Senin, 20 Oktober 2008

Pelajaran Moral dari Film Laskar Pelangi

Sedikit mereview perjalanan setelah selama sepuluh hari berada di kampung, emang telah membawa perubahan suasana dan kebiasaan. Pertama, tentu saja soal makan, dan mungkin dampaknya. Ini hal yang biasa setiap tahun, saat pulang berlebaran maka salah satu concernku adalah menyusun schedul makan, dalam sehari entah berapa kali, yang jelas sudah diluar ambang batas normal. Kadang siang hari udah makan tiga kali. Tapi itulah, namanya juga perayaan ritual setahun sekali, rasanya teramat sayang untuk dilewatkan begitu saja. Ternyata memori nikmatnya aroma dan cita rasa masakan kampung yang telah terekam dalam otak kita demikian kuatnya, sehingga saat sekarang pun masih merasa nikmat. Dan emang, diluar soal memori yang terekam secara subjektif dalam otak, soal cita rasa sepotong daging ayam kampung, seporsi mie ayam atau bakso ternyata emang sungguh-sungguh berbeda dengan yang biasa aku rasakan di Jakarta. Sampai-sampai aku harus agak menebalkan telinga saat orang tua komplain bahwa aku nyaris tidak pernah makan di rumah. Dampaknya? Mungkin soal berat badan, aku sengaja tidak terlalu memusingkan hal ini. Biasanya, berat badanku tidak mungkin dibawah 60 dan tidak mungkin melampaui 65. Saat ini, setelah selama 10 hari di kampung, sejujurnya aku tidak tahu apakah aku udah melampaui angka 65 kg. Biarkanlah, kupikir soal remeh-temeh seperti ini kan terlalu urgen buatku, setidaknya saat ini.

Kebiasaan kedua yang telah berubah, barangkali aku telah kehilangan jamaah yang bersamanya biasanya kita melakukan shalat shubuh bersama di sebuah musholla kecil di kampung, ngobrol bersama dan menikmati beberapa orang yang sedang tadarusan di musholla itu. Juga schedul rutinku yang selama ini telah terstruktur entah dengan mekanisme seperti apa, dimana setiap jam tertentu dan menit tertentu di malam hari seolah aku selalu dibangunkan oleh semacam the Invisible Hand untuk sholat dan sahur. Mungkin karena suasana kemaren adalah suasana ramadhan dan banyak malaikat-malaikat yang membantu umatnya agar memanfaatkan bulan diskon ini dengan merenung, membaca, tilawah dan shalat di malam hari. Pasca ramadhan, selama di kampung, hal ini tidak kurasakan lagi, seringkali bangun pagi, eh bangun siang dengan waktu yang cukup memalukan, terkadang saat matahari sudah cukup tinggi, dan aku belum shalat shubuh, meski di depan rumah ada musholla namun jarang dipakai berjamaah. Dan, waktu dua mingguan telah memporak-porandakan kebiasaan rutin yang telah terstruktur dengan rapi dan untuk mengembalikan kepada kebiasaan semula, sejujurnya, bukan perkara mudah. Saat ini hampir seminggu aku kembali ke duniaku di Jakarta, dan masih gamang dengan perubahan-perubahan tadi. Emang ternyata konsistensi dan sikap istiqomah secara terus-menerus.

Begitu sampai di Jakarta, hal yang ingin kulakukan adalah nonton film Laskar Pelangi, mumpung masih beredar di pasaran. Dan seminggu disini, aku sudah nonton dua kali. Pertama, nonton film sebelum baca novelnya Andrea Hirata. Yang kedua, nonton filmnya setelah aku membaca novelnya. Selama ini aku berpendapat, dan kebanyakan orang pada umumnya juga begitu, bahwa nonton film-film yang diangkat dari novel sukses semestinya haruslah baca novelnya terlebih dahulu, baru kemudian nonton filmnya. Sebut saja film Harry Potter, trilogi Lord of The Rings, The Da Vinci Dode's, The Bourne to Supremacy dan kawan2nya, film2 dari novel John Grisham, juga beberapa film lokal seperti Ayat-Ayat Cinta dan yang sebentar lagi akan beredar yakni Ketika Cinta Bertasbih. Selama ini, biasanya aku telah khatam baca novelnya, yang pastinya best seller, karena kalo enggak, tidak akan diangkat ke layar lebar. Dan biasanya, nyaris selalu terjadi, ada semacam kekecewaan bahwa kualitas film tidak sebagus novelnya. Kenapa? Karena ternyata otak kita telah terindoktrinasi oleh alur dan kronologi cerita yang telah kita tangkap dan kita rekam dalam memori kita saat membaca bukunya. Alur itu telah memenuhi memori kita, sehingga seringkali ada kekecewaan saat ada momentum-momentum tertentu yang ingin kita saksikan di film ternyata tidak ditampilkan sebagaimana yang ada pada novelnya. Padahal film dan novel adalah media yang tidak selalu berjalan dengan linear, dimana masing-masing memiliki keterbatasan untuk menyampaikan pesan kepada pembaca atau penontonnya, dan memiliki stressing yang berbeda pula, sehingga yang ada adalah kekecewaan saat memori yang telah kita bangun sejak membaca buku ternyata mengalami pengalaman yang berbeda dengan saat melihat filmnya. Kalau buku, nyaris tidak ada batasan waktu untuk mengeksplor imaginasi penulis maupun pembaca secara detil dan habis-habisan di setiap momentum, sedangkan film sangat dibatasi oleh waktu untuk menyampaikan pesan penting dan alur cerita yang terkadang mengandung simplifikasi dari alur cerita pada novelnya. Simplifikasi itu mungkin hal yang penting, atau juga mungkin tidak penting, menurut aku tergantung bagaimana kemampuan film ini sendiri menerjemahkan pesan moral yang ingin disampaikan kepada penontonnya, sebagaimana yang telah ditangkap oleh pembaca bukunya. Kenapa pesan moral? Sejujurnya, pesan-pesan moral inilah yang urgen pada film ini. Dan ternyata, aku baru saja mengalami pengalaman dimana menonton film tanpa terlebih dahulu membacanya ternyata lebih mengasyikkan daripada terlebih dahulu harus membaca novelnya. Karena saat kita duduk di bangku film, maka pikiran dan konsentrasi kita dalam keadaan zero, untuk menikmati sekuel demi sekuel alur cerita tanpa mengalami indoktrinasi alur cerita yang kita ketahui dari novel sebelumnya. Indoktrinasi itu akan lebih menjadi faktor pengganggu dalam menikmati film. Namun, tentu saja ini tidak mutlah, tergantung dari kualitas dan penghayatan filmnya juga. Kalau filmnya dikemas dengan kualitas tinggi maka penonton akan memperoleh pengalaman yang akan tertanam dalam memorinya dalam waktu yang lama. Seperti film Harry Potter misalnya, yang didukung oleh karakter yang kuat, animasi dan teknologi yang canggih dan alur cerita yang simpel maka seorang penonton yang tidak membaca bukunya pun akan mampu menikmati dan menghayatinya. Apalagi yang pernah membaca novelnya. Dan sejujurnya, film yang disutradarai oleh Riri, entah siapa nama panjangnya, ini sangat bagus, terutama dalam penciptaan karakter dan penyampaian pesan moral kepada penontonnya. Juga dalam menampilkan alam dan suasana kota di tahun 1974, budaya Melayu yang saat itu bagai terjajah oleh korporasi yang dikuasai oleh orang-orang Jawa.

Pengambilan karakter seorang bu mus yang dengan penuh komitmen tinggi, kasih sayang, perhatian, setia membimbing anak muridnya yang berjumlah 10 orang, yang disebutnya sebagai laskar pelangi, menjadikan beliau sangat mengagumkan dan bersahaja. Seorang guru muda yang cantik, yang memilih menjadi guru dibandingkan dengan menjadi isteri seorang saudagar. Dengarkan kata-katanya,"Saya tidak pernah bercita-cita menjadi isteri saudara Pak Cik. Saya ingin menjadi seorang guru, dan Pak Cik adalah orang yang pertama kali mengatakan bahwa saya bisa menjadi seorang guru," kata bu mus dengan senyumnya dan makeup tepung berasnya yang membuatnya tampak sederhana namun cantik. Kapasitas yang dimiliki oleh seorang bu mus, yang memberikan ruang yang luas bagi murid-muridnya untuk mengeksplor pengetahuannya, dan sedikit mengabaikan apa yang oleh guru lainnya disebut sebagai etika di kelas, misalnya mendebat pendapat gurunya, memotong pembicaraan dan lainnya. Bagi bu mus hal-hal remeh-temeh itu tidak penting dibandingkan dengan keinginan untuk mengembangkan suasana belajar mengajar yang kondusif bagi para anak siswanya. Sedangkan pak Arfan, yang dengan petuah dan pesannya yang sangat luar biasa kepada para siswanya, agar memiliki cita-cita dan memperjuangkan semaksimal mungkin dan sikap hidup lainnya, menjadikan beliau sebagai seorang kepala sekolah yang sangat konsisten, komitmen dan istiqomah. Saat banyak orang pesimis tentang keberlangsungan sekolah ini maka beliau mengatakan bahwa sekolah ini harus tetap ada, karena inilah satu-satunya sekolah yang mendasarkan nilai kecerdasan tidaklah diukur dari nilai-nilai pada rapor dan ujian melainkan dinilai dari hati. Inilah spiritual dan emotional quotient yang diterjemahkan dalam persepsinya saat sekolah dan masyarakat justru mempergunakan intelectual quotient berupa nilai rapor dan ujian sebagai satu-satunya parameter. Simak juga pesan beliau jadikanlah hidup dengan memberikan sebanyak-banyaknya dan bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya. Kata-kata yang simpel, namun inilah makna kebahagiaan yang hakiki, saat bisa memberikan sesuatu kepada orang lain dengan tingkat keikhlasan yang tinggi. Inilah spiritual happiness, yakni saat kita memberikan sesuatu kepada orang lain karena itu akan sangat menyentuh hati nurani kita, atau dalam bahasa lain God Spot, unconscious mind, soul, jiwo, atau etos kita. Sedangkan kebahagiaan yang sering dianggap sebagai perasaan bahagia sesungguhnya ada pada level yang lebih rendah, yakni physical happiness dan emotional happiness, yakni saat kita menerima sesuatu yang menyenangkan dari orang lain, bisa berbentuk penghargaan, perasaan atau fisik. Itulah makanya seorang seperti pak arfan dan bu mus tampak selalu bahagia dengan dunianya sebagai kepala sekolah dan guru pada sekolah yang paling miskin.

Menikmati film ini, memori ingatanku mau tidak mau terbawa ke masa kecilku, yang rentang waktu kejadiannya nyaris sama dengan yang diceritakan oleh Andrea Hirata. Andainya film ini bercerita tentang kisah nyata yang dialami oleh penulisnya maka mungkin usiaku hampir sama dengan usia Andrea Hirata, yakni masa sd di tahun-tahun 1975-an. Bukannya aku bermaksud untuk menyama-nyamain kejadian, background dan alur cerita di film ini namun sejujurnya saat aku nonton film ini, penghayatan terbesarku adalah saat aku mereview kembali perjalanan yang aku alami saat-saat itu, yang mungkin karena nyaris tak pernah aku lakukan review dan kontemplasi atas hikmah dari perjalananku sejak kecil maka saat nonton film ini aku sangat menghayati kembalinya masa kecilku saat itu. Aku agak tertawa malu saat aku sempat seolah menganggap bahwa aku di masa kecilku mirip dengan Ikal, yang mungkin merepresentasikan penulisnya, yakni Andrea Hirata. Padahal tentu saja, adanya beberapa kesamaan maka perbedaannya pun tentunya jauh lebih banyak, hahaha.

SD yang aku tempat menuntut ilmu, saat aku mulai belajar bersosialisasi dan mengenal teman saat itu adalah juga sd muhammadiyah, semacam sd muhammadiyah Gandong. Sebuah sd yang di awal-awal aku masuk, secara fisik sangat memprihatinkan apabila dibandingkan dengan sd lainnya. Padahal rumahku persis bersebelahan dengan sebuah sd yang waktu itu sangat favorit, dimana dengan satu lompatan dari pekaranganku saja maka aku sudah nyampai di sekolah tersebut. Di masa itu, kami bersaudara sering membanding-bandingkan antara sd favorit itu dengan sd muhammadiyah kami. Karena di kalangan keluarga besar kami saat itu sebagian ada yang menyekolahkan anak-anaknya ke sd muhammadiyah dan sebagiannya ke sd tersebut. Maklum, background keluarganya yang lumayan kental dengan tradisi keislamannya, pada kalangan tua rata-rata adalah tradisi nu karena mereka berasal dari pesantren-pesantren yang kebanyakan adalah berbasis tradisi nu. Sedangkan yang lebih muda rata-rata sudah mengenal tradisi muhammadiyah yang lebih modern. Untuk generasi keluarga ayahku termasuk yang lebih modern, dimana kebanyakan aktif di muhammadiyah. Upaya membandingkan kedua sekolah itu pada akhirnya seringkali membuat kami menjadi malu, rendah diri dan minder, karena begitu jauh perbedaan fasilitas dan prestasi kedua sekolah itu. SD negeri yang kumaksud itu telah dikenal sebagai sd favorit yang level akademisnya waktu itu telah dikenal tidak hanya di kota kami, melainkan juga sampai ke level kotamadya bahkan propinsi. Tidak lain dan tidak bukan adalah karena beberapa prestasi yang telah ditorehkan oleh beberapa murid, yang kebanyakan juga masih kerabat/ sepupuku. Misalnya, waktu itu, mas amien dan mas hono, yang mereka waktu itu adalah dua serangkai yang prestasinya mengangkat gengsi sd sampai ke level propinsi. mas amien ini kuliahnya satu universitas denganku, tentu saja di engineer, sebagaimana kebanyakan kakak-kakaknya, dan nyaris tidak lulus. Sedangkan mas hono yang dibawahnya, saat ini berkarir di telkom setelah s1 dan s2nya mendapatkan beasiswa dari telkom. Juga generasi di bawahku, aziz, sepupuku yang yatim, yang saat masuk kuliah di terima dimana-mana, ugm, itb, stan namun memilih beasiswa ke Jepang karena tanpa biaya, ditanggung oleh beasiswa sebuah bumn, ternyata programnya diputus di tengah jalan. Peminat untuk masuk ke sd favorit ini selalu membludag, namun ayahku lebih suka memasukkan kami semua, ke-7 anaknya ke sebuah sd yang waktu itu nyaris roboh, dan bocor disana-sini. Setiap kelasnya berisi 10-20 orang siswa. Kebanyakan yang masuk adalah, pertama tentu saja yang orangtuanya memiliki kesadaran untuk memberikan basic agama di tingkat dasar kepada anak-anaknya agar tidak sesat oleh pengaruh buruk syetan. Kedua, mereka yang orangtuanya adalah muhammadiyah. Ketiga, mereka yang relatif miskin karena sekolah ini meski swasta pasti lebih murah daripada sd negeri. Keempat, mungkin mereka yang lokasi rumahnya berdekatan dengan sekolah yang tidak ingin merepotkan anak-anaknya mencari sekolah yang jauh. Kami dari tujuh bersaudara kesemuanya bersekolah di tempat ini. Dan kebanyakan diantara kami adalah bintang kelas, kecuali aku tentunya. Entah saudara-saudaraku ini waktu itu bisa menjadi bintang kelas yang selalu bersinar dari kelas 1 sampai kelas 6 itu karena emang kelasnya tidak kompetitif, siswanya yang terlalu sedikit atau mungkin juga karena para gurunya terlampau segan dengan ayahku yang menjadi ketua muhammadiyah di kotaku. Tapi yang jelas, beberapa diantara saudaraku emang konsisten untuk menjaga potensi kecerdasan akademiknya, seperti kakakku yang paling besar, yang ternyata masih selalu the best setelah lulus dari sd, yang melanjutkan ke smp dan sma favorit di kotaku, dan mendapatkan beasiswa di perguruan tinggi teknologi paling favorit di negeri ini. Namun saat lulus dia tidak terlalu berambisi untuk menjadi engineer sebagaimana teman-temannya, yang mungkin mempengaruhi kehidupannya secara materi, namun toh dia tetap menikmati kehidupannya sebagai dosen di sebuah perguruan tinggi swasta di kota bandung. Mungkin itu adalah cita-cita dan idealismenya, aku gak tahu. Lalu adikku yang perempuan, yang juga selalu the best, bahkan sejak sd sampai ke universitas yang termasuk terbesar di negeri ini, dengan jurusan yang paling susah, yakni kedokteran, dimana dia lulus cum laude, dan saat ini menjadi kepala puskesmas di kota kami dan mendapkan beasiswa untuk melanjutkan spesialis di universitas yang sama. Dia juga selalu the best di kelasnya, bahkan saat dia nyaris tidak lulus karena selama 4 bulan tergolek sakit sakit parah oleh penyakit yang tidak begitu jelas waktu itu, ternyata tetap saja sulit dikejar kompetitornya. Adikku yang satunya, amien, juga lumayan konsisten dalam prestasinya, dimana meski sempat kuliah di semarang, namun dia telah mengambil keputusan yang jitu saat pindah ke universitas yang sama denganku, beda jurusan. Dia juga cum laude, dan saat ini menjadi dosen muda yang telah lulus M.Scnya dari sebuah universitas di Eropa. Saudaraku yang lainnya mungkin tidak begitu mampu untuk menjaga konsistensi untuk selalu berada di puncak prestasinya. Aku sendiri yang paling tidak berprestasi di sdku, teteup saja, alhamdulillah, mungkin ada sedikit keberuntungan saat bisa masuk ke universitas tujuanku di kota pelajar. Mengingat sd sampai sma aku sangat dikenal bukan karena prestasi tapi karena saking badungnya.
Kembali ke sd muhammadiyah tadi, bukannya menyamakan kondisi yang ada di film, namun memang aku benar-benar merasakan bahwa sdku itu ibarat satu-satunya sd islam yang ada di kota kami waktu itu, dan tidak banyak guru yang mengajar kami, namun kesemuanya luar biasa. Bu MR, sang kepala sekolahku yang keras dan sering memanggilku karena berbagai kenakalan yang kubuat seperti mengendarai sepeda ke kelas dan mutar-mutar di dalam ruangan. Lalu Pak KM, adiknya bu MR. Beliau saat ini menjadi kepala sekolah yang kudengar paling sukses di kota kami. Mereke berdua yang paling lama mendampingi kami, mengajarkan tidak hanya materi-materi kurikulum yang terkadang dikemas sendiri oleh beliau, melainkan juga mengajarkan tentang sikap hidup. Salah satu keahlian beliau adalah mendongeng, pelajaran favorit kami, saat kami mendengarkan dengan seksama setiap kata yang beliau sampaikan.

Pada adegan di film, saat setelah hujan lebat dan banyak kambing yang masuk di kelas, aku juga teringat pada ruang kelasku yang setiap kali hujan maka tetesan-tetesan air dari langit akan sampai di meja kami karena banyaknya genteng yang bocor. Sekolah kami adalah sekolah yang berusia tua, beberapa ruang yang tidak bisa terpakai karena kerusakannya demikian parah, memaksa setiap anak untuk membayangan sesuatu suasana yang angker. Kelas kami terdiri dari belasan orang, tidak lebih dari 15 orang. Dalam acara reuni smp kemaren, beberapa diantaranya ternyata bisa masuk ke smp favorit, diantaranya aku, ning, tenza, ina, rahayu dan teguh. Tiga orang pertama saat ini tinggal di Jakarta. NG, temanku yang paling sering bersama karena teman sekelas dari sd sampai sma, saat ini adalah salah satu caleg dpr ri dari fraksi pks, dan kami tekradang mendiskusikan tentang sesuatu hal. TZ menjadi ahli pertanahan di ibukota. Yang lainnya mungkin masih ada di kota kami, entah apa kesibukan mereka. Jumlah teman kami sekelas mungkin sedikit lebih banyak dibandingkan dengan laskar pelangi, namun berbagai pengalaman kami juga cukup mengasyikkan diantaranya berenang sepulang dari sekolah, masuk ke hutan, naik gunung, menyusuri lembah dan lain sebagainya.
Adegan saat sekolah ini akhirnya bisa menyihir masyarakat saat menampilkan kesenian yang merupakan mahakarya tingkat tinggi salah seorang siswanya yang menampilkan kesenian khas afrika yang sangat mistis. Belum lagi saat team cerdas cermat dari sd ini mempresentasikan kemampuan yang sangat mengagumkan saat siswa jenius terbaik didikan alam di sd muhammadiyah ini selalu dengan tangkas menyambar habis pertanyaan yang diajukan oleh team juri. Ini sekali lagi menunjukkan bahwa prestasi tidak bisa diukur semata-mata dari materi yang digelontorkan tak ada habis-habisnya sebagaimana yang dilakukan oleh sd pn t imah yang sangat favorit, namun mendadak tidak berdaya melawan dominasi sd muhammadiyah yang melarat. Ehm, akupun sempat mengingat bahwa sdku, dalam suatu kesempatan pertama yang kami ikuti, yakni lomba gerak jalan tingkat kabupaten dan cerdas-cermat, ternyata kami bisa juara. tentu saja suasana emosional yang kami rasakan tidak seperti pada film ini.

Pendeknya, film ini sangat mengagumkan, dan memberikan pesan moral yang sangat penting. Film ini berhasil mempresentasikan kondisi realitas masyarakat di Indonesia. masyarakat yang selama ini senantiasa mendudukkan nilai-nilai, outcome, hasil ujian sebagai satu-satunya parameter, dengan tidak peduli apapun cara yang ditempuh untuk mendapatkan yang nilai yang terbaik. Film ini juga memberikan pesan kepada para siswa untuk memiliki cita-cita yang tinggi, dan memperjuangkan cita-cita itu. Ada plan A dan plan B, katanya. Plan A adalah mencitrakan diri sesuai dengan potensi dan bakat yang dimilikinya, lantas berusaha mencapai citra tersebut. Kalau tidak berhasil, kemungkinan yang dianggap potensi atau bakat tersebut sesungguhnya bukan disitu, sehingga harus lupakan, buang dan cari potensi dan bakat lainnya, alias plan B. Lalu dimulai lagi untuk memperjuangkannya. Demikian siklusnya. Apapun hasilnya, maka yang menjadi concern kita adalah upaya dan ikhtiar untuk mencapai hasil. Apapun hasilnya, bukanlah urusan manusia.

Pesan moral lain, oragn miskin yang ada di Indonesia, dimana kebanyakan adalah miskin apabila digunakan parameter yang objektif, haruslah memiliki kesadaran akan hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Akhirnya, film ini benar-benar layak untuk ditonton. Dan ternyata, lebih asyik nonton film dulu, baru kemudian baca novelnya, sungguh..

Tidak ada komentar: