Senin, 10 November 2008

Shalat di Mall, Why Not..?

Pengalaman shalat di mall sudah barang tentu pernah dialami oleh banyak orang. Di era dimana konsumtifisme sedemikian telah merasuki banyak orang, sehingga produsen yang menciptakan suatu produk tertentu akan habis-habisan untuk mengalokasikan sebagian besar biaya produksinya pada upaya bagaimana menanamkan pada pesan dan kesan di benak konsumen agar senantiasa menggunakan produk ini. Saat kita membeli produk Coca-Cola maka sebenarnya telah mengeluarkan diatas 85% diluar air minum yang kita butuhkan, yang sebagian besar berupa biaya iklan. Sehingga banyak orang yang setiap harinya menghabiskan waktu di mall-mall, untuk memuaskan dahaga berbelanja, berjalan-jalan, mengenal produk-produk baru, atau sekadar hanya untuk cuci mata.

Fokus saya bukan itu. Melainkan pengalaman saat tiba waktu shalat maka ada banyak hal yang mungkin kita lakukan. Pertama, mungkin kita mencari tempat shalat atau mushalla di mall tersebut. Ada juga yang masih bersantai ria meneruskan aktivitasnya berbelanja, dan melaksanakan shalat di waktu berikutnya kalau masih ada waktu. Ada juga yang melaksanakan dengan menjamak atau menyatukan shalat, tentu saja dengan tingkat keyakinan tertentu untuk meyakinkan diri bahwa itu boleh dilakukan, dan ini yang di masa lalu sering aku lakukan. Alasannya, Jakarta yang macet dan crowded, di jaman Nabi kan tidak pernah terjadi, sehingga diperbolehkan untuk menjamak. Ide ini, kalau benar pahalnya dua, kalau ternyata di kemudian hari ternyata salah, maka pahalanya hanya satu, begitu aku selalu bilang untuk memperkuat keyakinanku di masa lalu.

Tidak banyak orang yang mengalami pengalaman yang menyenangkan mengenai tempat shalat di mushalla di mall. Ada banyak persoalan. Misalnya lokasi mushalla yang terpencil, di basement yang cukup jauh untuk dijangkau, informasi yang kurang jelas, mushalla yang kurang representative, tempat wudhu yang kurang memadai, mushalla yang terkesan kurang terawatt dan lain- sebagainya.

Pengalaman yang paling menyenangkan untuk shalat di mall, terkait dengan hal diatas, barangkali aku temukan saat shalat di sebuah mall yang berlokasi di kawasan paling elit di Jakarta, yakni di kawasan niaga Sudirman. One Pasific Place, dimana di tempat itu juga ada hotel Ritz Carlton. Tempat ini sangat memadai untuk shalat, dilihat dari lokasinya yang berada di tengah mall, tempat wudhu yang sangat bersih, tempat shalat yang sangat nyaman. Belum lagi saat kita masuk ke ruangan hall mushalla maka kita akan disambut oleh pasangan laki-laki dan perempuan, dengan pakaian melayu dan dengan sangat santunnya menerima tas atau sepatu kita untuk ditempatkan di tempat yang telah ditentukan. Dengan sapaannya, Assalamu’alaikum dengan tangan yang ditangkupkan di depan dada, saat kita masuk ke area mushalla ataupun saat kita meninggalkan mushalla.

Tempat yang nyaman untuk shalat memang tidak sangat terkait dengan kemegahan, akan tetapi apabila kemegahan digunakan untuk mendukung kenyamanan dalam beribadah maka tentu saja akan membuat ibadah menjadi pengalaman yang menyenangkan. Namun perlu digarisbawahi bahwa ukuran ibadah tentu saja bukanlah kemegahan, melainkan kebersihan dan kenyamanan. Dan tentu saja itu memerlukan tingkat kejelian dan concern yang pada tingkat tertentu masih cukup rendah pada pengelola manajemen buiding mall-mall di Indonesia. Ini berbeda dengan One Pasific Place, atau di dalamnya ada hotel Ritz Carlton yang dimiliki oleh Singapore, sebuah Negara yang jauh dari religiusitas namun ternyata justru sangat peduli dengan kebutuhan religiusitas pengunjung mall, dan mengalokasikan dana untuk memenuhi kebutuhan spiritual pengunjung mall yang sebagian besar membutuhkan hal ini.

Tidak ada komentar: