebenarnya masing-masing pihak memiliki tujuan yang sama yakni memberikan ruang dan suasana yang terbaik bagi perkembangan HD dan SF. Upaya menjadikan anak-anak sebagai objek perebutan ini akan justru membawa mereka dalam suasana ketidakpastian dan kegamangan, yang itu semestinya tidak boleh terjadi. Antara diriku dengan Bapak dan Ibu di Jogja sendiri rasanya sudah sampai pada tahap persepsi yang sama dalam hal ini. Aku sangat menghargai dan kagum atas sikap bijak beliau, dimana beliau sangat bisa memahami dan emphaty atas apa yang kita rasakan sebagai orangtuanya dari cucu-cucu mereka. Beliau sudah kuanggap seperti orangtuaku sendiri, yah sebagai pengganti ayahandaku yang telah tiada. Kuharap dirimu tidak keberatan mengenai hal ini kan. Karena meski kita telah berpisah dalam ikatan rumahtangga, aku tidak berharap itu akan memutuskan tali silaturrahmi antara diriku dengan keluarga besarmu. Apalagi ada pertautan kepentingan HD dan SF.

Melalui surat ini kusampaikan pendapat dan keinginanku agar sehari-harinya, anak-anak biarlah tetap bersama diriku. Yakinkanlah pada dirimu bahwa anak-anak akan merasa terlindungi, aman dan nyaman saat berada dalam pengawasanku. Aku berjanji bahwa aku tidak akan meracuni pikiran dan mempengaruhi persepektif tertentu dalam benak anak-anak atas konflik dan tragedi yang terjadi pada kita di masa lalu. Yang ingin aku lakukan adalah memberikan kepada HD dan SF ruang dan media yang luas untuk berkembang, perlindungan yang maksimal, pengawasan yang intensif, pendidikan yang baik dan kasih sayang yang optimal. Adapun, dirimu bisa saja mengajak mereka berdua pergi bersama dirimu untuk melepaskan kerinduan dan kasih sayangmu sebagai ibunya kepada mereka, kapanpun kamu mau. Setiap weekend ataupun setiap hari-hari libur lainnya saat dirimu ingin bersama mereka, bawalah mereka bersamamu dan dengan senang hati anak-anak akan kuantarkan ke tempat tinggalmu atau bisa juga kamu yang jemput mereka. Mereka juga pasti akan selalu membutuhkan jalinan kasih sayang dan perhatian dari ibu kandungnya. Secara teknis itu akan mudah sekali kita lakukan karena kita berada pada satu kota. Mereka sudah paham mengenai apa yang terjadi diantara kita tanpa perlu kita ceritakan dan aku berharap bahwa mereka tidak perlu kehilangan perhatian dan kasih sayang dari salah satu orangtuanya. Penting bagi mereka untuk tetap bisa mendapatkan kasih sayang dan perhatian secara simultan dari kedua orangtuanya maupun dari keluarga handai taulan yang lainnya, meskipun itu tidak bisa dilakukan secara bersama-sama. Diluar itu tentunya, pada saat hari-hari anak-anak berada bersamaku kamu bisa konsentrasi dan fokus untuk bekerja ataupun memikirkan kepentingan diri dan masa depanmu.

Kemarin aku sempat kalut saat tiba-tiba dirimu menjemput HD dan SF sehingga terpaksa bolos sekolah. Memang hanya satu hari, tetapi sebelumnya mereka bolos seminggu penuh karena aku tinggal di Jogja. Aku sempat kalut karena tidak memahami apa rencana yang ada dalam benakmu atas HD dan SF. Kuharap melaui surat ini tidak akan ada lagi suudzon diantara kita masing-masing. Tentunya dirimu setuju bahwa HD dan SF membutuhkan perhatian dan kasih sayang kita. Sungguh kita akan berdosa apabila kita menciptakan barrier entah sengaja ataupun tidak sehingga mereka sulit untuk mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari kita masing-masing. Berada di dalam pengawasanku secara langsung, aku akan memberikan keleluasaan yang maksimal bagi dirimu untuk memberikan perhatian dan limpahan kasih sayang kepada HD dan SF. Demikian juga perhatian dari Eyangnya di Jogja, atau dari om dan tantenya yang lain. Aku tahu bahwa HD dan SF sangat membutuhkan hal itu, karena rasanya tidak cukup apabila hanya mendapatkan perhatian dariku saja.

Kupikir itu dulu sebagai awal dariku untuk sekadar membuka mampatnya keran komunikasi diantara kita. Ini adalah semata untuk kebaikan dan masa depan buah hati kita. Aku berharap dirimu mau menerima uluran kata-kata ini dengan tidak mengedepankan ego dan logika semata melainkan dengan hati nurani. Dan hilangkanlah emosi dan subjektivitas yang mungkin muncul dari memori dan ingatanmu atas tragedi yang terjadi diantara kita dimasa lalu dan hilangkanlah rasa kecurigaan dan suudzon lainnya kepada diriku atas usul dan pendapatku diatas. Marilah kita memberikan hal yang terbaik kepada buah hati kita, apapun yang kita bisa berikan kepadanya sebagai implementasi rasa tanggungjawab kita sebagai orangtuanya. Kita yang telah diamanahi oleh-NYA untuk memberikan bekal yang terbaik kepada mereka agar kelak menjadi anak yang shalih dan shalihah. Wassalam.
Jakarta, Minggu 13 April 2008


Aku




Ujian berikutnya yang mendebarkan hati....

Hari ini, Jum’at 13 April 2008 aku sengaja pulang lebih cepat dari biasanya. Di tengah kunjungan marketing ke sebuah perusahaan distributor makanan kecil yang cukup populer, di sekitar Jakarta Kota, aku pamit untuk turun di tengah jalan pada teman kantorku. Awalnya, karena kebetulan di sekitar Jakarta Kota, aku akan beli kacamata. Mengingat kacamata yang kupakai sekarang ini adalah kacamata transisi, setelah kejadian konflik yang kesekian kalinya beberapa bulan yang lalu yang dimana kacamataku menjadi korban. Aku tak perlu lagi mengingat-ingat kejadian itu. Namun lantaran aku salah naik kendaraan umum yang mestinya kearah mangga dua, justru ke Stasiun Beos, entah mengapa aku jadi berubah pikiran untuk langsung pulang saja lebih cepat ke Bekasi. Perasaanku emang agak tidak enak, dan ingin segera pulang ke Bekasi untuk ketemu dengan anaik-anakku. Dengan naik kereta bekasi Express, sekitar jam 17.30 BBWI aku sudah nyampe ke Stasiun Bekasi. Motor Supraku segera kutancapkan gasnya, untuk menuju ke rumah kontrakanku, yang biasanya hanya membutuhkan waktu sekitar 5 menit dari stasiun tersebut. Waktu 5 menit pun kujalani seolah terlalu lama bagiku, dengan meliak-liukkan motor di sekitar keramaian jalan Perjuangan Bekasi. Jalan ini memang sesuai dengan namanya yang membutuhkan perjuangan berat untuk melewatinya lantaran sering macet karena lokasinya di sekitar stasiun.

Sampai di depan rumah kontrakan, sudah ada 2 orang ibu-ibu yang telah kukenal sebagai tetangga sebelah Encik, pengasuh kedua anakku. Mereka memberitahukanku bahwa anak-anak tidak ada di rumah kontrakan maupun di rumah Encik. “Tadi mamanya anak-anak bapak datang, lalu membawa pergi anak-anak. Katanya mau dibawa ke apartemennya…”, kata mereka melaporkan. Aku kaget sekali mendengar berita itu, dan seketika muncul berbagai kekhawatiranku. Mendengar bahwa ibunya anak-anak juga sempat masuk ke kamar kontrakanku, kekhawatiranku bertambah mengenai kemungkinan hilangnya barang-barang berhargaku yang ada dalam kamar. Memang tak ada barang berharga bagiku selain dua buah laptopku, namun rasanya barang tersebut terlalu berharga bagiku, karena demikian banyaknya data-data penting yang sangat berharga.

Aku segera menuju ke rumah kontrakan yang sepi dan kosong. Rumah yang biasanya terang dan rame dengan suasana riang anak-anak saat menyambutku pulang, apalagi di hari weekend begini. Sepi. Sunyi. Aku lupa kunci rumah ada dimana sekarang ini. Tiba-tiba seorang ibu yang mengontrak di sebelah rumah kontrakanku muncul sambil membawa kunci rumah kontrakanku. “Tadi ibunya anak-anak kesini pak. Lalu membujuk anak-anak untuk pergi. Pada awalnya anak-anak menangis dan tidak mau karena harus sekolah dulu. Tapi mamanya berhasil memaksanya untuk bolos sekolah. Katanya akan dibawa ke apartemennya”. Dia menggambarkan kejadian siang itu betapa anak-anak sempat menangis dan tidak mau pergi, terutama anakku yang besar, HD.

Aku menengok keadaan kamarku sebentar. Alhamdulillah laptopku masih ada di tempatnya. Aku bersyukur dan hati kecilku berharap semoga HN telah sampai pada tahap pemikiran bahwa saat ini sudah tidak ada lagi gunanya untuk memicu masalah menjadi semakin panjang dan berlarut diantara kita. Rasanya kita sudah capek, sangat capek untuk saling berpikir saatu sama lain tentang hal yang lebih banyak kemudharatannya daripada kemaslahatannya. Dalam kasus yang terjadi sekarang inipun sebaiknya aku bersikap khusnudzon pada dirinya. Tentunya adalah hal yang sangat manusiawi apabila seorang dia berkeinginan untuk ketemu dengan anak-anaknya setelah sekian lama tidak ketemu.

Hanya saja, memang keinginanku untuk ketemu dengan anak-anakku hari ini demikian besar. Apalagi dengan SF, yang aku sempat marah kepadanya tadi malam, gara-gara dia menyemprotkan Rapika ke beberapa barang elektronik, termasuk handphoneku. Akibatnya memang lumayan fatal karena handphone Motorola A925ku yang built-up produk Jerman dan tidak ada sparepartnya di Indonesia, menjadi rusak karena touch-screennya telah rusak permanen. Dan karena ini pula hari ini kabarnya Huda sempat mengeluh karena tidak bisa menghubungiku saat-saat dia mau dibawa mamanya pergi. Namun toh kusadari bahwa kerusakan handphone ini adalah sesuatu yang tidak disengaja oleh anak sekecil SF. Aku tersenyum ketika dia mengatakan bahwa dia ingin handphone papanya menjadi wangi.

Aku ke rumah Encik. Di rumah sudah ada Encik, suami dan anaknya. Mereka menceritakan detil peristiwa pengambilan anak-anak oleh mamanya. Encik sendiri merasa tidak memiliki kapasitas untuk menahannya, karena memang anak-anak diambil oleh mama kandungnya sendiri. Aku mencoba untuk berpikiran positif terhadap mama anak-anak, bahwa dia tidak sedang melakukan upaya yang tidak-tidak terhadap anak-anak, dan semoga seperti yang dijanjikannya lewat Encik bahwa anak-anak akan dikembalikan besok hari Minggu. Aku memang tidak bisa mengharapkan 100% bahwa kondisi suasana hari mamanya bisa dipastikan dalam keadaan normal seperti itu. Karena bisa saja segala sesuatu yang tidak diperkirakan bisa saja terjadi sebagaimana kejadian-kejadian sebelumnya. Aku teringat sesuaatu dan muncul rasa syukurku saat dia masuk ke kamarku dan tidak ada barang yang hilang. Semoga dia memiliki itikad yang baik. Yang aku khawatirkan adalah apabila dia memiliki pikiran-pikiran tertentu yang menjadikan anak sebagai objek dan sengaja menciptakan barrier tertentu diantara anak-anak dengan diriku. Karena itu akan membawa dampak psikologis yang sangat tidak kondusif bagi perkembangan jiwa anak-anak di kemudian hari. Satu hal yang aku merasa tenang adalah fakta bahwa dia tidak memiliki kecakapan, baik secara fisik, teknik maupun finansial untuk membawa anak-anak dalam kehidupannya dan itu disadari benar olehnya. Kuharapkan dia bisa meyakini bahwa anak-anak akan merasa terlindungi, aman dan nyaman bersamaku. Encik bilang bahwa di satu sisi HN merasa tidak bisa membesarkan anak-anak, lalu ingin menitipkan anak-anak di Jogja. Dia sempat kesal saat Jogja mensyaratkan bahwa mereka mau menerima HDSF apabila ada keikhlasan dan semacam serah terima dariku. Itu adalah kesepakatan yang dihasilkan dari proses pembicaraan intensif antara diriku dengan beliau di Jogja, dimana beliau bisa memahami dan emphaty terhadap konsepku bahwa bagaimapun hak dan tanggungjawab preferens untuk membesarkan anak adalah pada orangtuanya. Kecuali kalau memang kedua orangtuanya tidak mampu lagi untuk membesarkannya. Kepada beliau kusampaikan juga keinginanku untuk menyekolahkan anak-anak di Jogja nanti saat sudah masuk SMP, karena predikat dan suasana Jogja sebagai kota pelajar tentunya akan lebih kondusif untuk perkembangan HDSF.

Hari ini aku praktis sangat kesepian. Biasanya di malam hari sebelum tidur kita bercanda dan ngobrol, terkadang sampai larut malam. Hari ini rasanya sepi dan sunyi. Rasanya begitu dingin tanpa mereka ada di sampingku.

Rabu, 09 April 2008

Sabar...sabar...sabar.....

Pagi ini, 10 April 2008, di tengah-tengah aktivitasku di kantor, bayangan anakku terutama Syifa menari-nari di depan mataku. Dalam bayanganku, dia mengajakku bercanda, dan menyanyikan lagunya Rosa terbaru, Ayat-ayat Cinta. Mungkin karena kemarin, sepulangku dari kantor, dia menunjukkan buku saku teks lagu Ayat-ayat Cinta. Dia begitu ingin memperdengarkannya kepadaku. Saat aku ikut bernyanyi duat bersamanya, dengan ketawanya yang lucu dia bilang bahwa lagunya jadi kurang merdu kalau aku ikut menyanyi. Lalu malam itu terjadilah apa yang saat ini sedang sangat kusesali.

Kuingat, menjelang waktu shubuh tadi, aku sempat agak lama melihat wajah polosnya yang tidur diatas karpet “rumah kontrakan’ kita yang sementara ini kita tempati. Lama aku memandangnya. Kepolosannya. Kelucuannya. Rasa kasihanku begitu menyeruak. Aku betul-betul menyesal bahwa malam itu aku terlalu keras memarahinya. Aku terlampau keras mengekspresikan kejengkelan, atas sesuatu hal yang semestinya bisa kusampaikan dengan logika sederhana yang bisa ditangkap oleh anak-anak seumur dia dan mestinya aku bisa menyampaikan pesan-pesan secara bijaksana. Malam itu dua kali setidaknya aku memarahinya, dan rasanya sampai malam itu aku masih menyimpan sisa-sisa kejengkelanku. Aku betul-betul tidak tahu bagaimana mungkin kejengkelanku bisa muncul dan dengan melalui pertimbangan apa saat aku ekspresikan kepada anak selucu dia. Dia, sangat tidak layak mendapatkan sikap seperti itu dariku.

Mestinya, mestinya, mestinya..., yah, aku harus belajar lebih banyak hal lagi tentang bagaimana mendidik anak dengan lebih baik, bagaimana menyayangi anak, melindunginya, memahami dunia anak, bagaimana bersikap sabar terhadap perilaku anak, bagaimana memberikan suasana hati terbaik bagi anak dengan tanpa mengabaikan hal-hal urgen bagi perkembangan masa depan mereka. Dalam hatiku aku berjanji bahwa hal yang terjadi seperti tadi malam tidak akan terulang lagi. Aku ingin memberikan ruang dan suasana yang lapang bagi perkembangan mereka. Aku ingin memberikan yang terbaik bagi mereka, dengan segala keterbatasan resources yang kumiliki saat ini. Mereka sangat tidak layak untuk aku marahi seperti yang terjadi tadi malam. Masih teringat di benak mataku, saat dia ketakutan, dan aku paksa untuk kapok tidak mengulangi, dan saat air matanya tumpah keluar aku bentak untuk diam. Aku ingin menagis. Aku ingin memeluknya. Aku ingin menghiburnya. Aku ingin mengekspresikan kepadanya bahwa aku sangat menyayanginya. Aku tidak ingin membuatnya takut kepadaku, sampai kapanpun. Aku ingin menjadikan diriku sebagai papanya sekaligus sebagai temannya yang terbaik.

Minggu ini adalah minggu pertama kita menempati rumah kontrakan. Bapak Jogja setiap harinya selalu memantau dan menanyakan bagaimana perkembangan dan adaptasi anak-anak. Mengingat itu, aku semakin masygul dengan sikapku tadi malam kepada Syifa, yang kuekspresikan di depan kakaknya, Huda. Mengingat bahwa Eyangnya juga sangat ingin membesarkan mereka berdua, tentunya dengan segala fasilitas yang jauh lebih mapan dibandingkan dengan suasana rumah kontrakan seperti ini.
Hari ini aku bertekad bahwa hal seperti itu tidak akan terulang lagi. Aku akan memberikan kepada mereka suasana yang nyaman dan enjoy, dengan segala keterbatasan fasilitas yang dapat kita nikmati sebagai penghuni rumah kontrakan. Dan hari ini aku akan mulai mengevaluasi apakah apakah aku akan meneruskan untuk mengontrak rumah ataukah akan kembali ke rumah kita lagi. Besok atau nanti malam akan aku bicarakan hal ini dengan anak-anak. Apa yang terbaik bagi mereka, itu juga akan menjadi hal yang baik bagitu untuk berusaha memenuhinya.

Minggu, 06 April 2008

Ke Jogja lagi menjemput si kecil...

Hari ini, Jum’at 4 April 2008. Sejak di kantor aku udah gak concern berkativitas di kantor. Kebetulan emang gak terlalu ada erjaan karena ebberapa advis usulan kredit udah aku selesaikan minggu ini. Hari ini aku akan ke Jogja, menjemput HDSF. Sudah seminggu aku di Jakarta (Bekasi tepatnya), rasanya cukup berat menjalani hari-hari tanpa ada canda, tanpa ada ketawa, tanpa ada sesuatu permintaan dari mereka, hari-hari kujalani terasa begitu sepi. Aku ingat, hari Senin kemarin, pada saat hari pertama aku menjalani aktivitas sepulang dari kantor tanpa ada mereka, aku sempat agak nervous saat tidak bisa melakukan kontak dengan anak-anakku. Telpun rumah Jogja tidak bisa dihubungi, begitu juga handpohe Bapak Jogja. Parahnya lagi, charger handponeku saat itu juga ketinggalan di Jogja. Charger itu sendiri baru aku terima hari Selasa 31 Maret 2008 yang lalu, saat adikku AM ke Jakarta, dimana kami janjian ketemu di Universitas Trisakti. Kebetulan adikku lagi ada kerjaan riset bersama dengan teamnya mbak KH, seorang doktor Ekonomi Trisakti. Disana sempat nngobrol dengan dosen muda feugm yang dalam pooling mahasiswa selalu mendapat nilai terbaik dimata mahasiswa, Pak ER. Kebetulan adiknya, namanya ER juga, menjadi teman satu kelasku di S1 dan S2. Baru setelah aku bawa handphone lengkap dengan chargernya, setelah beberapa puluh kali lagi aku dial nomor rumah, akhirnya bisa nyambung lagi. Ternyata ada masalah di kabel telepon. Setelah itu, aku kirim pulsa three ke communicator HDSF, dan selama seminggu kita bisa kontak secara rutin. Senang sekali rasanya mendengar suara mereka.

Habis Jumatan di BPK Jl. Gatsu Jakarta, aku baru kembali ke kantor sekitar pukul 16.00. Dan setengah jam kemudian aku pamit untuk pulang lebih cepat karena mau keluar kota. Hari itu aku sebenarnya merasa kurang sehat. Dari kantor naik bis, masuk tol, turun ke terminal Pulogadung. Kalau tidak salah ingat, terakhir kali aku ke terminal ini, untuk pulang kampung ke Wonogiri, Solo atau Jogja mungkin sekitar tahun 1997an. Ternyata sudah 10 tahunan aku tidak ke terminal ini. Biasanya, 10 tahun yang lalu aku males sekali masuk terminal karena pasti akan menjadi sasaran para calo tiket, ditarik-tarik dengan setengah memaksa untuk ikut bis yang dia mau. Kali ini, aku pede aja masuk terminal, dan dengan enaknya aku beberapa kali menepis para calo-calo tiket. Karena tidak banyak alternatif bis, aku langsung mendapatkan bis. Alhamdulillah, bis tidak terlalu penuh. Sepanjang jalan, sekitar 80% aku nikmati perjalanan dengan tidur pulas. Jam 04.00 bangun saat istirahat di sebuah restoran. Aku bersih-bersih diri dan sholat. Tidur lagi. Bangun-bangun ternyata sudah nyampe di terminal Joga.

Nyampe terminal Jogja, aku sempatkan mandi di kamar mandi yang, alhamdulillah, cukup bersih, tidak seperti yang kubayangkan seperti kamar mandi di terminal pada umumnya.

Dari terminal aku cobain naik transjogja ke stasiun Tugu. Kendaraan cukup nyaman, sebagaimana busway di Jakarta. Tentu saja, seski tidak ada jalur sendiri, kendaraan ini tidak banyak mengalami kemacetan. Bedanya, pengguna kendaraan ini bejubel dan tidak sebanyak di Jakarta. Sepanjang mata memandang beberapa kendaraan Transjogja yang lalu lalang, aku lihat penumpangnya sepi-sepi aja. Sampe di Stasiun Tugu, aku segera menuju reservasi tiket Taksaka. Di depan petugas loket, ternyata tinggal tersisa dua buah tiket, sedangkan yang kubutuhkan tiga buah tiket. Kuputuskan untuk membeli dua tiket tersebut. Masalah kekurangan, itu urusan nanti. Pasti bisa dibicarakan diatas kereta. Dari Tugu aku sempat beli kue Srabi Notosuman, lalu langsung ke Kadipaten. Rasanya aku sudah tidak sabar untuk segera ketemu sama anak-anak.

Sekitar pukul 10.30 aku baru nyampe di Kadipaten. Di depan pintu aku ketuk, assalamu’alaikum. Aku langsung masuk ke kamar tamu, ke ruang tengah, kosong. Ternyata mereka ada di kamar. Begitu mereka melihatku, langsung berteriak, “Papa....SF..., papa udah dateng.......!”. Mereka langsung rame dengan berbagai cerita. SF ke dapur, dan membawa bungkusan kue dan bilang bahwa ini telah disiapkan olehnya untukku. Aku membuka tas, dan memberikan dia boneka seperti yang dia pesan. Dia senang sekali. HD sempat protes,”Papa, tadi padi beberapa kali aku telepon tidak bisa, kenapa? Pasti belum di charge kan?”, keluhnya. Pagi itu Ibu Jogja sedang ke pasar, sedangkan Bapak Jogja sedang mengajar pada sebuah training. Anak-anak bermain berdua di dalam kamar.

Hari ini kita full jalan-jalan di lokasi-lokasi wisata terdekat. Pertama, ke kraton, hehehe. Jarak Kadipaten dengan kraton ini bisa dicapai dengan jalan kaki, saling dekatnya. Rasanya agak aneh, kita dibawa oleh seorang pemandu wisata di dalam keraton. Sebenarnya cuman di sekotar beranda kraton saja, karena suasana dalam kratonnya sendiri kalo siang dan sore hari sudah tutup. Aku ambil gambar HDSF di depan kraton. Disana sempat ditawarin sebuah lukisan wayang, oleh seorang Pemandu Wisata berblangkon khas Jogja, dan kita saat dibawa ke sebuah sanggar. Sempat terhanyut oleh cerita Pemandu Wisata tentang Sejarah Sultan HB dan ujung-ujungnya mereka menawarkanku lukisan berharga dollar yang aku tidak tahu nilai manfaatnya. Nyaris saja beli seandainya di counter mereka ada alat gesek debit atau credit card. Alhamdulillah tidak ada sehingga tidak jadi.

Setelah itu kita ke Taman Pintar. Sebuah area yang menurutku cukup bagus sebagai tempat rekreasi buat anak-anak, sekaligus sebagai tempat belajar dan merangsang daya tarik anak-anak terhadap berbagai produk peralatan iptek. Kata HD, seharusnya namanya bukan Taman Pintar tapi Taman IPA. “Karena isinya hanya berkutat pelajaran dan masalah-masalah IPA, seperti energi, bumi, planet, komunikasi, listrik, teknologi dan lainnya”, katanya. Bagus. Banyak alat-alat peraga yang unik dan bisa menjelaskan berbagai fenomena alam dan rumus-rumus IPA. Kalau saja masa kecilku sempat menjumpai alat-alat peraga seperti ini, mungkin saja minatku pada pelajaran IPA akan lebih tinggi. Beberapa lama di Taman Pintar ini, aku jadi teringat bahwa di sekitar lokasi ini dulunya ada Shopping Centre Bookstore, tempat yang saat aku kuliah dulu sering berlama-lama untuk sekadar beli buku di tempat ini. Aku tidak tahu para pedagang itu pindah kemana setelah tempat ini menjadi area Taman Pintar ini. Sempat tadinya aku ingin mengajak HDSF ke Gramedia atau Social Agency, sekadar bernostalgia dan mengajak anak-anak untuk lebih suka dengan buku. Namun kupikir, untuk saat ini sungguh tidak bijaksana kalo aku melibatkan mereka pada hal-hal serius, saat mereka sedang dalam suasana santai, karena mereka pasti tidak akan menikmatinya.

Dari Taman Pintar, tadinya anak-anak minta ke Kidfan. Tapi berhubung lokasinya agak jauh, sekitar 10an km, arah Jogja-Wonosari, aku usulkan untuk ke gembira loka saja. Mereka setuju. Aku rasanya semakin mengenal betapa mereka itu tingkat pengertiannya cukup tinggi saat aku memberikan alasan-alasan dan pertimbangan logis terhadap sesuatu pilihan. Mereka tampak enjoy, karena memang pada dasarnya suka melihat berbagai binatang, meski beberapa hari yang lalu mereka sudah mengunjungi tempat ini bersama Ibu Jogja. Motor Honda yang kami kendarai, bertiga, meluncur ke lokasi dimaksud. SF sempat berkomentar heran saat nyampe lokasi. “Kok cepat sekali papa, padahal kemarin kita lama sekali nyampe tempat ini bersama Eyang Putri”, katanya. Aku tertawa mendengar kepolosannya. Tentu saja, sayang, karena kemarin kan naik bis kota sehingga terasa lebih lama. Dan tentunya emang lebih lama. Dan juga, kurasakan naik motor di kota seperti Jogja atau Wonogiri emang rasanya jauh lebih nyaman dibandingkan dengan naik motor di Jakarta.

Awalnya kupikir lokasi wisata ini tidak terlalu luas. Ternyata dugaanku keliru. Saat aku sudah kehabisan energi dan kecapean berjalan kaki, ternyata anak-anak seolah tidak lelah, dan terus menarikku untuk melihat berbagai satwa lainnya yang belum sempat dilihatnya. Tempat dan suasana kebun binatang di Jogja ini menurutku tidak begitu terawat. Variasi aneka satwa juga terkesan apa adanya. Pertunjukan satwa unik dan atraktif mungkin juga minim. Dibandingkan dengan saat pertama kali aku kesini saat masih di sekolah SD dulu, mungkin tidak terlalu banyak ada perubahan. Lihat betapa jauhnya apabila dibandingkan dengan fasilitas dan aneka pertunjukan di kawasan wisata Safari Puncak misalnya. Namun, yang penting, kulihat anak-anak begitu menikmati perjalanan ini. Mereka berlarian dari satu tempat ke tempat lainnya, mencari dan melihat berbagai jenis satwa, mengambil gambarnya, memberikan makanan daun-daunan dan lain sebagainya.

Dari kebun binatang, kami melanjutkan perjalanan. Kami mampir ke sebuah lesehan di depan Kraton Pakualaman Jogja. Aku teringat bahwa tempat ini merupakan salah satu tempat favorit untuk lesehan bersama ibunya anak-anakku. Aku hanya sekilas saja teringat hal ini, karena emang tidak mungkin untuk begitu saja melupakannya. Tetapi aku mampir ke tempat ini sama sekali bukan dalam kerangka nostalgia itu, tapi karena emang teh pocinya itu menurutku enak sekali. Manis dan mantap. Rasa teh yang begitu mantap seperti tempat ini, dan tempat-tempat lainnya emang hanya bisa kujumpai saat berada di Wonogiri, Solo atau Jogja. Dan tampat ini adalah salah satunya. HDSF makan nasi goreng ndeso, yang bumbunya jauh lebih terasa dibandingkan dengan nasi goreng yang biasa kita jumpai di Jakarta.

Dari tempat ini, perjalanan berlanjut. Kali ini kita ke alun-alun selatan. Tampak pemandangan keramaian khas Jogja. Tempat ini sejak dulu emang menjadi tempat orang-orang bersantai, bermain di lapangan yang teduh karena ada dua buah pohon beringin besar dan dikelilingi bangunan-bangunan tembok kraton yang tampak makin eksotik. Kita parkir di sebuah lesehan wedang ronde. Di sisi depan pintu gerbang kraton, tampak ada keramaian orang yang berjalan dengan mata tertutup kain. Rupanya legenda bahwa seseorang akan sulit berjalan lurus melewati tengah-tengah pohon beringin ini masih dipercaya sepanjang masa dan pasti akan masih ada di waktu-waktu mendatang. Aku belum pernah mengujinya. Di sisi lain, di pinggir lapangan, tempat penuh orang. Tua muda, anak-anak. Tempat ini emang cukup lapang bagi masyarakat Jogja yang ingin menikmati suasana, lesehan dan sekaligus sebagai arena main untuk anak-anaknya. Ada beberapa anak yang naik kuda berkeliling lapangan. Di seberang lapangan, tampak dua ekor gajah berukuran besar, berputar-putar pada jalurnya, dengan dinaiki oleh tiga atau empat orang sekaligus. Seketika HDSF mengajakku mencoba menaiki gajah tersebut. Sempat dua kali naik gajah. Putaran pertama kita bertiga, setelah kita sempat minta tolong pawang gajah untuk mengambil gambar kita. Sedangkan pada putaran kedua, hanya mereka berdua yang naik gajah dan kali ini aku yang menjadi juru fotonya. Anak-anak heran dan takjub saat sang pawang beberapa kali menginstruksikan sang gajah untuk berhenti, dan bergaya untuk diambil gambarnya.

Dari tempat ini kita mencari masjid untuk sholat Ashar. Tentu sekaligus sholat Dhuhur. Ini sudah menjadi kebiasaanku, untuk selalu mempergunakan fasilitas jamak dalam perjalanan. Aku bukannya sekadar mencari kemudahan atas perjalanan yang sedang aku lakukan. Tapi yah, menurutku kalo memang ada kemudahan, kenapa musti mencari yang sulit. Ini yang selalu menjadi dasar dan alasan hukum untuk selalu melakukan jamak saat di perjalanan. Aku sempat nervous saat sampai keempat atau kelima kalinya aku menjumpai musholla, namun pintunya terkunci. Rasanya agak aneh dan aku jarang sekali menjumpai hal seperti ini sebelumnya di kota Jogjakarta yang terkenal dengan keterbukaannya ini. Menurutku agak berlebihan saat sebuah musholla dikunci hanya sekadar karena khawatir berisiko kehilangan barang-barang atau aset yang ada di dalamnya. Bukankah mustinya kita lebih khawatir apabila sebuah musholla jarang digunakan untuk sholat, juga oleh para musafir yang sangat membutuhkan tempat sholat yang nyaman seperti aku pada saat ini? Akhirnya setelah muter-mutar, aku teringat bahwa ada masjid Muhammadiyah di Beteng Winangun Kadipaten Wetan mestinya tidak tutup. Dugaanku benar. Akhirnya kita bertiga sholat disana. Habis sholat kita pulang. Istirahat. Mandi.

Malam ini aku kembali pada obrolan yang serius dengan Bapak dan Ibu Jogja tentang rencana kami berikutnya, terutama berkaitan dengan masa depan HDSF. Beliau kali ini banyak berpesan dan memberikan support moral dan doa bagiku untuk merawat cucu-cucu mereka dengan sebaik-baiknya. Aku menangkap adanya kesan bahwa keinginan yang menggebu pada beliau untuk merawat anak-anak sudah agak mereda. Beliau hanya menyampaikan bahwa dengan tangan terbuka bersedia untuk membantu merawat dan membesarkan anak-anak, tentu saja kalau orangtuanya ikhlas. “Namun perlu dicatat, kami hanya mau terima dari mas, bukan dari HN yang anak kandung kami sendiri. Kami sadar bahwa meskipun secara hukum dia yang punya hak asuh bagi anak-anaknya, namun kami telah melihat dengan mata kepala kami sendiri bagaimana tanggungjawab dia terhadap HDSF”, katanya. Dari Beliau sempat terungkap juga bahwa ternyata HN awalnya setuju agar anak-anak dirawat di Jogja dengan beberapa syarat, yang disampaikan melalui tante UM kepada Bapak Jogja. Syarat pertama, agar seandainya anak-anak di Jogja jangan sampai tahu masalah orang tuanya. Kedua, HN tidak mau bertanggungjawab secara finansial. Dengan berbagai syarat tersebut, menurut Bapak Jogja sudah semakin jelas kepada siapa mereka bisa bicara, berkonsultasi dan berdiskusi mengenai masalah anak-anak, yakni dengan denganku, dan bukan dengan ibunya anak-anak. “Mas jangan pernah sungkan untuk selalu kerkomunikasi dengan kami, menjaga silaturrahmi. Jangan pernah berpikir bahwa rumah Kadipaten ini adalah rumah HN. Ini adalah rumah kami. Sebagaimana kami berulangkali mengatakan bahwa mas sudah kami anggap sebagai anak kami sendiri. Demikian juga AM anak kami sudah menganggap mas sebagai kakaknya. Dan anggaplah kami sebagai orangtua mas, sebagai pengganti Bapak mas yang sudah tiada”, uangkap beliau dengan tulus dan bijak.

Kusampaikan kepada beliau bahwa dengan keterbatasan yang ada saat ini, baik secara finansial maupun lainnya, aku akan berupaya semaksimal mungkin merawat, membesarkan, melindungi, menjaga, mendidik anak-anak. Beliau menguatkan bahwa roda akan selalu berputar. “Saat ini mungkin mas berada pada titik nadhir, titik bawah. Sangat berat yang mas hadapi. Tapi dengan tawakkal, mudah-mudahan mas akan berhasil naik kelas”, pesan Beliau. Yah, titik nadhir. Beliau mungkin sudah mendengar bagaimana anaknya menghabiskan harta yang sebenarnya dilindungi oleh koridor hukum baik agama maupun negara. Sebagian besar aset yang sudah dikuasainya, antara lain 2 buah rumah, mobil tabungan dan rekening utangku. Belakangan, kudengar HN justru kehilangan uang yang mungkin nilainya setara dengan yang dikuasainya secara tidak sah. Informasi yang kuterima, --yang aku tidak tahu seberapa tingkat validitasnya- HN kehilangan uang antara lain ke Dukun BY diatas Rp. 100 juta, dukun Ki GB sebesar Rp. 130an juta. Rugi dalam bisnis future market dengan melalui broker PT. Solid Gold Futures sebesar Rp. 150juta-200an juta. Lalu masih ada lagi biaya lawyer fee dan biaya lainnya yang ditimbulkan oleh nafsunya yang demikian ingin memenjarakanku senilai Rp. 80an juta. Total, barangkali angka Rp. 500an juta juga terlewati. Aku tidak tahu seberapa tingkat kebenaran informasi ini. Beberapa informasi pasti benar, yang lain aku hanya dengar-dengar saja Yang jelas, terhadapku seringkali HN bersikap arogan, selalu mengatakan punya banyak uang, mobil, dan juga rumah yang sudah dibelinya. Sedangkan faktanya, sepeserpun uang keluar darinya untuk anak-anak, menjadi pemandangan yang sangat langka. Gaji Encik yang dengan sabarnya membantu dia, mencucikan pakaian dan membersihkan kamar, dan memenuhi berbagai kerewelannya, kabarnya juga belum dibayar. Yah, urusan-urusannya yang demikian complicated itu emang sama sekali bukan kompetensiku dan aku tidak ingin melibatkan diri tahu terlalu banyak apa urusannya. B
agaimanapun aku harus bersukur bahwa masih ada jalan bagiku untuk bersama dengan anaik-anak. Dan hal yang seringkali aku merasa bersyukur, keberadaan anak-anak ini juga sering menjagaku untuk senantiasa istiqomah di jalan-Nya. Dalam suasana dan keadaan seperti ini, tantangan untuk senantiasa berada di jalan istiqomah dan agar dijauhkan dari godaan-godaan kenikmatan duniawi, kuakui bukan hal yang mudah untuk kudapatkan. Dalam turbulensi dan volatilitas berbagai terpaan ujian, aku juga merasakan adanya gelombang naik turunnya tingkat keimanan. Saat gelombang turun, downtrend, seringkali keberadaan anak-anak akan mengembalikanku pada fithrah untuk tetap menjaga komitmen, konsistensi dan istiqomah, dan mengabaikan godaan-godaan setan yang terasa begitu gencar dari depan, samping dan belakang.

Dalam diskusi dengan Bapak Jogja aku secara gamblang juga menyampaikan tahapan-tahapan jangka pendek satu dua bulan sampai setengah tahun di Jakarta. “Sesampai di Jakarta, kami langsung menempati rumah kontrakan Pak. Meskipun kami menempati rumah kontrakan, dengan segala keterbatasan resources yang ada pada kami, akan saya maksimalkan untuk kenyamanan anak-anak”, kataku.

Malam ini aku sempat mendapat tamu, temanku AS. Dia dulunya seorang aktifis organisasi mahasiswa Islam ekstra universiter terbesar di Indonesia. Dia ketua cabang di Jogja. Isterinya adalah IN seorang muslimah yang sangat santun, putih, cantik, cerdas, sholikhah, halus budi pekerti dan bahasanya. HN dulu sering cemburu saat mengetahui aku sering main ke kostnya IN. Aku masih teringat, dalam suatu kunjunganku bezuk terhadapnya saat sakit di rumah sakit Sardjito, aku sempat menjumpai suatu pemandangan percakapan yang sangat langka terjadi. Sungguh sangat langka dan aku jarang menjumpainya, saat seseorang wanita berbicara dengan bahasa Jawa yang super, bahkan ultra halus kepada ibundanya. Dia menggunakan bahasa Jawa yang super kromo terhadap Ibundanya. Bahasa-bahasa yang aku tahu artinya tetapi sama sekali sulit untuk mengucapkannya dengan runtut. Aku sempat berkata dalam hati bahwa sungguh beruntunglah laki-laki yang akan menjadi suaminya. AS sendiri tidak lulus kuliah, tepatnya tidak mau meluluskan diri. Memang di organisasi ini ada beberapa orang yang dalam pengembaraan intelektualnya telah membawa pikirannya untuk berkesimpulan bahwa ijazah S1 bukanlah apa-apa. Ada beberapa orang. Mungkin mereka terinspirasi pada orang-orang seperti Emha Ainun Nadjib yang sempat kuliah 6 bulan di kampusku, atau beberapa orang spesial lainnya. Dan biasa orang-orang yang sampai pada pemikiran seperti itu bukanlah orang yang biasa-biasa saja. Artinya potensi kecerdasannya, keinginan untuk survival tanpa ijazah S1, totalitasnya untuk berpegang teguh pada pendirian dan menanggung berbagai konsekuensinya, dan lain-lain, bagaimanapun kuakui dalam beberapa hal aku salut. Yang jelas aku tidak mungkin bisa seperti mereka. Bagiku pendidikan adalah penting, inclusif dengan berbagai ijazah dan embel-embelnya. Meski dalam beberapa hal aku salut, namun aku tetap saja menyayangkan kenapa mereka tidak menyelesaikan kuliahnya. Aku setuju bahwa selembar S1 memang bukan berarti apa-apa. Artinya nilai jual, comparative dan competitive advantage ijazah S1 saat ini tidak begitu berarti untuk arena persaingan saat ini. Namun ijazah S1 akan sangat berarti bagi pengembangan pendidikan dan wawasan di kemudian hari. Untuk mengambil kuliah S2 sampai S3 dan berbagai course lainnya. Dan juga, masyakarat masih menganggap bahwa title seseorang akan memberikan bobot terhadap kualitas statemennya. Aku jadi teringat bahwa beberapa waktu yang lalu sempat ngobrol di TIM dengan salah seorang seniorku yang dikenal sebagai salah satu legenda aktivis demonstran di Jogja di tahun 1990an. Dia juga tidak meluluskan kuliahnya di feugm. Saat ini menjadi "semacam" konsultan politik salah satu menteri. Meski tidak eksplisit, aku menangkap ada penyesalannya kenapa tidak menyelesaikan kuliah. Karena saat dia memimpin sebuah asosiasi wartawan di Indonesia, dia sering sekali mendapatkan tawaran scholarship dari sponsor NGO di luar negeri untuk kuliah ke luar negeri, dan dia hanya bisa memberikan rekomendasi ke beberapa yuniornya. Dan pada akhirnya saat ini dia terpaksa, tentunya setelah mengorbankan perasaan gengsi dan harga dirinya, dia melanjutkan kuliah di UMY Jogja. Tidak banyak yang mengetahui hal ini karena mungkin dia akan merasa gengsi kuliah lagi, dan aku adalah salah satu yang mengetahuinya dari dia sendiri secara langsung. “Rektornya temenku, hehehe.... dosen-dosennya juga adik-adik kelasku, sehingga aku tidak perlu kuliah di kelas”, katanya. Karena saat ini dia lebih banyak di Jakarta dan tidak memenuhi standar presensi kuliah di kelas, ternyata ada juga satu dua dosen yang tidak mau tahu dengan hal itu, dan seringkali itu membuat dia mengalami kesulitan dengan kelancaran kuliahnya.

Kembali ke temanku AS tadi. Dia saat ini juga mencoba untuk menjadi enterpreneur. Dia membuka penerbitan dan berbagai aktivitas sosial. Sudah ada 10 buku yang diterbitkannya. Aku pernah beberapa kali mendapatkan buku darinya. Namun menurutku bahasanya terlalu sastra dan melodramatik. Dia kuliah di teknologi pertanian, tidak lulus. Lalu sempat ingin belajar otodidak makroekonomi. Dia juga seorang penggemar seni dan sastra. Di Jogja dia sempat dikenal sebagai Budayawan muda. Beberapa lembar aku baca bukunya, kayaknya gak nyambung deh. Buku karyanya tebal-tebal, 300-an halaman. Beberapa bukunya mengulas tema Sufistik Jalaluddin Rumi. Ada juga tentang Syech Siti Jenar. Juga beberapa buku tentang Wanita.

Malam ini aku tidur tidak telalu malam. Habis sholat Maghrib dan Isya’ sama anak-anak, kita langsung tidur. Aku emang merasa kurang enak badan. Indikatornya, aku sempat kepayahan mengikuti jalan anak-anakku tadi siang, terutama di kebun binatang gembira loka. Aku tidur dengan Syifa, sedangkan Huda dengan Eyang kakung dan Eyang Putrinya.

Di Kota Kelahiranku

Pagi ini, Minggu 30 Maret 2008, suasana rumah rame. Saudara-saudaraku pada berdatangan. Pertama kali, adikku RF, yang saat ini jadi redaksur/ wartawan sebuah media di Jogja. Lalu AN juga datang lengkap dengan suaminya, GT dan anaknya MF dan SS, dengan membawa mobil dinasnya, Suzuki APV ambulancenya. Terakhir adikku AM dari Jogjakarta, berikut isterinya MA dan anaknya, IM. Terakhir, adikku TN yang barusan datang dari Jakarta. Aku tidak tahu apakah mereka saling bikin janjian untuk pulang ke Wonogiri. Entahlah. Yang jelas pagi ini suasana rumah begitu rame. Ibuku, seperti biasa, saat rame anak-anaknya pulang gini malah jadi sibuk menghabiskan waktu di dapur untuk bikin masakan istimewa buat anak-anaknya yang jarang-jarang pulang dalam waktu yang bersamaan, kecuali pada momentum lebaran. Kali ini ibu masak sop buntut. Yang ini adalah spesial order dari anakku Syifa, yang telah beberapa lama minta dibeliin sop buntut padaku, tapi sampai saat ini keinginannya belum kesampaian. Aku sendiri, terus terang saja, setiap kali pulang kampung pasti sudah menyusun rencana di kepala, bahwa pagi ini makan apa dimana, lalu siangnya makan apa dimana, begitu juga makan malamnya. Bicara soal aneka makanan di kota masa kecilku, Wonogiri, Solo dan sekitarnya ini memang bagaikan sebuah wisata kuliner bagiku, yang aroma kenikmatannya terasa begitu melekat pada lidah dan juga pada alam bawah sadarku, semenjak kecil sampai sekarang dan sampai kapanpun. Mudah, meriah dan enak. Mungkin ini pengaruh dari kebiasaan masa laluku yang sering sekali jajan di banyak tempat, bukannya makan makanan yang tersedia di rumah. Ini kebiasaan masa laluku yang agak berbeda dengan saudara-saudaraku lainnya.

Hari ini, beberapa diantara kita jalan-jalan ke Gajah Mungkur, dengan mobil APV ambulance adikku yang kepala Puskesmas di sebuah kecamatan, sekitar 30 km sebelah selatan kota Wonogiri. Tadi dia sempat bilang padaku tentang rencananya yang akan mengajukan cuti diluar tanggungan untuk kuliah spesialis di UGM Jogja, yang katanya akan ditempuh selama sekitar 9 semester. Kupikir, kuliah di kedokteran itu emang kuliah plus, apabila dibandingkan dengan mengambil jurusan lainnya. Waktunya panjang, kuliahnya serius, materinya sulit. Tentang rejekinya, ya tergantung dari nasib. Kadang kalo bagus ya bisa bagus sekali, sedangkan kalo tidak yang menjadi dokter yang tidak disambangi pasien-pasiennya. Adikku ini cukup beruntung. Lulus kuliah, setahun jaga klinik di Karawang, lalu mengjalani masa pengabdian di Wongori, tempat kampung halaman kita sendiri. Di tempat ini juga dia lulus dalam ujian PNS, dan dalam penempatan pertamanya langsung menjadi kepala Puskesmas.

Dengan mobil Suzuki APV Ambulance itu kita menuju ke pintu air Gajah Mungkur. Aku emang pengin kesana karena beberapa bulan terakhir sungai Bengawan Solo mengamuk di beberapa kota dialirinya. Dari Solo, Sragen, Demak, beberapa kota di Jawa Timur, semuanya sangat merasakan kedahsyatan amukan sungai ini. Dan hulu dari sungai ini adalah bendungan yang sore ini kami kunjungi. Ternyata pintu air tidak dibuka. Dan ternyata juga, mobil tidak bisa masuk sampai ke bendungan. Akhirnya, kita terpaksa di tengah terik matahari, berjalan menyusuri panjangnya keseluruhan bendungan. Mungkin ada 1 km, atau lebih. Yang jelas, lumayan capek, tapi senang. Terutama kami senang, melihat keceriaan anak-anak, HudaSyifa yang balapan dengan MF ponakanku. Mereka sebaya dan sejak dulu setiap ketemu selalu membuat suasana tambah meriah dan lucu.

Debit air waduk tampak bertambah, dibandingkan dengan terakhir kali aku kesini, sewaktu lebaran. Kabarnya pintu air dibuka sedikit aaja, maka banjir akan melanda pada aliran di bawahnya. Wongori menjadi sangat menentukan bagi daerah-daerah yang dialiri sungai Bengawan Solo. Aku jadi teringat kondisi Jakarta, dimana banjir tidaknya suatu daerah di Jakarta juga sangat ditentukan oleh beberapa pintu air di Depok dan Bogor.

Sore ini aku sempat mengalami dilema, antara pulang langsung ke Jakarta ataukah ke Jogja dulu baru ke Jakarta. Anak-anak minta agar aku ke Jogja bersama mereka dan mencari angkutan kereta atau bis dari Jogja. Tapi berhubung waktunya tidak memungkinkan, akhirnya aku memutuskan untuk pulang ke Jakarta via bis dari Wonogiri. Hatiku rasanya sangat tidak tega saat aku meninggalkan mereka di dalam monil, yang mengantarkanku ke terminal Krisak. Huda dan Syifa menangis memanggil-manggilku, dan tidak mau kucium sebagai tanda pamit dalam kepergianku ke Jakarta. Di tengah kudengar tangisan kedua anakku dan hujan lebat itu, aku segera naik bis. Aku juga teringat bahwa charger handphoneku ketinggalan di Jogja. Rencananya Huda dan Syifa nanti malam akan diantar adikku AM ke Kadipaten.

Di bis aku banyak menghabiskan waktu dengan tidur. Di Semarang, Gringsing, saat bis istirahat makan di sebuah restoran aku sempat menelepon Kadipaten. Ternyata HudaSyifa belum nyampe disana. Saat bis berangkat, aku tidur lagi.

Sampe di Brebes, di tengah-tengah tidurku, dalam kecepatannya, sekitar jam 01.00 BBWI, tiba-tiba bis oleng hebat dan tidak terkendali. Orang-orang pada berteriak kalut dan ketakutan. Beberapa orang terlempar dari kursinya. Bis berhenti dalam keadaan miring di luar jalan. Orang-orang masih kalut dan berusaha keluar dari bis, namun pintu terkunci. Aeak bis mencoba untuk menenangkan penumpang, bahwa kondisi bis aman karena menyangkut pada sebuah pohon. Aku sempat beristighfar, kupikir bis masuk jurang dan nyankgkut pada sebatang pohon sehingga masih selamat. Setelah dengan susah payah aku keluar melalui pintu darurat, aku tertawa dalam hati bahwa ternyata bahwa kondisi bis yang kutumpangi, hanya miring 2 rodanya terangkat, dan ditopang oleh poohn. Sedangkan di bahwanya bukanlah jurang, melainkan hanya selokan. Oalah, menurutku tidak sepadan dengan ketakutan pada penumpang, termasuk dugaanku tentang ancaman bis masuk jurang tadi. Sopir bis menjelaskan ke beberapa penumpang bahwa dia mencoba untuk banting stir ke kiri dan keluar jalan, karena kalau tidak bis akan menabrak sebuah kendaraan kijang yang berisi penuh penumpang.

Aku termasuk beruntung bahwa saat ada bis lain yang berhenti aku bisa pindah bis. Aku tidur lagi, tidak sempat meladeni pertanyaan beberapa penumpang tentang apa yang terjadi. Sekitar jam 6 pagi, bis masuk jalan tol Cikampek. Saat bis berada di jalan tol, memasuki Cawang menuju Pulogadung, sekitar pukul 07.15 BBWI., aku sempat memaksakan awak bis untuk turun di tempat tersebut. Karena aku harus mengejar waktu ke kantor di Senayan. Bisa dibayangkan, kalo aku harus mengikuti jalur bis sampai ke Pulogadung, tentunya aku akan terlambat cukup lama. Sampai di kantor sekitar pukul 07.45 BBWI, aku absen, lalu mandi di kantor, dengan mata masih terkantuk-kantuk.

Rabu, 02 April 2008

Sebuah desa di lereng Gunung Merapi

Sabtu, 29 Maret 2008. Pagi-pagi aku sudah dibangunin Huda. Aku agak geragapan karena hari ini aku bukan tidur di rumahku. Aku tidur di rumah mantan mertuaku, Bapak Jogja, yang sudah kuanggap sebagai orangtua sendiri. Mereka juga berpesan agar aku tidak perlu sungkan dan berpikir yang enggak-enggak saat tidur di rumahnya. “Anggap saja seperti yang dulu, karena kami juga mengganggap mas sudah seperti anak kami sendiri”, kata beliau. Aku geragapan saat dibangunkan Huda, “Masya Allah, sudah jam berapa ini, Masda”, tanyaku. Ternyata sudah jam 05.30 BBWI. Alhamdulillah, tidak telat-telat amat untuk sholat Shubuh. Di ruang tengah, Ibu dan Eyang Semarang sudah tampak rapi membaca Koran dan mengobrol. Aku segera sholat.

Pagi ini aku kembali berbincang dengan Eyang Semarang tentang banyak hal kehidupan, agama, pendidikan, ibadah, ujian hidup dan lain-lainnya. Dalam usianya yang telah 85 tahun, aku kagum dengan kejernihan, kepedulian dan keprihatinan beliau tentang berbagai persoalan dalam masyarakat.

Di tengah-tengah kami ngobrol, sekitar jam 10.00 BBWI adikku, AM datang. Dia dosen di feugm. Kami ngobrol bertiga.

Tak lama kemudian temanku, NR, datang. Dia adalah salah satu karibku yang kami cukup saling mengenal satu sama lain, saling bantu, di saat-saat akhir masa kuliah. Saat kami sama-sama ingin segera menyelesaikan studi, sekaligus memiliki aktivitas yang sama sebagai asisten dosen dan asisten peneliti. Saat kami sama-sama mengalami persoalan finansial sehingga membuat kami harus bekerja dan mengcreate income sebagai asisten. Saat-saat kami mengalami persoalan yang sama memiliki pacar yang seringkali bermasalah. Ya, kami memang sama-sama memiliki pacar yang dikategorikan sebagai orang yang sulit. Pacarku saat itu, --yang akhirnya menjadi isteriku dan saat ini terbukti sebagai orang yang sulit, mengganggapku sebagai musuh nomor satu di dunia, seperti yang sering dikatakannya— seringkali menjadi mudah saat diajak guyonan oleh karibku itu. Dan sebaliknya, saat pacar dia ngambeg –yang saat ini menjadi isterinya-- , maka biasanya kami sama-sama mencari cara dan metode untuk mengatasinya. Pendek kata, kami sama-sama saling bantu dan support, dalam suka dan duka. Saat aku butuh motor untuk menjemput pacar, atau mencari prospek atau taaruf, ke rumah mahasiswi lain, aku biasa pinjam motornya. Sampai saat kami lulus, kami masih suka saling support. Cuman karena kendala teknis domisili yang berbeda antara kali sudah lama tidak ketemu. Waktu ketemu terakhir kali, dia masih jadi dosen di salah satu PTS di Jogja. Dan seperti biasa, dia masih dalam tingkat kesulitan likuiditas. Beberapa pertemuan terakhir, saat dia butuh uang aku memberikannya dengan ikhlas. Meski dia bilang pinjam, aku bilang itu bukan pinjam. Ya, mungkin selama ini karena kesannya aku kerja di Jogja, di sebuah bank yang besar, dikiranya punya uang berlebih.

Terus terang saja aku agak malu dengan diriku sendiri kalo kuingat bahwa aku sempat berbisik pada adikku, “Nanti kalo NR mau pinjam uang, aku harus terus terang bilang kalo aku sedang tidak lukuid, karena dia tidak tahu persoalanku saat ini”. Terus terang aku agak malu karena telah suudzon, negative thinking dan under-estimate terhadap dia. Seperti biasa, begitu ketemu, dia ketawa lebar di teras. Kami ngobrol ngalor ngidul. Dia sempat nunjukin foto anaknya, 3,5 tahun. “Dan ini rumahku yang baru saja aku bangun di kampung, Cepogo Boyolali. Rupanya sejak kampusnya terkena gempa bumi besar di Jogja, dia keluar dari dosen, dan konsentrasi menjadi konsultan. Dia mendirikan lembaga riset bersama teman kuliah kami, JT, seorang dosen muda yang katanya saat ini menjadi raising starnya dosen di FE Undip Semarang. Dia bilang, “Aku mengalami sedikit lompatan peningkatan prestasi, setidaknya secara finansial, terutama setelah keluar dari dosen dan fokus di kegiatan consultancy”, katanya. Aku senang mendengarnya.

Lalu dia tanya,”Mana jeng ayune yang satu kok gak kelihatan?”. Rupanya masalahku belum diketahuinya. Aku memutuskan untuk menceritakan apa yang terjadi, daripada dia nantinya hanya sekadar mendengar selentingan kabar burung yang tidak jelas validitasnya. Akhirnya kami makan bersama di Pemancingan Galih, jalan Kaliurang. Tentu saja anak-anakku kuajak serta. Mereka senang,”Hore..., kita ke pemancingan..”, teriaknya. Kami berangkat dengan mobil Panthernya.

Sambil makan gurame baker dan ikan teri, serta menu lainnya, aku cerita tentang apa yang terjadi. Tidak ada maksud sama sekali bagiku untuk mengumbar cerita. Namun sungguh aneh rasanya saat seorang sahabatku, yang sejak awal sangat mengenal bagaimana suka duka bersama termasuk saat-saat proses pengenalan seorang wanita yang dalam perkembangan berikutnya sempat menjadi pendamping kita masing-masing. Dia sangat mengenal bagaimana seorang HN, sebagaimana juga kita sama-sama saling mengenal satu sama lain. Dia tidak begitu kaget saat mendengar kalo kita divorce. Hanya dia sempat kaget mendengar dampaknya yang berkepanjangan. Katanya,”Itu artinya dia emang sebenarnya masih mencintaimu, namun karena kalian yang sama-sama mengedepankan ego sehingga terjadi divorce, dan itu menimbulkan dendam yang amat sangat terhadap dirimu, yang akan sulit dihapuskan. Apalagi kita sama-sama tahu bagaimana wataknya”. Aku tersenyum pahit dan kecut mendengar komentarnya, dan menunjukkan sikap tidak setuju dengan statemennya. Tidak ada kamus lagi tentang hal itu dalam pikiranku. Selesai cerita rasanya aku plong, meski capek, namun terasa ada beban yang sangat berkurang. Terutama aku mengharap adanya advis dia dalam hal yang saat ini menjadi perhatianku, yakni mencari format dan solusi ideal untuk masa depan anak-anakku.

Habis makan kita bertolak ke luar kota. Rencana semula, aku bersama anak-anak mau melanjutkan silaturrahmi ke orangtuaku di Wonogiri, sedangkan NR balik lagi ke Boyolali, pulang ke rumahnya. Baru kuketahui bahwa ternyata karibku yang satu ini tinggal di Boyolali, bersama anaknya. Sedangkan isterinya sendiri tinggal di Jogja, di kos-kosan seperti dulu saat masih kuliah. “Lho, bagaimana kok bisa begitu?”. Menurutnya, isterinya sudah mencoba untuk tinggal di Boyolali, namun ternyata pola kehidupan disana terlalu berbeda dengan backgroundnya yang lebih banyak berada di tengah-tengah masyarakat perkotaan yang serba cuek dan individualistic. “Dia tidak kerasan tinggal di kampung, meskipun sudah aku buatkan rumah yang layak’, katanya. Yang penting, lanjutnya, kami sama-sama memutuskan ini untuk mendapatkan yang terbaik tanpa ada saling menyakiti. Dan kami sama-sama tahu konsekuensi atas apa yang kami pilih. Aku merasa jawabannya tidak tuntas, dan tampak ada sesuatu yang disembunyikannya. Tapi aku tidak mengejar dengan pertanyaan lebih jauh lagi. Yah, diantara teman-teman kita di Jogja, kami berdua ini sejak dulu memang sama-sama dikenal selalu berkutat dengan soal yang satu ini, bahkan semenjak kita sama-sama belum married, yakni bermasalah dengan pasangannya. Entah ngambeg, entah salah paham dan lainnya. Berkaca dari kejadian demi kejadian di masa lalu, saat belum married, mestinya aku lebih berhati-hati untuk mengambil keputusan untuk memilih pasangan dan masa depan. Aku jadi teringat bahwa dulunya mendiang ayahandaku sebenarnya kurang setuju dengan pilihanku. Namun dengan sikap demokratisnya, beliau tidak menyampaikan kepadakau secara langsung. Melainkan uneg-uneg beliau disampaikan melalui saudara-saudaraku lainnya. Katanya, beliau mengkhawatirkanku, mengingat sebelum married aja sudah sering bermasalah. Dan katanya, beliau sebenarnya berharap pada seorang gadis manis berjilbab, yang saat itu pernah kuajak ke rumah. Aku sering bilang ke saudaraku, seandainya saja waktu bisa berputar lagi, saat-saat itu aku mempunyai banyak pilihan. Setidaknya saat itu banyak gadis yang sedang kutaksir, hehehe, boleh kan sesekali geer dan percaya diri.

Setalah pamitan dengan keluarga di Jogja, kami seperjalanan menuju Solo. Rencananya aku akan ikut numpang ke Solo, dan selanjutnya kami akan travel atau bis di Solo untuk melanjutkan perjalanan ke Wonogiri. Ternyata dalam perjalanan kami demikian asyik cerita, di tengah-tengah hujan deras yang mengguyur Jogja-Klaten. Dia mengusulkan agar aku ikut dengannya ke Cepogo Boyolali. “Nanti biar aku suruh orang untuk mengantarkanmu dan anak-anakmu ke Wonogiri. Aku tidak bisa ikut ke Wonogiri karena aku harus menyiapkan materi presentasi besok di depan para pejabat Pemda Palembang”, usulnya. Sekitar jam 16.00 BBWI kami sampai di Cepogo Boyolali.

Aku teringat bahwa di desa ini ada beberapa temanku. 18 tahun yang lalu. Ya, waktu yang cukup lama dan tidak terasa saat ku teringat bahwa 18 tahun yang lalu aku pernah kesini. Menginap 2 hari di rumah temanku saat kuliah di Fisipol UNS. AZ nama temanku, puteranya Kepala Desa Tumang. Aku mengingat 2 hari disana. Desa yang dingin, dan memiliki potensi alam yang indah karena berada di lereng gunung Merapi dan Merbabu. Dan desa ini dikenal pusatnya kerajinan kuningan, disamping pusatnya susu sapi segar. Lalu aku juga teringat, saat aku kuliah di Jogja aku juga pernah berkunjung ke rumah salah seorang temanku, AR, yang ternyata masih sepupunya AZ. Dan saat itu, tak dinyana, ternyata salah satu sepupuku, mbak ER menikah dengan seorang pemuda yang berasal dari desa ini juga, yakni mas WS. Saat ini temanku AZ adalah seorang direktur di salah satu BMT di Boyolali, dan sepupuku mas WS adalah salah satu pembina di BMT tersebut. Wah, tampak betapa dunia terasa sempit saat aku bisa menemukan banyak keterkaitan dengan orang-orang di desa yang terletak di lereng gunung Merapi dan Merbabu ini.

Sore hari menjelang maghrib kami sempatkan untuk mengajak anak-anak pergi ke lokasi wisata, yakni Selo. Tempat ini begitu dingin, berkabut dan pemandangan tampak indah. Kedua anakku tampak menikmati perjalanan dan pemandangan di lereng gunung. Mereka juga ingat bahwa sekitar tiga tahun yang lalu kami juga sempat melewati lokasi ini, dalam perjalanan dari Boyolali-Magelang-Jogjakarta. “Ini tempat saat mobil si jago mogok yangkung kembali mogok, karena tidak kuat naik gunung” teriak HD anakku.

Malam hari, selepas maghriban, aku sempat silaturrahmi ke rumah AD dan mas WS. Tentu saja aku tahu bahwa kalaupun aku ke rumah mereka, tepatnya rumah orang tuanya, tentu mereka tidak ada di rumah tersebut. Setidaknya, aku bisa mendapatkan kontak nomor handphone mereka, disamping juga untuk silaturrahmi ke keluarganya. Mereka menyambut kami dengan hangat dan akrab, sikap khas masyarakat pedesaan. Anak-anakku juga senang. “Silaturrahmi dengan berkunjung ke saudara-saudara kita, teman-teman kita dan keluarganya, itu akan menambah umur kita, sayang”, begitu yang pesanku pada mereka. Mereka berkomentar,”Kalo begitu, seandainya umur kita di dunia ini 100 tahun, akan bertambah menjadi 150 tahun ya papa. Wah, hebat dong”, katanya. Menurutku, itu logis juga, karena seringkali ada banyak hikmah yang tidak kita sangka saat silaturrahmi. Misal orang sakit silaturrahmi, lalu mendapatkan informasi tentang obat yang akan menyembuhkan dan menambah umur dia. Juga, saat orang sedih sendirian, lalu mendapatkan hikmah kebahagiaan dan keceriaan setelah silaturrahmi sehingga hidupnya akan lebih bermakna dan terasa lebih panjang. Dan sebagainya dan sebagainya.

Sebelum pulang, kami sempat menikmati dentuman band, petikan gitar, alunan musik, piano, organ dan alat musik lainnya. Rupanya di lantai dua rumah NR, memang digunakan untuk latihan musik para pemuda di desa itu. "Yah, lumayan untuk sekadar hiburan di tempat terpencil ini. Kami sering diundang untuk tampil di acara-acara, dari musik dangdut, pop, maupun lainnya", katanya. Huda pengin segera melanjutkan perjalanan karena sudah kangen dengan Wonogiri, sedangkan Syifa masih ingin menikmati alunan musik dari sebuah grup musik di desa yang terletak di lereng gunung merapi. Sekitar pukul 10 malam kami diantar oleh anggota grup musik itu dengan naik panther. Sebuah perjalanan yang masih cukup jauh. Mereka tampak begitu tulus mengantarkan kami menempuh perjalanan di tengah-tengah dinginnya malam dan gerimis yang tidak juga berhenti dan cuaca yang kurang menentu.