Minggu, 05 Oktober 2008

Syawalan ditengah Keluarga dan Sahabat

Ini adalah pertamakali syawalan tanpa anak-anak, Hdsf. Rasanya ada yang sangat kurang menikmati syawalan tanpa ada mereka. Selama ini, sejak kami tinggal di Jakarta, sejak tahun 2000an, kita selalu menikmati perjalanan berlebaran, naik mobil dari Jakarta menuju kampong dengan berbagai tingkat kesulitan, stress menghadapi kemacetan, waktu cuti yang terbatas dan lain-lain, namun toh kami selalu sangat menikmati perjalanan. Terkadang di suatu tempat kami berhenti untuk sekadar melepas lelah atau menikmati suasana tempat wisata. Dan pada tahun-tahun terakhir ini aku semakin menikmati kebersamaan dengan anak-anak.
Namun mulai tahun ini, kayaknya, mau tidak mau, suka tidak suka, aku harus mengkondisikan dan membiasakan diri keberadaan mereka bersamaku bagaimanapun sudah diluar kapasitasku. Perkembangan dalam satu bulan terakhir ini, sesuatu yang benar-benar bukan kehendakku, ternyata telah memaksaku untuk berada pada situasi yang sangat menyulitkanku untuk berhubungan dengan anak kandungku sendiri. Sedih, pasti sangat kurasakan. Aku sulit membayangkan, dalam kondisi seperti ini, apa yang dirasakan oleh anak-anakku. Namun sekali lagi, aku coba ambil hikmahnya. Bahwa keinginan dan kondisi ini benar-benar diluar kompetensi dan kewenanganku, dan ini sama sekali tidak aku kehendaki. Namun bagaimanapun, saat ini terjadi, aku harus mengikhlaskannya. Dia adalah assetku, titipan dan amanah dariNya untuk aku besarkan, untuk aku didik dengan sebaik-baiknya. Namun ada irisan kepentingan antarpihak yang yang dititipi bukan hanya aku, sehingga dalam kondisi apapun, saat asset itu lepas dari tanganku, aku harus mengikhlaskannya. Bahkan pada essensinya, bicara soal asset, kesemuanya bukanlah milikku, apapun hanyalah titipan dariNya yang Maha Memiliki dan Maha Berkuasa untuk menarik kembali atas titipanNya. Dan tak ada yang kita miliki. Sehingga kalau kita sadari seperti ini maka kehilangan apapun yang pernah kumiliki, rasanya tak ada hal yang memberatkan hati ini. Dialah tempat bergantung, Allahus Shomad. Dialah yang Maha Kaya dan Maha Memiliki atas segala sesuatu. Dan masihkah kita mendamba dan mengagungkan beberapa lembar sertifikat tanah, rumah, ruko, selembar bukti atas kepemilikan mobil? Mestikah hidup ini dihabiskan untuk mendapatkan hal itu, dan membanggakan hal itu? Sedikit klarifikasi dan untuk meluruskan perspektif apa yang aku lakukan dan akan aku lakukan berhubungan dengan ketidakadilan yang aku alami dalam persidangan pembagian harta bersama di akhir ramadhan kemaren. Bahwa yang aku lakukan, pertimbangan yang aku gunakan saat melakukan banding atas keputusan yang sangat-sangat bertentangan dengan prinsip keadilan itu, adalah bukan soal selembar sertifikat dan bpkb atau beberapa meter tanah atau ruko. Bukan semata soal materi. Yang aku lakukan adalah, ya, sesuatu yang emang harus aku lakukan dalam proses perjuangan menegakkan keadilan. Yah, kalo dipikir dengan memakai logika manapun, emang tampak jelas betapa tidak adilnya, dengan nilai aset sebesar Rp. 1,2 miliar, terdiri dari rumah di kompleks bji (masih ada), ruko di bekasi plaza (masih ada), dan beberapa aset yang telah dilikuidasinya saat proses cerai terdiri dari rumah di kompleks graha harapan, rumah di kompleks satwika telkom jatiasih, mobil baleno dan sejumlah uangku, nyaris dari semua total asset jatuh ke tangan dia. Dan aku hanya mendapat 2,5% dari total aset Rp. 1,2 miliar tadi, senilai dengan zakat mal setahun. Kudengar 30 juta itu disebut oleh hakim pa bekasi sebagai nilai ekuivalen 30 persen dari asset tersisa, sehingga menimbulkan keheranan yang amat sangat soal valuasi aset ini. Aku sempat setengah becanda mengirimkan sms ke hakim yang memutus perkara, emangnya bapak sendiri yang mau beli aset itu, kok semurah banget, hehe. Yah, prinsipnya, inilah yang harus aku lakukan, upaya hukum untuk mencari keadilan atas hak, sesuatu yang termotivasi untuk mencari keadilan dan dilakukan melalui jalan yang harus diridhoiNya. Banding adalah upaya hukum yang emang harus kulakukan, bahkan kalau perlu nanti Kasasi, atau Peninjauan Kembali. Tak masalah kalaupun itu harus aku tempuh. Dan saat ternyata pada suatu titik, sudah tidak ada lagi yang bisa kulakukan, maka sudah selesailah kewajibanku di dunia ini. Karena emang itulah kewajibanku saat ini, yakni upaya, ikhtiar dan usaha. Soal hasil bukanlah urusanku. Dan harus aku sadari bahwa hasil keadilan di dunia, tidak selalu selaras dengan pengadilannya yang super adil nanti di akhirat. Dengan pemahaman seperti ini, niscaya hati ini akan selalu diliputi dengan kenyamanan dan keikhlasan yang tinggi. Saat nanti sampai pada titik terakhir tidak ada lagi upaya dan ikhtiar yang kulakukan, karena telah selesai dan mentok, maka aku telah siap untuk mengatakan bahwa masih akan ada keadilan yang hakiki di akhirat, suatu kehidupan yang jauh lebih kekal dan abadi.
Diluar ketidakhadiran anak-anak bersamaku, syawalan di rumah kali ini kami kehilangan sedikit kebersamaan, yakni adikku, AM, yang tahun ini tidak bersama kami karena harus syawalan di keluarga isterinya, MA di Palembang. Bukan di Palembang tepatnya, masih harus ditempuh 8 jam perjalanan dari Palembang maupun Lampung. Tempat yang sering disebut sebagai Dusun, karena emang lokasinya yang jauh, dan mungkin sangat jauh dari peradaban. Di hari pernikahannya yang heroik dulu kami rame-rame kesana. Kampung yang sungguh melewati perjuangan berat untuk sampai kesana, harus ditempuh dalam perjalanan panjang, melewati hutan belantara, gunung, jalan setapak, bahkan jembatan yang hanya dibuat dari dua batang kayu. Saat tiba di kampungnya, kebanyakan rumah cukup unik. Yang membuatku kagum tentu saja keluarga isteri adikku tersebut, ternyata meski di tengah-tengah kampong di tengah hutan yang jauh dari peradaban, ternyata memiliki kesadaran pendidikan yang relative tinggi. Dengan keluarga besar, kalau tidak salah anaknya lebih dari cukup untuk bikin team kesebelasan sepak bola, ternyata hampir kesemuanya kuliah di dua perguruan tinggi paling terkemuka di negeri ini, yakni di itb bandung dan ugm jogja. Ternyata permata yang berada di hutan tetaplah pertama, eh permata, itu barangkali istilah yang tepat.
Aku nyampe di Wonogiri, siang hari, tanggal 30 September 2008, H minus 1. Suasana semarak idul fitri sudah terasa begitu nyampai di kampong halaman. Malamnya aku ke masjid Taqwa, untuk nostalgia sekaligus membayar zakat, sempat ketemu dengan beberapa teman dan bapak-bapak takmir. Salah satu yang membuatku terkesan adalah saat ngobrol dengan Pak SP. Beliau segenerasi dengan almarhum ayahandaku, juga dengan almarhum Paklik RD, mereka bertiga bahu membahu dalam dunia dakwah di kota kami, sebagai muballigh, di Muhammadiyah, masing-masing sebagai Ketua Majelis Tabligh, Ketua Majlis Tarjih dan Sekretaris Umum, serta sama-sama bekerja pada instansi yang sama. Mereka bertiga juga aktif di PAN, saat angin politik di Indonesia berubah dengan memberikan kebebasan untuk beraspirasi politik. Ada obrolan yang nyambung kemaren, saat beliau tiba-tiba menyarankanku untuk pindah pekerjaan di bank syariah. "Karena sekarang sudah ada yang syar'i. Sehingga mas akan lebih nyaman dan tenang dalam bekerja", begitu katanya. Aku mengiyakan dan setuju dengan statemen ini. “Aku juga diamanati oleh Mbahmu, Mbah ZB, menggantikan beliau jadi ketua Takmir di masjid Taqwa ini, mas”, kata beliau. Disamping itu dalam usianya ini, beliau juga masih aktif di Muhammadiyah, menjadi ketua Sholat Khusyu’ Wonogiri, ketua Sholat untuk kesehatan Wonogiri, dan coordinator Metode dan Struktur Format Al Qur’an. Dengan tingkat usia, dimana teman-teman segenerasinya sudah pada undur diri dari aktivitas dakwah, dan sebagian sudah dipanggil menghadapNya, mungkin beliau sedikit dari yang tersisa, yang masih konsisten dalam dakwahnya. Kiprah beliau yang senantiasa menjaga semangat, konsisten dan istiqomah sejak muda sampai pada usia senja ini, tampaknya juga diwariskan kepada dua anaknya, yang satu dua tahun di bawahku, yakni MM, yang nama panjangnya sama denganku, seorang dosen UMY, yang semasa pelajar aktif jadi ketua umum PP IRM, dan saat ini aktif di PP Muhammadiyah, dan adiknya Aniq, yang total terjun dalam dunia pendidikan Islam di Bekasi, banting stir dari background akademisnya yang lulusan Teknik Kelautan Undip.

Hal-hal lainnya, lebaran kita kali ini tidak begitu berbeda dengan lebaran-lebaran yang lalu. Pertemuan Bani MH, pertemuan Bani MS, Bani NM dan lainnya. Keluarga kami emang terdiri dari keluarga besar, yang sangat tinggi silaturrahmi dan ketekaitan antarkeluarga. Demikian rumitnya keterkaitan keluarga besar, dan demikian luasnya sehingga kami sering tidak hapal hubungan antarkeluarga besar kami.
Hari pertama dan kedua ini kami habiskan untuk berkumpul bersama keluarga inti, minus keluarga adikku, AM, karena dia giliran mengunjungi keluarga besar isterinya di Palembang. Salah satu acara intiku saat di kampong seperti ini adalah acara makan. Sungguh sulit untuk menahan agar berat badan tidak naik, karena sangat banyak makanan enak dan murah, dari pagi sampai malam hari. Hari kedua kami bersama-sama ke Solo untuk sekadar makan lesehan di Gladag, yang dibangun lokasi khusus untuk wisata kuliner. Banyak sekali variasi dan menu yang tersaji, dengan harga yang sangat-sangat murah. Aku membayangkan, seandainya aku kerja di Solo, tiap malam mungkin makan di tempat ini.
Pertemuan keluarga besar kami, Bani Mukhtar, tahun ini diadakan di Ngawi, Jawa Timur. Diantara 10 putera dan puteri Eyang MH, saat ini tinggal ada 2 orang Paklik, Pak Drs. H. RM Sukoharjo dan Pakn SA, BA serta 2 orang bulik, yakni bulik RS dan Bulik MR. Banyak yang bilang bahwa beliau harus dijaga dan dilestarikan, karena hanya tinggal beliau berempat seletelah beberapa tahun terakhir satu persatu dipanggil menghadapNya. Yang terakhir, kalau tidak salah 2 tahun yang lalu adalah Pakde Drs. H. IM, dosen IAIN Semarang, yang selama ini dikenal cukup bugar dan relative menjaga kebugaran dengan olahraga, setidaknya treadmill tiap hari. Sedangkan dua orang Pak lik, yakni Paklik Drs. H. RM, mantan ketua umum Muhammadiyah dan wakil ketua DPRD dari fraksi PAN Sukoharjo, serta Pak SA, BA, juga tampak makin sepuh. Emang begitulah, tidak terasa waktu demi waktu yang habiskan di dunia ini, berputar, berproses dalam siklus sunnatullah, dari generasi ke generasi.
Di acara pertemuan tahunan Bani MH kali ini, atau dalam beberapa tahun terakhir ini, nuansa regenerasi menjadi topic yang actual. Pertemuan seperti ini mungkin merupakan salah satu warisan yang berharga dari Eyang, yang dimulai entah kapan, semaksimal mungkin daya ingatku, tradisi ini telah ada. Dulu sekali, saat masih kanak-kanak, masih kuingat bahwa pertemuan tahunan selalu di rumah Eyang, di Balepanjang, sebuah desa yang terletak 40 km sebelah selatan Wonogiri. Semenjak tahun 1980-an, warga desa itu tergusur oleh pembangunan waduk Gajah Mungkur. Semenjak itu, pertemuan diadakan di rumah putera-putera Eyang secara bergiliran. Kini, dalam perkembangannya, pertemuan tetap dilakukan tidak hanya sekadar sebagai sebuah tradisi belaka, melainkan juga sebagai sarana dan media silaturrahmi, yang tentunya sangat penting sebagai media untuk membahas berbagai agenda keluarga besar.

Syawalan keluarga di generasi yang lebih tinggi diatas Bani Muchtar adalah Bani Musthofa, yang kali ini diadakan di rumah Mbah KH. SY. Beliau adalah Pakliknya ayahandaku atau adiknya Mbah SM, jadi bisa dibayangkan tingkat usianya. Di generasi ayahandaku saja sudah banyak yang dipanggil menghadapNya, sedangkan generasi diatas ayahku masih ada beberapa yang masih bisa menemani anak cucunya, diantaranya Mbah KH. SY ini dan juga adiknya, Mbah KH. ZB. Kedua tetua ini juga telah membentuk keluarga besar, sebagaimana Bani MH, dimana memiliki diatas 10 anak, sehingga sudah sulit untuk menghitung dan menghapalkan berapa cucu dan cicitnya. Di acara ini aku terlambat datang, namun masih sempat ngobrol dengan beberapa kerabat. Sempat aku ngobrol dengan Mas AM, putera Mbah KH. ZB, sedikit di bawah usiaku. Dia dulu saat SD di Wonogiri, SMP dan SMA di Solo, dikenal seorang yang berotak cemerlang, khususnya di bidang matematika dan fisika, raising star, memiliki tingkat intelegensia yang tinggi, juara cerdas cermat, bahkan kabarnya sampai ke level juara nasional. Kuliah di teknik ugm namun nyaris tidak lulus karena terlibat dalam aktivitas dakwah dan pemahaman yang frontal berbeda dengan kalangan konvensional. Akhirnya dengan pendekatan yang intens dengan keluarga, dia sempat menyelesaikan studinya. Dia saat ini di Tangerang, dan kudengar isterinya adalah seorang wanita asal dari Makassar. Aku udah minta nomor hapenya, siapa tahu nanti akan ada banyak hal yang perlu aku mintakan advis darinya.
Disamping kesibukan syawalan bersama keluarga, hari-hari ini aku juga dalam kondisi persiapan menjelang reuni dengan teman-teman smp kami. Komunitas teman-temanku smp ini barangkali cukup kompak, mesti tidak sekompak dibandingkan dengan teman-teman alumni universitas di ugm, komunitas F7 yang telah berjalan dengan tradisi dan dibangun dalam kurun waktu yang lama. Emang beda tentu, kalau komunitas F7 Jogja kita udah punya bisnis syariah, dari alumni sepuh sampai alumni fresh graduate telah terbangun struktur dan tradisi yang turun temurun. Sedangkan untuk alumni smp ini, kita baru pada tahap awal membangun struktur kohesifitas ikatan diantara kita, oleh kita, untuk kita, untuk lingkungan kita, untuk sekolah kita dan untuk kota kita, Wongiri. Variasi background teman-teman cukup beragam. Kekompakan kami, rasanya menjadi modal yang berharga untuk membangun komunitas yang saling support antaranggota alumni. Dalam acara besok, Aku mendapatkan tugas untuk mengisi penutupan acara. Kata YP, aku mendapat tugas mengisi penutupan, sedang seorang sepupuku, AH, mendapatkan tugas membaca doa. Awalnya aku masih gamang dengan acara penutupan ini, mau diisi dengan acara apa. YP, seorang teman panitia bilang bahwa aku harus siap untuk menyajikan acara perenungan yang intinya adalah untuk membangun komitmen kebersamaan. Hari ini aku sekadar mempersiapkan materi itu. Akhirnya materi inilah yang akan aku tawarkan nantinya kepada teman-teman smpku:
Assalamu’alaikum
Bp kepala sekolah yang kami hormati. Bp/Ibu Guru yang kami hormati dan kami sayangi.
Perkenankan kami menyampaikan penghargaan kepada Bp/ Ibu Guru, bahwa saat ini dari lubuk hati kami yang terdalam, kami benar-benar menemukan relevansi makna Pahlawan Tanpa Tanda Jasa pada diri Bp/ Ibu. Sebuah peran, tugas dan tanggungjawab serta kontribusi yang luar biasa telah diberikan kepada Bp/ Ibu sekalian dalam membangun karakter bangsa ini, dan culture bangsa ini. Ketika dari sekolah ini terus-menerus menelurkan produknya, katakanlah 20 tahun yang lalu, sampai sekarang sudah tidak terhitun orang-orang yang telah memberikan kontribusi bagi bangsa ini
. Itu semua tidak terlepas dari peran dari Bapak/Ibu Guru sekalian. Perkenankan kami ingin memberikan doa dan penghargaan dari lubuk hati yang terdalam kepada Bp/ Ibu Guru sekalian, semoga yang dilakukan Bapak Ibu guru sekalian untuk membangun human capital, sdm bangsa ini, akan mendapatkan balasan dari Yang Maha Kuasa kelak, amien.
Teman-teman sekalian. Setelah kita menjalani acara dari pagi sampai siang ini, perkenankan saya untuk mengajak teman2 sekalian untuk merenungkan kembali, apa makna pertemuan kita, reuni kita kali ini, dan apa relevansi peran yang bisa kita lakukan pada masa kini dan masa mendatang. Namun demikian, sebelum kita menjawab pertanyaan mendasar diatas tentang makna pertemuan kita, setidaknya ada dua hal yang perlu kita lakukan; Pertama, kita lepaskan dulu terompah kita,yakni segala predikat, pangkat, posisi, jabatan, materi, harta dan apa yang telah kita miliki saat ini, agar kita kemballi pada fithrah kita 20 tahun yang lalu, saat kita memulainya dari tempat ini, saat kita belum memiliki apa-apa. Karena apa yang kita miliki saat ini hanyalah hiasan dan accessories belaka. Kedua, marilah kita lepaskan diri kita dari belenggu pikiran-pikiran yang mengganggu kita, seperti negative thinking, prasangka, membanding-bandingkan, atribut, dan lain sebagainya. Kedua hal itu penting agar kita bisa kembali kepada fithrah untuk menemukan relevansi makna pertemua kita kali ini.
Saya ingin bertanya kepada teman2 sekalian, atau marilah kita bertanya pada diri kita sendiri, apa yang kita rasakan saat pertama kita ingin mengadakan acara reuni kita kali ini? Apa yang kita rasakan teman-teman? Marilah kita bertanya dan menjawab secara jujur. Kita rindu dengan teman-teman smp kita, setelah sekian lama kita tidak bertemu. Yah, itulah yang kita rasakan. Kerinduan. Rasa haru, setelah sekian lama tidak ketemu. Kangen dengan berbagai memori yang ada, yang tidak semuanya bisa tersampaikan dengan lisan dan hanya bisa dirasakan oleh perasaan. Apa yangkita rasakan? Satu kata, kerinduan. Yah, kerinduan. Inilah yang kita rasakan. Bukankah rasa rindu yang kita rasakan saat kita sudah tidak bertemu selama 20 tahun? Lalu apa yang kita rindukan? Apakah fisiknya? Apakah materinya? Saya kita tidak. Kita bicara soal nilai yang lebih esensial, yang terbangun dlaam alam bawah sadar, unscious mind kita. Lalu apakah nilai yang terlah terbangun dalam benak kita saat itu? Ingatkah kita, apa nilai2 yang terbangun saat kita masing-masing kelas tiap minggu berlomba untuk menjadi yang terbaik, menampilkan kebersihan kelas kita. Bukankah kita saat itu merepresentasikan nilai2 antara lain kekompakan, kejujuran, tanggungjawab, responsibilities, kerjasama, kepedullian sosial, social awareness. Bukankah begitu? Bukankah itu yang kita rindukan bersana teman-teman sekalian, dan rindu bahwa nilai itu masih bisa kita hadirkan saat ini, bahwa kita saling berinteraksi secara jujur, kerjasama, kompak, peduli, dan lain sebagainya. Kita rindu, bahwa kita saat itu selalu bekerjasama. Bahwa kita saling peduli.
Marilah setback sejenak ke masa 20 tahun yang lalu. Namun sebelumnya, marilah kita lepaskan berbagai kesibukan rutinitas kita, pekerjaan kita, untuk kembali mereview lagi 20 tahun yang lalu. Dari tempat inilah, 20 tahun yang lalu kita memulainya. Saat kita saling mengenal, saling berinteraksi, saling memahami, dengan berbagai latar belakang kita. Kita menjumpai teman2 baru, dari segala pelosok kampung di Wonogiri. Saya dari sebuah SD kecil yang berasal dari desa, kalau teman2 ingat gambaran sebuah SD ni novel Laskar Pelanginya Andrea Hirata, maka SD saya semacam itulah, bukan terdiri dari 10 orang melainkan lebih sedikit dari itu. Sekitar 5 orang diantaranya hadir disini juga. Dan ternyata disini saya menemukan teman2 yang ternyata lebih kampong dari saya. Ada yang jaraknya dari ini hanya bisa ditempuh, waktu itu harus membawa dua ekor kuda, karena separo perjalanan, salah satu kudanya bisa mati kecapekan. Kita sama-sama naik sepeda waktu itu ya Marno.
Kenapa saya katakana kita rindu pada nilai2 yang kita bangun tadi? Ini terus terang saya simpulkan saat saya melihat betapa tinggi tingkat antusiasisme teman-teman saat menjelang reuni, saya yakin kita semua merindukan nilai-nilai tersebut. Kita ingin nilai itu masih ada pada kita. Tidak luntur oleh waktu, meski sudah 20 tahun kita lalui. Kita masih yang seperti dulu, tanpa ada jarak. Bahwa seorang Martani masih seperti yang dulu, yang selalu peduli pada kita dan mau share jawaban ujian kepada kita, karena rasa kepeduliannya yang tinggi kepada sesame. Meski seorang Martani sekarang telah menjadi Doktor dan memegang jabatan structural di salah satu kampus terkemuka di negeri ini. Kita masih sama seperti yang dulu. Dan bukankah perbedaan-perbedaan yang sebenarnya hanyalah perbadaan peran, tugas dan tanggungjawab sebagiamana yang kita rasakan saat itu, saat kita membersihkan kelas, ada yang bertugas mengepel, menyapu, mengelap, dan lain sebagainya. Yang terpenting adalah, bahwa nilai-nilai diatas, yakni kekompakan, kerjasama, kedisiplinan, tanggungjawab, kepedulian masih tetap ada pada kita.
Saudara-saudaraku sekalian. Itulah sekelumit renungan, refleksi atas apa yang kita lakukan saat ini. Dengan tidak mengurangi rasa hormat kepada saudara-saudara yang beragama lain, yang saya kita memiliki tingkat toleransi yang tinggi, dalam milis banyak berbicara soal hikmah ramadhan karena memang kita dalam suasana ramadhan, dan saat ini idul fitri. Semoga momentum ini bisa kita jadikan sebagai tonggak awal bagi kita untuk berbuat dimasa yang akan datang. Saat kita menyadari bahwa ada banyak hal yang terlupakan dari kita, karena kesibukan dan hal-hal lainnya, semoga bisa kita perbaiki di masa yang akan datang.
Harapan saya, pertemuan kita kali ini akan memiliki dampak yang positip dalam interaksi, komunikasi dan silaturrahmi kita. Entah dalam bentuk apa, saya melihat media dan fenomena blog kemarin benar-benar telah memberikan kita pelajaran bahwa media itu adalah tools yang akan kita gunakan untuk bersosialisasi seperti kita 20 tahun yang lalu.
Terima kasih. Wassalam.

Grogi juga aku harus mempersiapkan materi dan teks ini kepada teman-teman yang saat itu mengenalku sebagai sebagai seorang yang paling kecil secara fisik. Di tengah aku menyusun konsep renungan itu, tiba-tiba handphone berteriak nyaring. Ternyata YP, seorang teman yang dikenal sebagai bos ayam, entrepreneur, yang mengingatkanku bahwa malam menjelang reuni diharapkan kumpul untuk gladi resik di smp kami. Malam kemaren, teman yang lain, DM, teman smpku lainnya, yang saat ini jadi pejabat structural di feui, kalo tidak salah ketua jurusan akuntansi atau sekretaris jurusan, juga mengirim sms bahwa dua hari menjelang reuni ada acara makan-makan di karamba. Betapa menyenangkan kembali bersama dalam kebersamaan dengan teman-teman lama yang sudah lebih dari 20 tahun tidak berjumpa.

1 komentar:

mujtahid mengatakan...

Ingat aku? Aku dikasih tau alamat blogmu dari teman SMP yang lagi bikin blog SMP lulusan 1981 : 81-smp1wng.blogspot.com. Blogku juga nge-link dari situ : wongwonogiri-mujtahid.blogspot.com. Aku denger dikit2 kemarin waktu mudik tentangmu ... yang sabar, Allah tidak akan memberi cobaan diluar kemampuan ummatnya. Rumah Amin di Kebon Nanas Tangerang gampang banget, begitu keluar tol dah nyampai