Senin, 31 Maret 2008

Hikmah Silaturrahmi

Malam ini, 28 Maret 2008, tidak terlalu lama dari jarak kedatangan kami, Bapak Jogja membuka pembicaraan tentang masa depan si kecil, Huda dan Syifa. Aku sebenarnya agak malas untuk membicarakan hal ini, karena sikapku sudah cukup jelas. Kalaupun si kecil hari ini aku ajak ke Jogja bukan dalam rangka untuk mengarahkan si kecil untuk tinggal disini, melainkan lebih bermakna untuk silaturrahim, dan juga meminimalisir keinginan dari bapak Jogja ini untuk mengasuh anak-anakku. Namun sesungguhnya aku betul-betul tidak tahu sampai seberapa jauh beliau mengharapkan dan akan mengupayakan untuk dapat merealisir keinginannya.

Sekali lagi mereka membuka harapan untuk mengasuh anak-anakku, dengan pertimbangan, pertama untuk memberikan suasana yang secara psikologis akan menjauhkan potensi konflik antarorangtuanya, yang kemungkinan besar akan berdampak pada anak-anakku. Kedua, menurut mereka suasana di Jogja akan lebih baik bagi mereka karena akan mendapatkan perhatian dan konsentrasi untuk mendidik mereka secara lebih intensif. “Bisa dibayangkan kan ya mas. Kalau sebagian besar hari-hari anak-anak akan dilalui bersama dengan orang lain, karena mas kan pulang kantor udah malam”, kata mereka mencoba meyakinkan. Yang ketiga, --menurut mereka-- keinginan untuk mengasuh anak-anakku tersebut sama sekali bukan bermaksud untuk menjauhkan anak-anak dengan orangtuanya. “Saat kalian sudah selesai dalam berurusan, dan relative mapan maka kami akan persilakan untuk mengambil lagi buah hati kalian”, kata beliau.

Kupikir malam ini aku sudah menyampaikan sikap dan pesanku secara halus, jelas, terang dan sekaligus tegas. Satu persatu aku jawab pertanyaan sekaligus pertimbangan beliau. Pertama, soal mereka akan terkena dampak konflik antarorangtuanya, menurutku tidak akan terjadi. Karena minggu ini aku sudah pindah kontrak rumah sehingga potensi konflik secara langsung akan terreduce. Kedua, kutegaskan kepada beliau bahwa anak-anak saat ini merupakan amanah, titipan dari Allah swt untuk kuasuh, kudidik, kubimbing, kulindungi. “Saat saya merasa mampu untuk menyediakan ruang itu bagi mereka, maka saya merasa bertanggungjawab untuk menyediakan ruang itu secaara langsung, sebagai wujud pertanggungjawaban saya, dan saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk mewujudkan itu, Pak”, kataku dengan yakin. Ketiga, mengenai selesai atau tidaknya urusanku dengan HN, menurutku adalah soal definisi. “Kalau sekarang ini dianggap selesai, kira2 statement itu tidak salah, dan sebaliknya kalau dianggap belum selesai, ya tidak salah juga. Karena itu tergantung dari sudut pandang dan definisi soal selesai tidaknya urusanku dengan HN. Yang penting, selesai atau tidak selesai atau dari sudut pandang apapun yang digunakan sebagai parameter atas persoalan kami, jangan sampai mengganggu proses perkembangan pendidikan bagi anak-anak.

Atas keinginan mereka untuk mengasuh anak-anakku, aku memberikan catatan yakni, “Saat dalem merasa bahwa dalem tidak bisa menyediakan ruang bagi anak-anak, dalam hal ini karena dalem menghadapi kemungkinan ‘gangguan dari HN’ yang bisa saja akan mempergunakan senjata surat cerainya yang memberikan hak pengasuhan baginya, maka dalem merasa bahwa kesediaan dan bantuan bapak mengasuh anak akan menjadi solusi terbaik”, kataku. Kenapa begitu, karena aku merasa bahwa bisa saja terjadi, HN akan menggunakan surat cerai untuk mengambil anak-anak. Namun, kemungkinan, itupun kemungkinan tidak akan digunakan untuk mengasuhnya secara langsung, karena aku yakin dia tidak akan mampu. Mungkin saja HN juga akan menyerahkan anak-anak ke Jogja, yang baginya akan lebih baik dibanding kalau anak-anak berada di tanganku, yang sudah dianggap sebagai musuh besarnya seumur hidup.

“Bapak tidak ingin diadu dengan mas Tf”, kata beliau. Karena, katanya, HN dan adiknya, UM, telah merencanakan sesuatu yang menurutku tindakan yang tidak patut. Yakni, HN dan UM akan mengambil anak-anakku, lalu akan diberikan kepada Bapak Jogja. “Bapak tidak akan menerima itu seandainya tidak ada kerelaan dan keikhlasan dari mas sendiri. Bapak ingin agar semuanya ikhlas. Kalau mas memang belum ikhlas, bapak tidak akan memaksakan”, tutur beliau dengan bijak. Menurutku, itu memang sikap yang bijaksana.

Pembicaraan juga berlanjut ke hal yang sebenarnya aku tidak inginkan, karena ini hal yang sensitif, yakni tentang HN, anak kandung beliau. Ada beberapa hal yang aku sampaikan dan ada beberapa hal yang aku keep.

Di tengah-tengah pembicaraan, datang Eyang Semarang, bu Ismi guru besar Fakultas Hukum Undip dan suaminya Om Shodiq, adik Ibu Jogja. Aku ingat saat aku diundang oleh mas Ridho Zarkasyi (putra pendiri Pondok Pesantren Gontor) untuk hadir di Pengajian untuk alumni UGM dan Alumni Gontor, di hotel Ambhara sekitar 2 tahun yang lalu. Pengajian itu tentang struktur dan format Al Qur’an sebagai solusi atas berbagai problem kehidupan. Pasca pengajian itu aku beberapa kali baca tabloid Khalifah. Dari tabloid tersebut aku jadi bahwa Om Shodiq ini salah seorang pelopor yang mengenalkan metode ini, khususnya untuk area Jawa Tengah. Kami banyak berbincang mengenai hal ini. Saat pulang, mereka menawarkan beberapa buah buku untuk aku baca. Alhamdulillah, mudah-mudahan ini salah satu berkah silaturrahmi. Sudah lama aku ingin kembali membaca Al Qur’an, seperti juga yang sering dikatakan oleh kakakku di Bandung,”jangan lupa, selalu baca Al Qur’an dan tafsirnya”. Aku akan mencoba metode seperti yang disampaikan Om Shodiq dan Bu Ismi. Seusai kepulangan mereka, malem sampai paginya aku banyak berbincang dengan Eyang Jogja. Terus terang baru kali ini aku berbincang dalam intensitas yang tinggi. Pada awalnya kupikir sedikit yang beliau ketahui dari soal divorce dengan HN, karena kata HN tidak terlalu akrab dengan keluarga Semarang. Ternyata banyak hal yang diketahui beliau. Beluau adalah seorang Ibu berusia 85 tahun yang sangat bijak dalam memandang berbagai persoalan dunia. Beberapa kali beliau beristighfar saat aku sampaikan soal anak-anak. Beliau berpesan, bahwa apa yang aku alami tersebut adalah sebuah ujian. “Allah tidak akan menguji umatNya diluar batas kemampuannya. Dan semoga mas Tf lulus dalam ujian ini sehingga bisa naik kelas. Dan jangan lupa bahwa dalam perspektif yang sama, seringkali manusia juga akan diuji dalam hal kesenangan dan kekayaan duniawi dan seringkali justru itu membuat manusia gagal dalam mensikapi itu sebagai ujian”, tambah beliau. Aku bersyukur bahwa hari ini aku bertemu dengan beliau yang sangat menguatkan batinku dalam mengarungi jalan di dunia ini. Aku harus selalu ingat bahwa kendati jalan yang akan kulalui ini, betapapun terjalnya, namun harus mempunyai tujuan yang jelas. Dan itu jauh lebih baik dibandingkan dengan perjalanan di jalan tol bebas hambatan namun tidak memiliki tujuan yang jelas.

Minggu, 30 Maret 2008

Perjalanan ke Jogja

Kamis, 27 Maret 2008, sekitar jam 10.00 handphoneku berdering. Tersenyum ku melihat nama yang tertera di layer hpku, Hudasyifa. Segera kuangkat. Huda memberitahukan bahwa listrik di rumah diputus oleh petugas dari PLN. Katanya menunggak 4 bulan, sekitar Rp. 2 jutaan. Aku menenangkan dan membesarkan hati mereka. “Tidak apa-apa sayang. Kita akan segera menempati rumah yang lebih tenang, untuk bermain dan untuk belajar”, kataku. Yah, hari ini akhirnya tiba juga pemutusan listrik rumah kenangan, dan hari ini juga aku akan berpikir untuk mencari rumah kontrakan baru. Yah, inilah rumah kenangan. Rumah pertama yang kami beli dengan berbagai mimpi dan rencana masa depan. Rumah pertama yang kami bangun dengan mengerahkan segenap resources kami baik finansial maupun non-finansial. Rumah yang penuh kenangan karena disinilah kami awal-awal menempati rumah sendiri, dengan segala kebebasan dan kewenangan kami, tidak seperti sebelumnya dimana kami hanya kontrak rumah. Sekilas ku teringat, rumah kontrakan kami pertama di Ciledug, sekitar 10 bulan, mengontrak lagi ke Mampang Prapatan selama 10 bulan, selanjutnya mengontrak rumah di Jatiasih selama 2 tahun. Setelah itu kami beli rumah yang lumayan tua dan kurang terawat, lalu kami renovasi dengan melibatkan mimpi-mimpi kami untuk masa depan. Setelah rumah ini, kami sempat beli rumah lagi di Jatiasih. Rumah yang menurutku juga layak untuk ditempati, di kompleks telkom, tidak jauh dari gerbang tol yang baru dibangun di Jatiasih. Lingkungan rumah ini cukup tenang dan nyaman, dekat masjid, dan rumahnya sudah berkonstruksi dua lantai. Kemudian kami beli rumah lagi di Bekasi Timur, kompleks Graha Harapan. Rumahnya kecil, tapi lingkungannya juga kayaknya tidak terlalu jelek. Dekat masjid, dekat fitness centre dan kolam renang. Tidak jauh dari kompleks tersebut dibangun perumahan besar, Grand Wisata dimana disediakan berbagai fasilitas dan akses tol baru dari perumahan tersebut. Properti terakhir yang kami beli adalah sebuah ruko di Bekasi Plaxa, tidak jauh dari terminal Bekasi. Sempat pula kami beli rumah besar di Taman Kebayoran Bekasi dengan harga miring, namun rumah ini adalah titipan pembelian seorang saudara kami yang saat ini berdomisili di salah satu negara Eropa. Dua rumah kami, yakni yang ada di kompleks Telkom Jatiasih dan Graha Harapan Bekasi Timur dijual oleh HN menjelang divorce. Sebuah pengingkaran dari kesepakatan yang telah kami buat di depan pengacaranya, Haji Sugeng, SH. Bukan itu saja, Baleno juga diminta, sedangkan uang pinjaman dari kantor yang kumaksudkan untuk pembelian mobilpun, turut dimintanya. Awalnya, alasannya untuk membeli rumah di Jakarta. Namun, ya..., begitulah ceritanya. Aku tidak bermaksud mengungkit cerita-cerita yang tidak elegan ini, karena bagaimanapun ini sudah terjadi dan tiada gunanya untuk mengungkitnya. Hanya saja, kalaulah ini bisa menjadi bahan introspeksi dan pelajaran bagi kita bahwa apapun yang kita lakukan tentu akan kita pertanggungjawabkan di kemudian hari, apakah itu di dunia atau di akhirat. Dan mengingat hal ini, seringkali aku justru membuatku bersyukur atas apa yang terjadi.

Setelah aku terima telepon dari HudaSyifa, terus terang aku tidak concern lagi di kantor. Finishing touch analisa kredit investasi yang sedang aku susun, beberapa kali mengalami koreksi untuk hal-hal yang sebenarnya tidak perlu terjadi kesalahan. Tapi ya itulah. Aku ingin segera pulang. Aku ingin segera ketemu anak-anak dan kuingin menghiburnya. Ku ingin mengajaknya main-main di tempat-tempat yang mereka menginginkannya.

Tepat jami 17.00, saat lagu ebiet pertanda jam kantor telah usai, aku tidak membuang waktu untuk segera pulang. Jam 18.00 sampai di rumah. Seperti telah kami rencanakan, hari ini, sepulang dari sekolah anak-anak menunggu di kost adikku, TN. Huda yang ada di kamar, kulihat sudah mandi, berteraiak gembira melihatku pulang,”Dik Paaaa, Papa pulang….”, teriaknya. Syifa yang baru saja mandi pun berlarian menghamburku dengan gembira,”Papa...papa....tadi kami ...... dst”. Mereka ramai berceloteh, cerita tentang berbagai hal yang terhadi hari ini.

Malam ini anak-anak kuajak nonton film di XXI Grandmall Bekasi. Sebenarnya aku ingin mengajak mereka nonton Spiderwick. Namun film ternyata udah tidak lagi diputar. Kami sempat berdebat. Aku ingin nonton film Ayat-ayat Cinta. Anak-anak ingin nonton film horror, 40 Hari Bangkitnya Pocong. Betapapun, aku sudah bertekad untuk menghapus keinginan mereka untuk nonton film-film seperti ini, sebuah warisan kebiasaan dan hobbi dari ibunya. Dibandingkan dengan novelnya, ada plus minus antara cerita di novel dengan di layar lebar, namun kuakui, banyak alur yang terputus. Aku bayangkan, seandainya aku belum baca novelnya tentu aku akan bingung karena tidak tahu filosofi dan tema dari film tersebut. Namun harus diakui, film ini telah menyihir public penikmat film di Indonesia. Bahkan besok ini kabarnya SBY dan jajarannya akan menonton film ini di XXI Plaza Indonesia.Sepulang nonton, aku mempersiapkan pakaian yang perlu kami bawa untuk pulang kampong esoknya. Aku kembali ke rumah sama TN, dengan beberapa lilin untuk penerangan. Kubawa dua buah tas, untukku dan untuk anak-anakku. Malam ini kami tidur di kost adikku. Sekitar jam 01.00 Huda bangun. Katanya dia sudah tidak sabar untuk menanti esok hari, meikmati perjalananan naik kereta api. “I’m coming Jogja…, katanya”.

Jum’at pagi, 28 Maret 2008, kami memulai perjalanan ke Jogja dengan cukup lancar. Jam 07.00 tepat Kereta Api Senja Utama Jogjakarta berangkat mambawa kami melintasi rel yang membujur dari Jakarta ke Jogjakarta. Hampir sepanjang perjalanan kami tidak tidur. Kami menikmati perjalanan, dengan cerita, bercanda, berjalan-jalan diantara gerbong kami dengan gerbong restorasi. Sepanjang perjalanan, celoteh mereka seringkali membuatku tersenyum. Mereka tampak begitu menikmati perjalanan dan celoteh-celoteh mereka terasa sangat menyegarkan suasana menjadi tambah menyenangkan. Betapa berbeda aura yang ditimbulkan oleh anak-anak ini dibandingkan dengan aura yang dimunculkan oleh mamanya. Ku teringat, dalam beberapa kali perjalanan wisata yang semestinya menyenangkan, Ke Bali, ke Malang, ke Puncak dan lainnya, justru pertengakaran demi pertengkaran, perdebatan demi perdebatan, dan ego demi ego, yang menjadi topik pembicaraan. Suasana yang semestinya menyenangkan, yang justru dirusak oleh egosentrisme kita sendiri. Ku merasa duniaku dengan dia memang sedemikian jauh, dan ini kurasakan dalam waktu yang mestinya bisa kudeteksi semenjak dini sehingga bisa dikakukan mitigasi. Tapi yah, tidak ada kata terlambat. Bagaimanapun penyesalan kita rasakan toh waktu tidak bisa terulang. Dan introspeksi atas apa yang kita lakukan, refleksi atas apa yang terjadi, dan hikmah apa yang kita dapatkan, semoga akan bermanfaat di masa mendatang. Apa yang terjadi saat ini adalah dampak dan konsekuensi atas apa yang kita lakukan dan apa yang kita putuskan di masa lalu. Dan apa yang kita peroleh di masa yang akan datang adalah dampak, akibat, dan konsekuensi atas pilihan-pilihan yang kita buat dan kita putuskan pada hari ini. Betapapun berat dampak yang kita rasakan hari ini atas ketidak-hatian kita di masa lalu, maka hikmah itulah yang harus kita gapai untuk mendapatkan kemuliaan nilai di masa depan.

Setiap kali kereta api berhenti, anak-anak mengajak untuk meikmati semilir angin di pintu, karena di dalam gerbong agak panas udaranya saat kereta berhenti. Sebenarnya aku tidak tega untuk mengajak mereka naik kereta fajar utama yang tidak pakai AC tersebut. Masa kecil mereka dapat dikata agak berbeda dengan diriku. Mereka termasuk tidak tahan untuk tidur tanpa AC ataupun suasana perjalanan tanpa AC. Namun, beberapa waktu akhir-akhir ini mereka begitu pengertian dan seperti bisa memaklumi mengenai apa yang terjadi. Sehingga sekarang ini mereka tampak sudah bisa menikmati tidur di kamarku yang tidak berAC, dan mereka tidak suka tidur di kamar mamanya yang berAC. Di sebuah stasiun, sekitar Cirebon kita sempat nyaris pindah kereta ke Argo Dwipangga setelah dipersilakan oleh kondektur, namun kurang cepat untuk mengambil tas karena kereta keburu jalan.

Jam 15.30 Kereta Api berhenti di sebuah stasiun, saat kita bertiga sama-sama tertidur. Huda yang pertama kali bangun,”Papa..., udah nyampe...cepat kita harus turun..”. Mereka tampak gembira dan ceria melihat stasiun Tugu sudah di depan mata. Sempat kubuka handphoneku, dari Bapak Jogja. Beliau sudah kuanggap seperti bapakku sendiri. Yah, hitung-hitung sebagai pengganti bapakku yang telah tiada, yang saat wafatnya aku tidak sempat pulang dan mengantarkan ke kubur. Sikap-sikap beliau yang bijak membuatku merasa nyaman untuk menganggapnya seperti bapakku sendiri. Dan beliau juga seringkali menegaskan bahwa aku sudah dianggap seperti anaknya sendiri, sebagimana Ari dan Amik. “Yah, kuanggap mas TF seperti anakku sendiri. Hitung-hitung sebagai pengganti anakku yang telah hilang. Anak pertama yang yang aku gagal mendidiknya”, kata beliau. Itu sering sekali dikatakannya. Beliau mengirim pesan melalui sms,”Mas, jadi pulang ke Jogja nggak? Jam berapa? Sebaiknya kami jemput di stasiun ya..”. Aku tersenyum. Mungkin Bapak mengira kami jam segini masih di Jakarta karena semestinya jam segini aku masih di kantor. Aku membalas sms, menyampaikan bahwa kami nyampe di Kadipaten sekitar Maghrib.

Dari stasiun kami sempat makan soto sulung, yang dulu sempat menjadi kesukaanku saat di station menunggu kereta ataupun sepulang dari perjalanan dari luar kota. Habis itu jalan-jalan di Malioboro, membeli baju buat anak-anak, sekaligus untuk perlengkapan mandi, susu dan sebagainya. Dari Malioboro kami naik becak ke Kadipaten. Aku bisa merasakan, tentunya anak-anak capek dalam perjalanan. Namun mereka tampak ceria dan menikmati perjalanan, seolah tidak merasakan capek dan panasnya suasana. Kulihat ada beberapa perbedaan suasana Malioboro dulu dan sekarang. Sudah ada angkutan semacam busway di Jakarta, yakni TransJogja. Haltenya khas, dan bisnya berAC. Tapi suasana secra umum tidak banyak berubah. Dan mungkin akan lebih baik jika Malioboro dipertahankan seperti apa adanya dan dipertahankan suasana klasik pada ruas-ruas jalannya. Karena inilah yang membuat Malioboro terasa khas, dan tidak ada di tempat lainnya.

Kamis, 27 Maret 2008

Kekhawatiranku...

Hari ini, selasa 25 Maret 2008. Beberapa hari ini terus terang aku sangat mengkhawatirkan akan terjadinya sesuatu hal, yang jujur kukatakan aku sangat sulit untuk membayangkan seandainya itu terjadi. Saat ini sedang dalam masa psikologis dekat-dekatnya kedua anakku, Huda dan Syifa. Dari hari ke hati makin kusadari betapa mereka begitu polos, dan lucu, sekaligus begitu pengertian terhadap kesulitan yang aku hadapi. Contohnya, saat-saat ini, menjelang gajian, mereka dengan penuh pengertiannya, menyesuaikan apa yang menjadi keinginan mereka dengan kondisi finansialku. Syifa berkata, “Papa, nanti kalo udah gajian, beliin aku ini dan itu ya...”. Aku terharu dan sangat tersentuh, ketika kutahu dia sangat menginginkan sesuatu tapi seolah dia tahu bahwa itu akan lebih baik diminta saat aku udah gajian. Akupun menjawab bahwa kalo hanya untuk permintaan seperti itu sih, tidak perlu menunggu gajian, --kebetulan aku terima hari ini. Masa penantian terima gaji yang cukup panjang dari kantor, yang betapapun, seberapa besar kecilnya harus aku syukuri. Hari-hari ini memang aku harus lebih banyak membangun jiwa, memberikan penekanan pencerahan kepada diriku mengenai orientasi hidup, berpikir tentang masa depan yang tidak sependek setahun dua tahun, sewindu dua windu, atau sedikit lebih panjang selama hidup di dunia, melainkan mencoba berpikir keluar dari itu bahwa hidup di dunia adalah bagian kecil yang penting, yang menjadi dasar dan ujian untuk dapat kita nikmati hasil ujian tersebut saat nanti di kehidupan setelah dunia. Juga semestinya aku berpikir untuk lebih menyeimbangkan orientasi dunia dan akhirat, menyeimbangkan apa yang menjadi prioritas dan bukan prioritas, lebih mewaspadai apa yang masuk pada kategori godaan-godaan terhadap upaya untuk meniti jalan yang semestinya aku tempuh.

Sedikit banyak, pertentangan dan pergolakan batin itu aku rasakan saat liburan kemaren aku menamatkan novel Habiburrahman El Shirazy. Kalau untuk novel Ayat-Ayat Cinta yang demikian heboh dan fenomenal, yang layar lebarnya dimana-mana selalu sesak penuh antrian demi mendapatkan selembar tiket film, aku malah tidak terlalu tersentuh. Perasaan sentuhan batin justru aku dapatkan dari novelnya yang lain, Ketika Cinta Bertasbih jilid 1 dan 2.

Kembali pada apa yang kurasakan saat ini, yakni demikian khawatirnya aku terhadap kemungkinan terjadinya sesuatu, yakni terpisahnya aku dengan dua anakku, Huda dan Syifa. Saat aku dalam masa dekat-dekatnya dengan mereka. Kurasa, sudah sekitar 3 atau 4 bulan terakhir ini, Huda dan Syifa selalu meneleponku dalam sehari minimal 4-5 kali, dengan pertanyaan-pertanyaan yang selalu sama dan tidak bosan-bosannya,”Papa saat ini sudah sampai dimana..., Kalo begitu sampai di rumah jam berapa...”. Saat berangkat ke kantor, sebagaimana pagi tadi, pertanyaan yang itu-itu saja,”Papa, hpnya udah di charge belum..., sudah ada pulsanya belum, pulang sampai rumah jam berapa..., kalo ditelpon bisa kan, jam berapa saja...”. Selalu itu-itu saja yang ditanyakan oleh Huda, dan lucunya dia gak pernah bosan berpesan seperti itu setiap pagi hari menjelang keberangkatanku ke kantor. Dan aku selalu dengan senang hati mendengar pertanyaan itu dan dengan mantap menjawab, “bisa...., bisa..., bisa...., kenapa tidak sayang...”.

Aku demikian khawatirnya. Dan kekhawatiranku bukan tidak berasalan. Senin malem kemaren, aku menelepon ke Jogja, ketemu mantan Ibu Mertuaku, dimana sudah kujelaskan bahwa kekhawatiran mereka tentang Huda dan Syifa tidak berasalan dan agar mereka tidak terlampau mengkhawatirkan cucu-cucunya, karena aku telah berjanji terhadap diriku sendiri untuk menjaga, membimbing, membina, menemani, mendidik anak2ku seoptimal mungkin karena itu adalah amanah dan asetku yang paling berharga saat ini. Aku ingin mereka kelak menjadi anak2 yang sholeh dan sholihah, dan aku akan memberikan bekal pendidikan yang memadai kepada mereka. Dan tentu saja, aku tidak ingin kehilangan sentuhan kasih sayang dan kedekatan batin, kedekatan psikis dengan mereka.

Aku ingat saat kemaren sore aku ke rumah Encik. Dia cerita bahwa HN telah kos di kota, deket kantor, bersama lelakinya. Tapi dia pesen, kalo listrik di rumah nanti telah nyala lagi maka dia akan kembali ke rumah. Saat Encik iseng-iseng tanya, yang sebenarnya tidak perlu ditanyakan karena sudah tahu seperti apa jawabannya, “Lalu bagaimana dengan anak-anak bu?”. Dijawab oleh HN,”Aku tidak peduli dengan mereka, toh kan ada bapaknya”. Encik tanya lagi,”Entar kalo diambil oleh eyangnya di Jogja bagaimana bu?”, jawab HN,”Terserah aja...aku tidak peduli!”.

Waktu-waktu yang lalu, kuanggap sampai saat ini aku masih mendapatkan berkah atas hal itu. Kenapa? Karena dalam sidang perceraian yang telah diputus oleh Pengadilan Agama Bekasi, telah diputuskan bahwa hak asuh anak-anak ada pada HN. Itu antara lain keputusan persidangan kemaren, yang menurutku, dan menurut informasi orang-orang dalam, tampak sangat berat sebelah sehingga para hakim anggota tidak mau tanda tangan. Wakil Panitera PA Bekasi sempat berbisik padaku kalo HN menyogok Ketua Majelis Hakim (dan tidak kepada Hakim Anggota lainnya) untuk menolak agenda pembagian harta gono gini, dan agar memihak pada aspirasi HN. Aku sempat banding, namun beberapa waktu kemudian aku mencabut banding tersebut. Berkah yang kurasakan adalah, saat Pengadilan Agama memutus kemenangan HN seperti itu, namun yang terjadi kemudian ternyata HN mengingkari dan tidak memanfaatkan kemenangan keputusan tersebut. Dia justru meninggalkan dan menerlantarkan Huda dan Syifa. “Pak, terus terang saja saya baru pertama kali ini melihat seorang ibu yang seperti kehilangan naluri keibuannya. Tidak tampak ada ikatan batin pada bu HN maupun pada anak2 sendiri. Dan justru itu yang menguatkan tekad untuk mendampingi anak-anak, pak”, kata Encik padaku suatu ketika. Kata-kata senada juga disampaikan oleh pengasuh anak sebelumnya, RT, dimana dia sangat heran dengan melihat dan menyaksikan sendiri secara langsung bagaimana perlakuan HN kepada anak-anaknya. “Dia seperti bukan ibunya anak-anak. Seperti tidak kenal dengan anak-anak. Tiap kali pulang, cuman untuk tidur, mandi dan berhias tanpa ada sentuhan dan obrolan dengan anak-anak pak”, ungkap RT waktu itu.

Mereka adalah Amanah...

Malem ini, Jum'at 21 Maret 2008, saat mata sudah nyaris terlelap tidur bersama si kecil Huda dan Syifa, tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara teriakan handphoneku. Kulihat nomor pada layar hape, ternyata mbak Um. Sekilas aku sudah tahu apa yang akan disampaikannya. Kupikir, pasti akan menyampaikan pesan dari Pak MS –mantan mertuaku-- yang telah disampaikan sendiri secara langsung padaku, yakni keinginan mereka untuk mengasuh si kecil Huda dan Syifa. Ternyata betul. Tak lama setelah basa-basi, hp diserahkan kepada in DW, suaminya, untuk menyampaikan hal tersebut. Karena banyak yang perlu aku jelaskan, maka aku tutup telpon tersebut, untuk selanjutnya aku yang menelepon balik beliau.

Mengenai keinginan untuk memelihara dan mengasuh anak2ku tersebut, dengan jujur kusampaikan kepada beliau, untuk selanjutnya diteruskan kepada Pak MS, bahwa aku keberatan dengan niat tersebut. Bagiku, Huda dan Syifa adalah amanah yang harus kujaga, kulindungi, kubesarkan yang aku ingin menjalaninya dengana penuh kasih sayang terhadap mereka. Dan saat ini mereka sedang dekat-dekatnya denganku. Kami sangat menikmati suasana saat tidak ada “pihak-pihak” yang mengganggu suasana nyaman diantara kami. Dan merekapun menikmati suasana ini.

Pelajaran dari sebuah Novel Islami

Dua hari ini menamatkan dua buah novel yang sedang mega best-seller saat ini, yakni Ayat-ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih. Aku agak terlambat membaca novel-novel ini, yang terus terang aku baca setelah banyak orang membicarakan film dan novelnya yang laris manis. Selama ini kalau ke bookstore aku jarang sekali meu menengok counter buku-buku novel Indonesia.

Saat membaca Ayat-ayat Cinta, --yang saat ini layar lebarnya lagi puncaknya, menyedot perhatian publik dan mencatat rekon penonton bioskop di Indonesia--, terus terang aku tidak terlalu terkesan dengan film maupun novel ini. Ceritanya terlalu terfokus pada satu orang, yakni Fahri, yang demikian perfect menampilkan karakter dan performanya. Seorang yang cerdas, alim, berprestasi, tampan, punya social relationship yang luas, akademis, tidak pernah bermasalah dengan keuangan, dicintai teman-temannya dan tentu saja, dipuja oleh banyak wanita. Jalan hidupnya begitu lurus, dan hanya sedikit di ujung cerita menghadapi masalah karena difitnah seseorang, lalu berakhir dengan happy ending, bersama dua orang isteri yang cantik dan kaya.

Justru pada novel satunya yang tidak sepopuler Ayat-ayat Cinta diatas, yang berjudul Ketika Cinta Bertasbih, terus terang saja aku sangat terkesan. Beberapa kalil aku berhenti membaca beberapa saat karena menghayati alur cerita dan menikmati indahnya bait-bait tulisan dari pengarangnya, Habiburrahman El Shirazy. Tokoh dalam cerita, Azzam, adalah seorang mahasiswa di Al Azhar University Cairo, yang selama masa kuliahnya tidak bisa dikategorikan sebagai mahasiswa gaul dan populer, tidak dikenal sebagai mahasiswa yang dibanggakan prestasi akademisnya maupun prestasinya yang lain. Sembilan tahun waktu yang dihabiskan untuk kuliah di Mesir, dan tidak lulus-lulus untuk sekadar S1. Nilainya pas-pasan kecuali di tahun pertama, saat bapaknya masih hidup. Berubahnya orientasi hidup dan kuliah dia terjadi pada tahun pertama dia kuliah, saat bapaknya meninggal dunia, dan setelah itu setiap harinya disibukkan dengan aktivitas bisnisnya membuat bakso dan tempe.

Terus terang saja, ada banyak aspek latar belakang cerita yang bagiku sangat menyentuh, dan terus terang buku ini telah mengingatkanku pada suatu keluarga besar yang kukagumi dalam upayanya untuk meletakkan dasar-dasar dan fondasi bagi generasi-generasi turunan mereka, agar bisa bermanfaat bagi sebanyak mungkin umat. Ada beberapa benang merah yang nyambung dalam fondasi orientasi hidup dan karakter cerita pada novel diatas dengan beliau-beliau yang kusebutkan diatas. Mereka, para orangtuanya yang telah memberikan contoh teladan yang baik bagi anak-anak dan cucu-cucunya, yang mestinya hal ini dapat memacu semangat bagi anak dan cucu-cucu mereka untuk melakukan refleksi, napak tilas dan upaya meneruskan jejak langkah yang telah dilakukan oleh pendahulu-pendahulu mereka dalam konteks kekinian, yang tentu saja jauh lebih kompleks. Aku ingin sedikit cerita tentang keluarga yang kukenal secara sekilas itu, yakni Bani Mukhtar dan Bani Musthofa maupun beberapa Bani diatasnya lagi, semisal Bani Nur Muhammad. Mereka cukup populer untuk kota dan komunitas kecilku di kota kelahiranku yakni Wonogiri. Tidak ada maksud apa-apa saat aku menceritakan tentang mereka, melainkan aku hanya ingin agar dengan cerita ini kami akan mengingat mereka, mengingat upaya dan jerih payah mereka, mengingat pesan-pesan moral mereka, dan meneruskan jejak langkah mereka.

Masyarakat di kota kecil kami telah mengenal keluarga besar itu yang terdiri dari keluarga dimana terdiri dari banyak orang yang menonjol tingkat keshalihannya, para kyai, ustadz, para alim ulama yang berada pada barisan depan dalam menyebarkan Islam dan dakwah, dari dulu sampai sekarang di daerah kami. Di tiap masa generasi keluarganya, seolah tidak pernah habis munculnya orang-orang yang masuk dalam kategori orang shalih, kyai ataupun alim ulama, ustadz muda, pemuka agama dan penyebar agama Islam. Aku ingat, pernah suatu ketika mendampingi salah satu dari mereka, saat melakukan ceramah-ceramah ke segenap pelosok terpencil, tiap hari selama sebulan penuh saat ramadhan. Beberapa kali aku diajak beliau untuk menempuh perjalanan panjang keluar masuk hutan, mengeberangi sungai untuk sekadar memberikan ceramah yang membangun kehidupan keagamaan di tiap desa yang jauh dari peradaban. Beliau sempat intensif untuk membangun sebuah masjid besar di sebuah desa terpencil yang harus dicapai dengan menembus hutan. Saat-saat mendampingi beliau, kurasakan betapa masyarakat terhalang oleh sungai dan tidak ada jalan darat untuk menuju desa tersebut. Beliau sangat dicintai oleh masyarakat.

Kesamaan background cerita Ketika Cinta Bertasbih dengan keluarga itu, pertama adanya nuansa bahwa pendidikan merupakan hal yang utama. Pendidikan tentu saja bisa pendidikan agama maupun pendidikan umum. Untuk keluarga itu, konteksi saat ini mungkin dapat dikatakan bahwa 80% lebih banyak berkecimpung dalam pendidikan umum. Ini agak berbeda dengan generasi sebelumnya dimana lebih banyak yang menamatkan pada sekolah-sekolah agama. Masyarakat mengenal bahwa keluarga itu sangat memperhatikan dan peduli dengan pendidikan, dan karena orang-orang tuanya banyak yang shalih dan selalu mendoakan anak-anaknya maka banyak yang berhasil dalam meniti jenjang pendidikannya. Yang saya katakan jelas, karir pendidikan, bukannya karir pekerjaan atau kekayaan. Yang kutahu, bukan meniti karir pencapaian materi pada tingkat-tingkat tertentu, karena memang sejak kecil anak-anak mereka dipacu dan dididik untuk mengejar ilmu, menjadi orang yang berilmu, menjadi orang yang alim dan shalih. Bukan dididik dan digadang-gadang untuk menjadi orang yang kaya kelak. Mengapa? Bukankah kekayaan apabila digunakan untuk beribadah akan menghasilkan efek multiplier yang besar dan tingkat kualitas ibadah yang lebih tinggi? Mungkin iya, tapi kupikir, pertimbangan orang-orang tua kami adalah, pertama, karena kalau orang berilmu, orang alim maka biasanya –meski tidak selalu begitu—akan diikuti oleh faktor kemudahan dalam mendapatkan financial. Kedua, kalau kekayaan dijadikan sebagai panglima dan tolok ukur maka akan membuat orang cenderung melakukan apa saja untuk mendapatkan standar kekayaan yang ada pada ekspektasi dan angannya yang diciptakan oleh bawah sadar seseorang ketika hal itu menjadi hal yang dijadikan standar umum bagi lingkungannya. Makanya yang dijadikan standar bagi lingkungan keluarga itu adalah pentingnya upaya belajar dan menempuh pendidikan semaksimal mungkin. Ketiga, mungkin kalau seseorang telah mencapai tingkat kekayaan yang tinggi dimata masyarakat, maka sesungguhnya hal tersebut akan lebih menjadikan itu sebagai ujian. Dan terkadang manusia justru gagal ketika diuji oleh kekayaan, kecuali orang –orang yang tidak sekadar mencari materi, melainkan menjadikan materi itu hanya sekadar merupakan implikasi dari hal lain yang jadi orientasi hidupnya. Dan materi sebagai tools untuk kenyamanan beribadahnya. Kalau tidak, ya itu tadi, seringkali orang justru gagal diuji dengan kekayaan materi. Karena, dari jaman Adam sampai kapanpun, ini adalah salah satu godaan duniawi yang memang indah namun bisa menyesatkan jalan orang. Namun sekali lagi, tentu saja orang-orang tua mereka bukanlah orang yang mengabaikan materi atau kesejahteraan. Mereka adalah oramg-orang yang khusysuk dalam beribadah dan sekaligus tekun dan kerja keras dalam bekerja.

Kembali ke novel diatas, ada kesamaan novel tersebut dengan keluarga itu, yakni adanya nuansa pesantren yang ada dalam cerita tersebut, dimana pada akhirnya tokoh utama cerita, yakni Azzam, akhirnya menikah dengan Anna, putri seorang tokoh Pengasuh Pesantren terkenal di Klaten. Dunia pesantren bagi keluarga itu juga adalah suatu komunitas yang tidak asing.

Kesamaan ketiga bahwa tokohnya terhimpit dalam tuntutan finansial karena saat di tahun pertama kuliah di Al Azhar University, ayah Azzam meninggal, sehingga hal tersebut sangat mengubah jalan hidup Azzam, yang semula konsentrasi pada kuliahnya menjadi ditambah pada keharusan peran untuk menyelamatkan masa depan keluarga dan adik-adiknya dengan bekerja. Dan hal itu menumbuhkan jiwa enterpreneurship pada Azzam, yang mau tidak mau membawa implikasi pada kuliahnya yang menjadi mahasiswa abadi. Saat itu teman-teman seangkatannya sudah pada kembali ke tanah air, kecuali yang meneruskan S2, Azzam tidak pernah mengeluh dan sungkan harus memeras keringat demi pendidikan dan masa depan adik-adiknya. Ini mirip dengan nuansa pada keluarga itu dimana anak-anak mereka disamping harus kuliah, mengejar terget nilai tertentu, juga harus berpikir bagaimana harus survive dalam proses pendidikannya. Mereka kebanyakan harus nyambi bekerja apapun untuk menghasilkan uang karena mepetnya uang bulanan yang dikirimkan oleh orangtua mereka. Mereka saling bantu antarsaudara. Kakak yang telah lulus atau memiliki likuiditas yang lebih baik membantu adik-adiknya. Tidak jarang hal itu membawa konsekuensi lamanya waktu studi yang harus mereka tempuh karena bercabangnya pikiran dan aktivitas mereka. Itulah proses pembelajaran yang riil tentang kehidupan, yang niscaya akan bermanfaat bagi mereka kelak.

Kesamaan selanjutnya yang juga menyentuh, adalah bahwa Azzam berasal dari Sraten Solo. Di Solo, nyaris tidak ada yang tidak kenal dengan keluarga itu yang memang tinggal di Sraten. Salah satu dari mereka pada generasi yang lalu telah diabadikan menjadi nama jalan di daerah itu. Ada pesantren informal keluarga besar mereka yang sampai sekarang masih eksis, yang sering disebut sebagai pesasntren Sraten. Banyak orang-orang terkenal yang dulunya pernah mondok di pesantren ini. Suatu ketika aku pernah berkunjung ke rumah salah satu keuarga itu, yang kebetulan anaknya adalah teman kantorku, mas Yusuf Kurniawan. Keluarganya adalah bagian dari keluarga besar di Sraten itu. Ada suatu momentum yang mirip dengan salah satu moment pada novel diatas. Waktu itu, ibundanya mas Yusuf Kurniawan itu sempat mengeluhkan dan mengeluarkan uneg-uneg padaku ketika salah seorang teman kami, entah tidak sholat atau terlambat sholat, yang jelas bangunnya kesiangan. “Mas, aku kok kurang suka dengan teman anakku itu. Namanya sih Islami, tapi kok bangun pagi pada saat matahari sudah terbit. Lalu bagaimana dengan sholat Shubuhnya..?”. Ini persis dengan keluhan Ibunya Azzam, yang terus terang mengungkapkan ketidaksukaannya saat Azzam akan dinikahkan dengan teman adiknya, Husna. Kenapa? Karena di pagi-pagi buta, Ibunya Azzam menjumpai bahwa teman Husna tersebut tidur lagi setelah sholat Shubuh. Kata Ibunya,”Di rumah orang saja bisa tidur habis sholat shubuh, bagaimana kalau di rumah sendiri”. Membaca kisah Azzam yang ditinggal wafat oleh ayahnya saat tahun pertama kuliah, aku jadi teringat bahwa temanku Yusuf ini juga juga ditinggal wafat oleh ayahandanya, seorang dosen di UNS.

Yah, sekali lagi tidak ada maksud apa-apa saat aku cerita mengenai kemiripan-kemiripan novel dengan apa yang aku kemukakan diatas, kecuali sekadar untuk menjadikan ini sebagai salah satu pelajaran bahwa banyak hal yang bisa aku petik hikmahnya dari novel diatas. Dan karakter-karakter yang dibangun pada novel diatas bukanlah sesuatu yang mengawang-awang dan tidak nyata, melainkan bisa jadi riil ada di sekitar kita. Dan kita bisa belajar dari mereka.

Minggu, 16 Maret 2008

Ketemu dengan Dia Yang Paling Dicari


Hari ini, Jum'at 14 Maret 2008, aku sengaja untuk tidak masuk kantor, sesuai dengan rencana. Pagi, jam 08.00 BBWI, aku telpon atasan di kantor, cuman ngasih tahu kalo aku ada urusan pribadi yang harus aku selesaikan. Atasan dan juga teman-teman kantor, selalu bisa memahami bahwa persoalan pribadiku emang cukup berat sehingga selalu memberikan toleransi. Hal yang membuatku merasa mendapatkan support karena adanya emphaty, simpati dan dukungan moral.

Pagi ini, rencananya aku dan TN akan mendatangi pihak yang sangat terkait dengan rencana jahat HN, yakni JM. Karena orang inilah yang telah diberikan instruksi dan tugas dari HN untuk melenyapkanku, dengan imbalan sejumlah uang, yang tentunya (setahuku) untuk ukuran dia dan keluarganya, bukan jumlah yang sedikit kalau saja tidak dikaitkan dengan beratnya tugas itu. Tapi tentu saja berat tidaknya tugas itu tergantung dari preferensi pribadi. Dan karena aku belum mengenal secara pribadi orangnya maka aku sungguh tidak tahu apakah itu tugas yang berat ataukah tidak bagi dia.

Pagi-pagi sekitar jam 08.30 BBWI, aku, TN dan Fendy sudah di rumah untuk mempersiapkan segala sesuatu untuk agenda hari ini. Fendy di rumah, karena kami meminjam motornya. Aku jadi teringat betapa motor saat ini menjadi aset yang cukup berharga untuk menemaniku. Yah, motor yang tidak ada surat-suratnya, karena BPKB dan STNKnya dibakar oleh HN dalam suatu peristiwa yang emosinya tidak bisa terbendung. Hal yang biasa terjadi.

Saat kita mau berangkat, pembantu bilang,”Pak, tolong bapak hati-hati mulai dari sekarang, baik itu di jalan, di kantor maupun di kendaraan umum, atau dimana saja”. Aku heran dan sedikit kaget dengan pesan pembantu tersebut. Lebih tepat, sebenarnya dia tidaklah aku anggap sebagai pembantu. Karena faktanya aku lebih membutuhkan dia untuk merawat, menunggui dan menemani di kecil HD dan SF. “Emangnya kenapa, Ci”, kataku. “Begini pak, dua hari yang lalu, HN bersama lakinya, dan seorang laki-laki lainnya lagi, kemaren membahas serius tentang bapak di sini. Mereka kayaknya merencanakan sesuatu terhadap bapak, entah untuk mencelakakan bapak, entah yang lain. Saya tidak tahu pastinya, karena setiap kali saya lewat di ruang tengah, mereka langsung terdiam. Bu HN juga menyuruh saya dan anak-anak diam di kamar, dan tidak usah keluar ruang tengah. Tapi sempat saya menangkap pembicaraan di sekitar itu pak. Jadi pesan saya, bapak harus hati-hati dan waspada terhadap keselamatan bapak, entah di jalan, di kantor atau di kendaraan umum. Dia juga sempat mengatakan kepada saya, lihat saja apa yang akan terjadi pada TF, biar tahu rasa dia…”, katanya lebih jelas. “Ok cik, terima kasih untuk peringatannya”, kataku. Aku seolah mendapatkan banyak informasi yang semakin jelas tentang rencana-rencana jahat apa yang akan dilakukan oleh HN.

Sebelum berangkat, aku menyempatkan diri untuk menelepon BY, teman dan sahabatku waktu ambil program S2 Investment Banking. Temanku ini berlatar belakang unik. Sekolah di SMA di Taruna Nusantara, dan melanjutkan ke Akmil Magelang. Menjelang lulus, disersi karena ibunya tidak suka dia menjadi Polisi/Tentara. Sempat mendekam beberapa hari, lalu mendaftarkan UMPTN di ITB, dan diterima di Fakultas Teknik Industri. Kerja sebentar di Astra, lalu keluar untuk kuliah S2. Sekarang kerja di Medco Energy. Dengan latar belakang kemiliteran dia, dimana sampai sekarang banyak teman-teman dan keluarganya di TNI/Polri, aku berharap dia bisa memberikanku advis.

“Wah, tadi malam saya mimpi sedang dikejar-kejar pembunuh bayaran pak. Tapi saya akhirnya selamat, dibantu oleh seorang, entah siapa, yang jelas seorang ahli hukum. Baru saya tahu bahwa dalam mimpi itu rupanya saya memerankan diri pak TF”, katanya. Dia menyarankan agar saya menemui JM, dan bicara baik-baik. “Pancing dia untuk mengakui bahwa memang ada perintah untuk membunuh bapak dari HN. Kalau keluar pengakuan itu, nanti rekamannya akan saya bawa ke POM, untuk menekan dia agar mau menunjukkan itikad baik kepada bapak”, katanya. “Bapak jangan sungkan-sungkan, sampaikan apa yang bapak dapatkan, nanti saya akan bantú”, lanjutnya.

Perjalanan naik motor dari Bekasi ke Mabes TNI Cilangkap ternyata sebuah perjalanan yang panjang. Mungkin ini termasuk perjalanan naik motor terjauh saya, karena selama ini saya HNa naik motor dari rumah ke stasiun, dan sekitarnya saja. Setelah cukup lama kami menempuh perjalanan, dan ada sedikit kekhawatiran bahwa rang yang kami cari tidak ada karena sekarang hari pendek, Jumat, akhirnya kami memasuki area Mabes, dari pintu belakang. “Inilah Pentagonnya Indonesia, Ton. Jadi jangan coba-coba untuk berbuat sesuatu disini”, Kataku.

Di area yang sangat luas itu, entah kenapa, seolah ada kemudahan untuk mencari orang yang aku tuju. Pada awalnya aku hanya tahu kalau orang yang aku cari bekerja di Provoost, di gedung Pimpinan, dimana banyak Jenderal disitu. Tapi aku teringat kata isterinya kemaren bahwa JM mutasi ke bagian Walmor, Pengawalan Motor. Di gedung Provoost, TN sempat tidak boleh masuk ke gedung Pimpinan karena pake jins dan ada banyak Jenderal disana. Aku sempat bilang ke Toni, mau Jenderal, mau Jenderal Besar, Jenderal Kecil, emangnya kenapa, toh bukan atasan kita. Operator sempat konfirmasi, yang ternyata sesuai informasi yang kuperoleh dari isterinya, JM mutasi ke Walmor.

Setelah melanjutkan perjalanan ke Walmor, tiba di sebuah area, entah itu Walmor atau bukan, saya tanya ke seseorang di parkiran, dengan kondisiku masih di atas motor dan masih menggunakan helm. “Permisi pak, mau tanya dimana Walmor ya?”, tanya saya. “Ini Walmor, mau ketemu siapa pak”, katanya. “Saya mau ketemu pak JM Kaligis”, lanjutku.

Ternyata orang yang kutanya itulah orang yang kucari. Tidak kusangka, ternyata orangnya sangat terbuka dan menyenangkan. Lebih menyenangkan lagi, ternyata sikapnya saat ini lebih simpati dan empati terhadapku. “Terus terang saja saya hari-hari ini ingin ketemu dengan pak TF. Justru kebetulan pak TF yang kesini. Ada sesuatu hal penting yang ingin saya sampaikan ke bapak”, katanya. Dengan mobilnya, dia mengajak saya dan TN untuk mencari tempat ngobrol di kafetaria, dimana disana ada sahabatnya Agung, orang Bali dan Khairuddin. “Mereka adalah sahabat-sahabat dekat saya, yang sempat saya ajak ke rumah bapak waktu itu”, katanya mengingatkanku pada peristiwa itu, saat sekitar lima orang TNI berpakaian preman datang di rumah, katanya mencari saya, karena diprovokasi oleh HN. “Untung waktu itu bapak tidak terpancing oleh kami, karena memang skenario HN saat itu ingin memanfaatkan kami untuk mencelakai bapak”, kata JM.

Di awal pembicaraan, JM memulai dengan statemen,”Pak, saya mohon kita saling percaya, dan tolong agar tidak ada benda apapun yang ada dalam badan kita, tolong disterilisasi”, katanya. Pada awalnya saya tidak paham dengan maksudnya. Tapi segera saya teringat bahwa saya bawa alat perekam yang sudah dalam kondisi on dalam kantong celana saya. HNa saja belakangan saya dikecewakan alat ini karena ternyata pembicaraan tidak terekam karena free space-nya kecil sekali, sementara kita ngobrol disitu lebih dari 2 jam. Banyak sekali hal yang terinformasi dari JM. Aku merasa bahwa ternyata banyak hal yang selama ini tidak kuketahui, tentang perjalanan napak tilas HN setelah divorce denganku, dan berbagai aktivitasnya, diceritakan semuanya kepadaku. “Sudah benar-benar putus dengan HN?”, tanyaku memancing. “Saya tidak ada apa-apa dengannya pak. Saya memang sempat berbuat salah sebagai seorang suami, karena terlalu dekat dengannya. Tapi tidak benar saya pernah menjadi suaminya”, katanya menjelaskan.

Sedikit saja saya mengurai cerita tentang HN pasca-divorce denganku, karena rupanya cerita ini erat kaitannya dengan saya. “Hidupnya dipenuhi dengan dendam terhadap bapak. Bahasanya sangat mengerikan. Saya yang seorang militer saja rasanya masih memiliki sisi-sisi kemanusiaan. Saat menyuruh saya untuk membunuh bapak, kata-kata yang keluar dari mulutnya, wih, sadis benar. Benar-benar gila. Saya saja masih berpikir ulang untuk memutuskan soal-soal pembunuhan seperti ini. Jangankan terhadap manusia, terhadap hewan saja, tetaplah itu makhluk yang memiliki nyawa”, katanya.

Ceritanya, seusai divorce denganku, HN berkenalan dengan seorang dukun yang bernama BU. Orang ini kemudian kawin siri dengan HN. “Dia memanfaatkan keahlian BU dalam soal santet-menyantet untuk mencelakai bapak. Tapi BU ini bukan orang bodoh. Karena justru dia yang kemudian memanfaatkan HN untuk mendapatkan uang. Tempat praktiknya dibiayai oleh HN, dan dia disupport uang diatas Rp. 100 juta oleh HN”, katanya menjelaskan. Katanya, beberapa kali BU mencoba menyantet saya, tetapi selalu gagal, entah kenapa. “HN dan BU menyantet bapak sekaligus menjadikan bapak sebagai tumbal untuk mendapatkan uang”, tambahnya. Aku tidak mengerti maksudnya. Tapi kalo emang ada prosedur seperti itu, wah, enak sekali dong dia ya, dengan sekali action, dua tujuan akan tercapai, pikirku.

“Suatu saat, karena beberapa kali gagal menyantet Bapak dari jarak jauh maka kemudian BU menyantet bapak, saat bapak di kamar tidur, bapak dikerjain BU dari lantai atas rumah bapak sendiri”, katanya. Aku kaget. “Tapi itupun gagal, karena, kata BU, kedekatan bapak dengan anak terkecil bapaklah kuncinya yang menyelamatkan bapak”, tambahnya. Aku semakin tidak mengerti. Bahkan perasaan disantet pun aku tidak merasakan apa-apa. “Jangan-jangan dia bukan orang yang ahli benar soal santet-menyantet sehingga gagal melulu”, kataku menanggapi. “Jangankan kepada orang biasa pak. Ki BW yang dukun senior saja muntah darah karena disantet BU. Saya saksikan itu dengan mata kepala sendiri pak”.

Dalam suatu cerita yang aku tidak sepenuhnya memahami, --apalagi karena rekamanku gagal—kata JM, rupanya dalam suatu perjalanan selanjutnya BU ada konflik dengan seorang paranormal senior Ki BW. Saat BU dan HN menyantet Ki BW sampai muntah darah ini, kemudian Ki BW marah dan menyuruh JM untuk membunuh HN dan BU. Sampai disini aku agak bergidik dan sedemikian sulit untuk memahami bagaimana soal santet menyantet dan bunuh membunuh bisa dilakukan, diputuskan dan diinstruksikan demikian mudahnya.” Ruang praktek BU yang dibiayai oleh HN saya obrak-abrik. Saya bilang tidak takut dengan segala paranormal. Keris-kerisnya yang katanya sakti mandraguna saya tendah sampai jauh”, kata JM. “Saat itu saya yang diinstruksikan untuk membunuh BU dan HN oleh Ki BW, melihat HN yang sedang menangis. Rupanya dia sedang berduka karena BU kawin lagi dengan isteri baru dan mengkhianati cinta HN.Dari situlah saya bisa dekat dengan HN”, katanya. “Coba pak, siapa sih laki-laki yang tidak tergoda kalau seorang seperti HN yang orang Bank, terlihat kaya, cantik dan pandai merayu dan mengambil hati laki-laki”, katanya. “Dari situ saya mendapatkan banyak cerita HN tentang bapak dan hal lainnya. Beberapa kali saya diprovokasi HN untuk melakukan sesuatu kepada bapak”, lanjutnya.

Dalam aktivitas berikutnya, katanya, kedekatan HN dengan JM semakin jauh. “Kami sama-sama terlibat menyerahkan sejumlah uang kepada seorang paranormal di Bogor yakni Ki GB. HN memberikan uang sekitar Rp. 120 juta. JM sekitar Rp. 30 juta. Dan belakangan saya baru tahu bahwa seorang-laki-laki, pegawai Bank Mandiri Kota bernama YS, juga menyerahkan uang sekitar Rp. 125 juta untuk Ki GB. Semua itu akan dijadikan mejadi Rp. 5 Milyar dalam suatu ritual tertentu”, katanya.

“Bagaimana kelanjutan uangnya Bang” tanyaku. Rupanya, keasyikan kami bercerita sudah sedemikian mengakrabkan kami sehingga aku memanggil dia dengan sebutan Bang, panggilan Batak. “Saya sebenarnya orang Timor Leste. Ibu saya masih di sana pak. Kalau nama saya Kaligis, emang O.C Kaligis itu om saya”, katanya. Uang modal kepada Ki GB sampai saat ini katanya masih dalam proses ritual. “Ki GB sebenarnya mau mengembalikan uang HN secara utuh, tapi HNnya yang gak mau, dan ingin dilanjutkan ritualnya agar bisa menjadi Rp. 5 Milyar”. Entah bagaimana pola pikir yang ada dalam benak orang seperti HN, aku benar-benar tidak bisa memahaminya dan emang dunia kita sudah demikian jauhnya. Kalau saja aku jadi dia, saat divorce kemaren udah final, saat sudah memegang uang besar hasil penjualan 2 buah rumah, mobil baleno dan uang pinjamanku, maka uang itu akan aku putar dan diinvestasikan pada hal-hal yang produktif. Untuk membangun portfolio yang produktif, untuk ketenangan masa depan, untuk hAJ, untuk beribadah, untuk masa depan anak, untuk mencari ketenangan, dan bukan justru mencari konflik. Tapi rupanya uang yang dipegangnya justru digunakan untuk menghancurkanku, seperti yang berulang kali dikatakannya. “Aku sekarang punya uang banyak, aku bisa lakukan apapun untuk menghancurkan dan mencelakaimu. Aku bisa bayar preman untuk membunuhmu, aku bisa bayar paranormal untuk menyantetmu, dan aku bisa bayar aparat hukum, jaksa untuk menghabisimu agar kamu membusuk di penjara. Kamu dipecat. Kami jadi kere, dan tidak punya apa-apa. Itu akan terjadi padamu. Lihat saja nanti!”, aku masih terngiang-ngiang ancamannya di depan anak-anak dan beberapa tetangga, saat dia emosi besar gara-gara mobil balenonya menyerempet pintu pagar depan rumah.

“Minggu-minggu ini katanya Ki GB akan mentransfer Rp. 25 juta kepada HN”, katanya. “Saya rasa uang itulah yang dijanjikan HN, yang akan digunakan untuk biaya melenyapkan bapak”, imbuhnya.

“Bagaimana keterlibatan teman lelakinya, YS dalam rencana pembunuhan terhadap saya Bang”, tanyaku. Katanya, YS ini adalah pegawai Bank Mandiri. “Pasti dia akan menjadi korban HN selanjutnya”, kata JM seperti meramal. Bisa dipahami. YS adalah pegawai Bank Mandiri, yang sudah punya isteri dan anak. Dan sekarang berbuat skandal dengan HN. Skandal moral, yang sebenarnya aku tidak mau ambil pusing karena itu adalah urusan dia dan HN dengan perusahaannya dan aku tidak peduli itu. Yang menjadi concernku adalah bagaimana peran dia dalam rencana jahat ini. “Dia ikut berperan. Saya rasa dia adalah penyandang dananya untuk menghabisi bapak”, katanya. “Dia berkepentingan untuk melenyapkan bapak”, tambahnya.

Aku jadi ingat. YS ini, laki-laki ini, yang aku belum memastikan 100% apakah ini YS yang orang di Bank Mandiri, pernah membawa paranormal yang menyebarkan benda-benda, kembang, dan lainnya di sekeling kamarku. Ini adalah informasi dari pembantu dan tetangga.

Untuk meyakinkan cerita ini, JM mencoba untuk menelepon HN. “Bapak boleh merekam pembicaraan saya dengan HN. Akan saya pancing untuk membahas soal rencana membunuh bapak”, katanya.

Kemudian JM menelepon HN dengan menggunakan telepon kafetaria. Sayangnya tidak ada speaker. Lalu HN menelepon balik ke HP Esia JM. Sayangnya juga tidak ada speaker. Itupun waktu mau saya rekam, sekali lagi, free space-nya, dan baterenya drop. Dalam pembicaraan, JM tanya, bagaimana dengan rencana untuk membunuh Pak TF. Kata HN, kita akan membicarakan hal ini secara langsung. “Bagaimana kalau hari ini kita ketemu di MM Mall Bekasi untuk memastikan dan mematangkan rencana”, kata HN. Akhirnya mereka menyepakati untuk ketemu di MM Mall Bekasi jam 18.00 BBWI.

Hari ini kami menghabiskan waktu untuk membahas ini sambil ditemani indomie goreng, tidak terasa waktu berjalan cepat sampai jam 14.30 BBWI. Hari ini aku tidak Jumatan. Karena juga kebetulan hujan lebat sekali disitu, dan aku tidak tahu dimana masjidnya. Dan pembicaraan ini sedemikian penting, dimana JM bukan kategori orang yang wajib jumatan tiap hari Jumat. Mudah-mudah aku diampuni dan dimaafkan karena meninggalkan kewajiban sholat Jumat.

Saat mau pulang, JM sempat memberikanku mantel khas TNI. Sebuah mantel keren, tebal dan pasti akan melindungi pengendara motor sepertiku. ”Bawa aja pak, enak dipakai kok”, katanya. Wah, orang ini benar-benar baik dan tampak merasa bersalah dengan masa lalunya, terutama terhadap saya. “Saya menyadari kesalahan saya dimasa lalu, dan ingin memperbaikinya pak”, katanya. “Saya nanti akan merekam pembicaraan dengan HN, dan akan saya serahkan kepada bapak”, katanya menjanjikan. Pada awalnya dia minta saya untuk menyediakan alat perekam. Namun akhirnya dia bilang akan menggunakan alat perekam sendiri.

Kami pamit, dan mengucapkan terima kasih atas kebaikan, informasi, serta sikap dan penerimaan yang luar biasa ini. “Yah, bapak harus hati-hati dan waspada. Karena seorang seperti HN ini pasti akan melakukan segala cara untuk mencapai tujuannya. Kalaupun tidak kepada saya, dia bisa menyuruh preman untuk melaksanakan apa yang menjadi keinginan dia. Siapa tahu juga dia akan memasukkan unsur-unsur narkoba ke kamar atau motor bapak, jadi bapak harus waspada”, katanya berpesan.

Dalam perjalanan pulang, ada beberapa kali telepon. Aku tidak tahu dari mana. Lalu sebuah sms masuk. Dari DW. “Pak, apakah bapak sudah menelepon bang JM? Bagaimana pembicaraannya? Tolong balas, saya penasaran”, pesannya. Saya telepon balik. Saya sampaikan bahwa bang JM sangat open dan luar biasa sikapnya. “Dia bahkan bersedia untuk merekam pembicaraan mala mini dengan HN, untuk diserahkan kepada saya”, kataku menjelaskan.

Sampai di rumah, sekitar pukul 17.30 BBWI. Aku awalnya pesimis dengan rencana dan keseriusan HN untuk ketemu dengan JM, karena pada jam segini ada HN di rumah. Sedang mandi. Tiba-tiba hpku berbunyi. Pertama dari BY, menanyakan hasil pertemuan dengan JM dan lainnya. Kemudian HP berbunyi lagi, kali ini dari DW. “Pak, Bang JM sudah meluncur ke Bekasi. Katanya ada janji ketemu dengan HN jam 18.00 BBWI di MM Mall Bekasi. Dia sudah membawa HP saya yang bisa digunakan untuk merekam pembicaraan”, kata DW. Saya kemudian mengontak Bang JM. “Apakah saya perlu datang ke MM Mall untuk menyerahkan alat perekam kepada Bang JM”, tanyaku. “Tidak perlu pak, saya sudah bawa alatnya. Saya sudah ada di tempat”, katanya.

Sekitar pukul 20.00 BBWI Bang JM menelepon. Kebetulan saat itu ada TN dan Fendy. Pembicaraan tidak begitu jelas, --tapi sempat kami rekam-- karena dia sedang ada di mobil. Katanya YS juga datang. Jadi rasanya makin jelaslah bagaimana keterlibatan seorang YS dalam persekongkolan dan rencana jahat ini. Entah bagaimana dengan BN, teman kantornya.

Merespon Informasi...

Pagi ini, Selasa 11 Maret 2008, dalam perjalanan berangkat menuju kantor dengan kereta Bekasi-Jakarta, saat masih terkantuk-kantuk, aku sempatkan buka HPku. Ternyata ada 2 sms dari mbak Nunung. Masuk dan terkirim pada jam 02 dini hari tadi.

“Mati hidup di tangan ALlah, tidak ada yang dapat memajukan atau memundurkan waktunya, semuanya sudah ditentukan sebelum kita lahir. Aku selalu berdoa agar aku,anak2ku, ibu bapakku, suamiku, adik2ku, yang masih hidup diberi hidayah oleh ALlah, digolongkan ke dalam orang2 yang sholeh dan taat kepada ALlah dan RosulNya diselamatkan di dunia dan akhirat.Adik2ku, ayo kembali ke ALLah, banyak istighfar, istiqomah, sholat, infaq, ngAJ dan artinya setiap hari. Amalkan Al Qur’an semaksimal mungkin”.

Sms dia berikutnya.

“Mati hidup di tangan ALlah, orao dipateni yen wis wancine iso mlayu nyang ngendi, yen durung wancineditimbali berarti masih terus diuji. Dak pikir ALlah sayang ke kita, peristiwa ini moga-moga lebih bisa mendekatkan kita kepadaNya. Alhamdulillah, ALlah menyadarkan, dunia yang indah ini pasti akan kita tinggalkan. Jangan terlena sia-siakan waktu, siapa yang tahu kapan kita mati. Yen HN, mateni ki hukume qishos. Koyo-koyo’o bakal ana donya kekal, uwong ra duwe aturan. Wis ra wedi dosa besar”.

Dan lagi.

“Ayo sholat Tahajjud bareng. Jiwa kita akan dapat makanan dengan sholat + tilawah qur’an + artinya. Dulu waktu kuliah, setiap bulan sekali irim wesel bapak pesen untuk baca qur’an tiap hari. Saat kiamat siapa yang bisa nolong. Saat berjala di shorot bagiamana bisa mendapat cahaya”.

Lagi.

“Iya, terus berusaha istiqomah, yen pengen matinya khusnul khotimah. Yen gak istiqomah terus-menerus jangan-jangan mati saat titik terjauh dari ALlah. Naudzubillah. Bacaan naziat yang masuk neraka yang melampauai batas dan lebih mencintai dunia. Menurutku yen gakistiqomah berarti lalai, terpesona dengan hiasan dunia, seolah-olah seterusnya kita disini”

Di kantor, aku mendapatkan telepon lagi dari mbak DW, yang mengabarkan bahwa HN dan laki2nya yang bernama YS akan bertemu dengan Bang JM. Dia menyarankan agar aku berusaha untuk menemui suaminya dan ngomong baik-baik agar suaminya tidak kembali ke dalam perangkap HN untuk berbuat kejahatan besar. “Bapak coba aja membuka komunikasi ke Bang JM, tapi bicaranya hati-hati pak. Jangan sampai seolah ini informasinya dari aku. Dan bapak jangan langsung bicara soal rencana pembunuhan tadi pak. Yah, say hello dan perkanalan dulu aja. Kalo udah kenal, Bang JM orangnya baik pak..”, katanya menyarankan.
Sepulang kantor, sekitar jam 18.00 BBWI, dalam perjalanan naik kereta api, aku teringat bahwa di kereta api ini tentunya ada mas AJ. “Mas, kalau mas AJ naik kereta api Jakarta-Bekasi, aku ingin bicara sebentar”, kataku. “Ok, kutunggu di stasiun Bekasi”, katanya. Sampai di stasiun, ak ceritakan tentu saja tidak dengan detil tentang informasi adanya rencana jahat HN terhadapku. “Sebuah rencana kejahatan tertentu yang terencana dan sistematis, yang kalao terungkap akan ditindak dengan ancaman penjara maksimal bisa seumur hidup di penjara atau puluhan tahun penjara”, kataku. Dari mimik dan sikapnya, aku tahu bahwa mas AJ tidak percaya dengan statemenku. Mungkin dia merasa aku terlalu merasa ketakutan dan dikejar-kejar oleh ancaman saja. “Menurutku, simpel saja penyelesaiannya. HN tujuannya apa, dan kamu aspirasinya apa, lalu ketemu atau melalui pihak ketiga untuk membicarakannya”. Yah, begitu mudah untuk diucapkan. Tapi seandainya saja mas AJ tahu bagaimana dan seperti apa HN itu, tentunya dia akan setuju denganku bahwa itu tidak akan mudah untuk direalisasikan.

Informasi itu...

Siang ini, sekitar pukul 11.00 BBWI, 10 Maret 2008, di tengah2 aktivitasku menyusun analisa keuangan pengajuan investasi kredit, tiba2 dering hpku berbunyi. Aku lihat nomor pada hp emang tidak aku catat dalam phonebook hpku, namun aku tahu itu adalah mbak DW. Ya, mbak DW, seorang wanita yang beberapa bulan terakhir ini menjadikanku sebagai ajang berkeluh kesah, curhat, ataupun menempatkanku sebagai sumber informasi. Pada awal-awal pertemuanku dulu dengannya, tampak adanya raut keputusaan, dan wajah serta suara yang kurang optimis untuk terhadap masa depannya. Dalam banyak perbincangan yang kami lakukan melalui telepon, aku lebih banyak menguatkan hatinya agar tegar dan sabar dalam menghadapi cobaan. “Percayalah mbak, betapapun berat cobaan yang mbak alami saat ini, yakinlah bahwa itu semua akan berakhir. Dan dengan cobaan yang semakin berat maka berbagai cobaan lainnya akan menjadi terasa ringan”, kataku meyakinkan. “Cobaan terasa berat karena kita menganggap bahwa masalah itu berat. Jadi berat tidaknya lebih pada pikiran kita sendiri. Masalahnya sendiri mungkin lebih netral dan wajar, tetapi kita olah sedemikian rupa dan kita dramatisir menjadi menakutkan diri kita sendiri. Itulah yang perlu kita atasi”, kataku menambahkan. Itu kejadian pada pertemuan pertama, dan memang hanya sekali itu kita ketemu untuk sebuah ajang curhat, di sebuah mall di Jakarta Timur. Aku masih ingat betul, bahwa kata-kata menguatkan hatinya selalu aku sampaikan kepadanya pada waktu2 berikutnya, tentu saja melalui telepon.

Jadi, dering hp di pagi ini, sekitar jam 10.00ini cukup mengagetkanku. Ucapannya singkat saja,”Pak, bisa telepon balik ke saya, jam 1 siang nanti? Ada yang mau saya sampaikan, hal yang sangat penting,” katanya. Tapi ternyata, sebelum tiba waktunya, sekitar setengah jam kemudian, dia menelepon lagi. “Pak, bisakah bapak menelepon saya sekarang, mungkin sebaiknya pake telepon kantor saja, karena ceritanya agak panjang”, katanya.

Aku kemudian langsung menelepon balik menggunakan hpku. Ternyata informasi yang disampaikan, menurutku sangat mengagetkan. “Pak, saya mohon, bapak bersumpah bahwa jangan dulu menyebarkan informasi ini ke siapa2 dulu. Terus terang saya sangat takut untuk menginformasikan hal ini kepada bapak”, katanya mengawalisebuah permintaan. “Saya harus pastikan dulu, demi Tuhan ya pak, jangan bilang ke siapa2 dulu. Tadi barusan ada telepon dari nomor 021-6917702. Menurutku sih dari Jakarta Kota pak. Itu suruhannya HN, beberapa kali menelepon ke Bang JM. Karena Bang JM tidak ada di rumah, dan hp itu sedang saya bawa maka saya pura2 jadi Bang JM. Jadi Pak, ceritanya, HN ini sekarang sedang menyuruh Bang JM untuk membunuh bapak, dengan imbalan Rp. 50 juta”, katanya. Kemudian secara panjang lebar DW menceritakan bahwa suaminya, Bang JM sendiri saat ini sudah dalam tahap menuju pada proses kesadaran untuk menilai siapa yang benar dan siapa yang salah, siapa yang jadi korban, dan siapa itu HN. “Saya sudah bicara panjang lebar dengan Bang JM pak. Dia sendiri saat ini ingin bicara dengan bapak dari hati ke hati. Tapi saya tidak tahu bagaimana caranya dan saya tidak ingin dianggap lancang untuk menghubungkan bapak dengan bang JM”, katanya. Ini tentu saja bisa dipahami mengingat bagaimana keterkaitan JM denganku. Dia adalah teman intim HN yang kesekian kalinya setelah cerai denganku, yang katanya mereka sudah kawin siri. “Saya tahu dari Bang JM bahwa HN telah menyuruhnya untuk membunuh bapak dengan imbalan Rp. 50 juta rupiah”. Kata DW, rupanya saat ini HN telah kalut dengan perkara hukum yang rupanya.

“Bapak harus bekerjasama dengan Bank JM”, katanya tiba-tiba. “Ini ide dan keinginan saya. Tapi saya tidak ingin dianggap lancang, terutama oleh Bang JM, karena menghubungkan bapak dengannnya. Dan jangan bilang kepadanya bahwa bapak bisa berhubungan dengan dia karena informasi dariku ya pak. Bapak harus pura-pura tidak mengenal diriku di depannya”, pintanya sekali lagi. “Karena saya sangat takut, informasi ini sangat urgen, dan saya takut bahwa informasi yang saya sampaikan ke bapak diketahui oleh orang2 yang terlibat dalam rencana pembunuhan kepada bapak. Tapi sungguh, saya tidak bisa berdiam diri untuk tidak menyampaikan hal ini kepada bapak karena informasi yang sangat penting bagi bapak, katanya. Akhirnya dia memberikan nomor telepon JM kepadaku, yakni nomor 0813xxx.

“Bang JM sekarang udah mulai terbuka dengan diriku pak. Termasuk menyampaikan pembicaraan dengan HN, perihal keinginan dan permintaan HN agar Bang Jimy mau membunuh bapak, dengan imbalan Rp 50 juta tadi. Bang JM sendiri sudah sangat muak dengan perilaku dan sifat asli HN yang sangat sadis dan menyeramkan sebagai seorang wanita. Hidupnya dipenuhi dendam ke seseorang, terutama kepada bapak. Saya takut untuk menyampaikan hal ini karena menyangkut rencana pembunuhan, namun saya tidak bisa berdiam diri untuk menyampaikan kepada bapak, mengingat saya mengenal bapak dan teringat dengan kebaikan bapak, serta kejahatan HN. Namun jangan sampai informasi ini diketahui oleh HN, bahwa saya menyampaikannya ke Bapak, karena saya takut menjadi sasaran HN. Dia pernah mengancam dan mengintimidasi saya, yang katanya mau mengirimkan preman-preman kesini”, begitu kata-kata mengair dari DW. Begitu mengalir informasi sepenting ini. Saya mencoba untuk tetap tenang dalam pembicaraan itu.

Sekian lama mengenal HN dalam ikatan perkawinan yang lebih banyak rasa tidak comfortnya (tapi itu masa lalu yang tidak perlu dibahas lagi tentunya), saya mengenal betul seperti apa dan bagaimana seorang HN akan berusaha keras untuk melaksanakan apa yang telah menjadi maunya. Apapun akan dilaksakanannya, tidak peduli caranya benar atau tidak, yang penting tujuan tercapai, titik. Dan sekarang ini yang menjadi tujuan dan sasarannya adalah saya. Dengan adanya informasi tadi, terus terang aku emang perlu dan harus hati-hati, waspada. Feelingku bahwa dia suatu saat akan mencelakai diriku emang seringkali terlintas dalam benakku. Namun masalah hidup mati seseorang, maslaah nyawa, aku percaya bahwa 100% adalah soal taqdir. Kalau memang aku belum ditaqdirkan untuk dipanggil olehNYA, maka tidak ada seorang makhlukpun yang bisa mencabut nyawa seseorang, tanpa seijin Yang Memiliki nyawa tersebut. Namun aku tidak tahu pasti, akan seperti apa taqdirku, karena itu adalah rahasia Illahi. Apakah aku nanti ditaqdirkan akan dipanggil olehNYA dalam usia tua, saat bisa bercanda dengan cucu-cucu, menikmati kehidupan di usia tua dengan ketenangan dan ibadah, dan seterusnya, siapakah yang tahu itu? Ataukah aku emang ditaqdirkan untuk dipanggilNYA dengan melalui sebuah korban pertikaian dan konflik dengan seseorang yang pernah sangat dekat dan saat ini sangat membenciku dan sangat ingin bernafsu menghancurkan, dan bahkan berupaya membunuhku, akupun juga tidak tahu itu. Tidak lain dan tidak bukan, persoalannya adalah soal kesiapan untuk menghadapi waktu kapan saat kita dipanggil tersebut. Apakah saat itu kita sudah siap atau belum, itu yang lebih penting. Siap tidak siap, suka tidak suka, aku harus tahu bahwa itu akan tiba, dan harus dipersiapkan dengan dini. Karena kehidupan setelah saat ini adalah justru kehidupan yang jauh lebih kekal dan abadi. Apakah aku akan membiarkan diriku dalam suatu tempat yang tidak menyenangkan, hanya karena sebuah nafsu dan godaan sesaat, kenikmatan sekejap dan harus siap dengan konsekuensi menghadapi pengadilan abadi yang kekal? Jadi bagaimanapun informasi ini sangatlah penting dan sangat berguna bagiku. Karena aku akan waspada dengan segala sesuatunya, dan aku menjadi berpikir dan mulai bertindak dengan persoalan kesiapan untuk tiba waktunya diriku dipanggil olehNYA, entah ini ada kaitannya dengan informasi ini atau tidak.

Malem, sepulang dari kantor aku langsung mampir ke rumah TN, setelah aku mengambil alat rekaman ACER di rumah. Aku sempat mencari-cari benda yang sangat berguna, tapi sudah lama tidak aku gunakan tersebut. Ketemu. Aku langsung menuju kost TN, adikku. HD dan SF aku ajak serta. Hari-hari ini emang aku merasa begitu panjang dan aku harus peduli dengan keselamatan dan masa depanku, masa depan anak-anakku. Aku masih sangat concern untuk mendampingi mereka dalam proses pendewasaan mereka, dalam proses pendidikan mereka karena aku adalah orangtua yang mendapatkan amanah untuk mendidiknya menjadi anak yang sholeh dan sholehah. Sepulang mereka mengAJ ke Masjid Al Muqorobbin, mereka aku ajak ke kost TN.

Sampai di tempat TN, aku ceritakan adanya informasi rencana pembunuhan terhadap diriku oleh HN dengan membyar sejumlah uang besar kepada seorang pembunuh bayaran. Mendengar tersebut TN kaget, tapi toh berkata begini,”Ya itulah, saya sudah menyangka bahwa seorang seperti HN akan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Orang seperti dia emang perlu dan harus dijauhi secara lahir maupun batin. Makanya sejak dahulu aku dan keluarga sarankan ke om untuk pindah rumah aja. Mendingan kost, dan ikhlaskan soal harta benda”, katanya.

Bicara soal harta benda, ya aku masih ingat, bagiku emang soal harta tidak begitu menarik untuk dibicarakan sampai pada tingkat tertentu. Namun kalau seseorang sudah berperilaku sangat tidak menghargai prinsip-prinsip keadilan maka teta pada batas-batas toleransi untuk itu. Sesaat sebelum cerai, aku masih ingat betapa liciknya dia mendebet uang pinjaman kantorku yang aku rencanakan untuk beli mobil. Saat itu, dia memaksakan untuk menjual 2 buah rumah dengan terburu-buru, dan mendebit rekening pinjamanku, dan meminta kunci mobil Baleno. Total uang atas aset-aset yang dikuasainya tersebut sekitar Rp. 400 jutaan. Dan saat sekarang tinggal inilah satu-satunya rumah tinggal (dan ada 1 buah Ruko lagi-red), masihkan aku harus mengalah dan menunjukkan adanya sikap terus mengalah untuk keinginan dan nafsunya yang seperti tidak ada batasnya? Belum lagi tentu saja aku masih harus memikirkan untuk pengembalian uang pinjaman kantorku untuk pembelian rumah ini, yang entah sampai kapan jatuh temponya yang setiap bulannya dialokasikan dari uang gAJku setiap bulannya.

Malam itu aku mencoba untuk menghubungi mbak DW lagi, untuk konfirmasi soal informasi rencana jahat HN untuk melenyapkan nyawa seseorang dengan menggunakan jasa pembunuh bayaran. Kuanggap informasi tadi penting untuk direkam, karena informasi mendadak siang tadi tentu saja tidak aku rekam karena emang tidak ada persiapan untuk itu. Setelah beberapa kali mencoba menghubungi mbak DW, dan tdak bisa terhubung. “Ada suaminya kali, sehingga dia takut untuk menerima telepon”, kata TN. Akhirnya, satu jam kemudian telepon bisa nyambung, dan pembicaraan lebih detil dapat aku rekam, mengenai rencana HN yang meminta tolong Bang JM, suaminya, untuk melenyapkanku. Sekitar 25 menit pembicaraan dapat aku rekam. Sebuah informasi yang berharga dan berhasil aku dokumentasikan. Di tengah-tengah kami merekam pembicaraan dengan speakerphone ku, ada telepon masuk ke HP TN, yang ternyata adalah dari Amin. Rupanya, tanpa sepengetahuanku, TN sudah menyebarkan informasi ini ke keluarga inti. Setelah itu Amin dan mBak Nunung juga meneleponku.

Malam itu terasa panjang....

Malem ini tanggal 9 Maret 2008, sekitar jam 11 malem, saat aku dan kedua anakku, HD dan SF udah siap-siap tidur, sambil aku perdengarkan ayat-ayat suci Al Quran dari kepingan CD, tiba-tiba kami dikagetkan dengan suara gedoran pintu kamar agak keras. “Pak, tolong buka pintu…..”. Aku jawab,”Siapa?”. Dia menyahut, “Saya BN, temannya Bu HN”. Aku tenang namun tetap waspada untuk menanggapi segala sesuatu, mengingat kompleksitas permasalahanku dengan HN yang seolah tidak beujung dan tidak ada solusinya.

Di luar pintu kamar, BN berkata,”Pak, saya mewakili HN untuk bicara dengan Bapak mengenai laporan yang bapak lakukan ke Polres Bekasi beberapa waktu yang lalu”, katanya to the point. “Saya mau tanya, bapak bersedia gak untuk mencabut laporan tersebut. Saya gak mau tahu dengan segala tetek bengek permasalahan bapak dengan HN, tapi saya ingin bapak mencabut perkara itu”. Aku jawab,”Lho, Pak BN ini aneh sekali. Bilang tidak mau tahu dengan persoalanku dengan HN dan ingin saya mencabut perkara. Justru adanya perkara itu karena adanya persoalan antara saya dengan HN. Kalau tidak ada persoalan tentu saja tidak ada laporan”, kataku. Dia menjawab,”Oke, kalau emang Pak TF sudah pasti dan mantap dengan itu, tapi harap hati-hati saja dan jangan menyesal kalau terjadi sesuatu. Saya mempunyai beberapa Saudara Jenderal Bintang di Mabes Polri, ada yang Kepala Diklatnya Mabes Polri. Itu semua akan saya kerahkan untuk fight dengan Pak TF”. Dia mengancam. Saya jawab,”Bapak ini tidak tahu apa-apa dengan soal saya dan HN, jadi sulit bagi saya untuk bicara dengan bapak. Kalau soal ancam-mengancam, saya sudah biasa menghadapi hal-hal seperti ini”, lanjut saya. Ohya, di sela-sela pembicaraanku dengan BN, tampak HN beberapa kali dengan emosi meluap dan kegusaran luar biasa mengatakan kepada BN, dengan mengatakan sesuatu yang tidak begitu jelas bagi saya.

Habis insiden ancaman dari temannya HN tersebut, terus terang saja saya menjadi sulit tidur. Banyak hal berkecamuk dalam pikiran saya. Banyak sekali. Ada sedikit keheranan atas peristiwa barusan, bahwa teman sekantor HN, di sebuah Bank terbesar di negeri ini, yang tampak begitu tegasnya memberikan ancaman kepadaku. Apakah yang telah diberikan oleh HN, atau apakah yang diceritakan oleh HN sehingga seorang teman kantornyapun bersedia mengambil risiko untuk masuk dalam bagian konflik internal antara diriku dengannya. Seolah mengerti kegelisahanku pada ancaman tadi, anakku terkecil SF, malam itu menemaniku sampai larut. Dia bilang,”Papa, aku sulit tidur. Kita ngobrol aja yuk…”. Aku tersenyum, dan merasa bahwa selama ini kebersamaanku dengan kedua anakku adalah sesuatu yang sangat berharga di tengah-tengah peliknya persoalan keluarga dalam diriku. Mereka seolah memberikan kekuatan moral kepada diriku untuk selalu tegar dan seolah mereka bisa mengatakan bahwa masih ada mereka disisiku. Mereka yang membutuhkanku, dan aku yang membutuhkan kehadiran mereka dalam kehidupanku. Justru merekalah yang dalam sehari, minimal 3-7 kali menelepon, saat aku menjelang pulang dari kantor, untuk sekadar tanya, “Papa sudah sampai dimana…, Papa kapan sampai di rumah…., Papa, cepet pulang ya, pengin jalan-jalan naik motor…, Papa, pesen coklat ya…”.


Anak-anak yang lucu-lucu, kuharap peristiwa yang kami alami tidak sampai berdampak pada psikologis mereka. Kuharap kasih sayang, perhatian, bimbingan, dan didikan yang positip akan selalu menyertai dalam proses kedewasaan mereka, entah dari diriku, dari HN sendiri, dari Eyangnya, dari Omnya, dan dari siapapun.

Bicara mengenai laporanku ke Polres Bekasi pada kasus yang secara hukum masuk pada kategori ‘Penganiayaan’ yang dilakukan HN kepadaku sendiri terus terang saja hanyalah bagian yang sangat-sangat kecil apabila dibandingkan dengan perilaku-perilaku yang selama ini dilakukannya. Itupun kulakukan, sebagai semacam sentilan atas berbagai kelakuannya yang sulit untuk ditolerir. Mungkin beberapa orang berkomentar bahwa laporanku ini adalah membalas apa yang dia lakukan dalam 1 tahun terakhir, dimana dia memperkarakanku pada 2 tindakan pidana yang ‘direkayasa’ olehnya, yakni tuduhan tindakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT dan Pencemaran Nama Baik. Untuk tuduhan KDRT itu sendiri, waktuku banyak sekali tersita olehnya, saat harus hadir dalam lebih dari 12 kali persidangan di Pengadilan Negeri, beberapa kali dipanggil ke Polres, beberapa kali dipaggil ke Kejaksanaan Negeri, bahkan sekadar untuk wAJb lapor. Sebuah peristiwa yang Hakimnya sendiri berkata,”Isteri anda sangat-sangat sadis terhadap anda. Dia membawa segepok uang kepada saya, didampingi Jaksa, meminta agar saya memutus vonis penjara untuk anda. Saya bilang, makan uang itu, saya tidak butuh. Saya memutus perkara sesuai dengan hati nurani”. Yah, satu dorongan ke tubuhnya dan sedikit tamparan yang pertama kali aku lakukan dalam seumur perkawinan dengannya, karena dia mendahului meludahi mukaku beberapa kali, memukul, memaki, bahkan sempat mengancam akan menusukku dengan menggunakan pisau saat aku sedang sholat shubuh. Lantas dia bayar sejumlah uang kepada saksi, polisi, jaksa, dan tentu saja pengacara, semua sumberdaya dan sumberdana dikerahkan untuk memenjarakanku. Kuingat ketawanya yang terdengar sadis dan penuh dendam, di depanku, depan anak-anak dan beberapa tetangga,”Hei dengar ya, aku akan membuatmu membusuk ke penjara bertahun-tahun. Aku udah ngasih uang ke Jaksa untuk memenjarakanmu puluhan tahun. Kamu akan membusuk disitu. Aku punya banyak uang untuk menghancurkanmu, hahaha….”.

Saat masih menjadi suami-isteri, saat aku selalu dan selalu mengalah terhadap apapun keinginannya, apapun luapan emosinya, apapun dampak dan konsekuensi yang harus aku terima atas sesuatu hal atau tindakan yang tampak wajar tapi menjadi tidak wajar dimata HN. Itu semua aku lakukan dengan harapan bahwa akan ada perubahan dalam perilakunya. Karena disaat-saat suasana tenang aku eberapa kali mencoba bicara untuk kita saling berintrospeksi untuk membuat suasana yang lebih menyenangkan dimasa mendatang. Dan itu termasuk hal yang tersulit untuk membuka dialog dan komunikasi. Di belakang hari aku menyadari bahwa tingkat kesulitan seperti itu bukan hana dihadapi olehku saja. Orang-orang yang pernah menjadi bagian terdekat dengannya pun, dalam hal ini keluarganya, praktis tidak ada yang bisa masuk dalam komunikasi tanpa diakhiri oleh konflik dengannya. Konflik antara dia dengan keluarganya, dengan ibu bapaknya, dengan saudara-saudaranya, sudah menjadi bagian dan menú sehari-hari pada masa lalunya. Dan pada saat ini, konflik itu sudah menjadi semacam permanen diantara mereka. Itu hal yang juga tidak pernah aku harapkan. Karena disaat-saat dia masih menjadi isteriku, selalu aku berharap dan berusaha untuk mendekatkan dia pada keluarganya, menumbuhkan rasa kasih sayang pada ibu bapaknya, menumbuhkan rasa hormat dan menjadi bagian dalam kehidupan keluarganya, ternyata itupun merupakan hal yang tidak gampang untuk dilakukan. Tentu saja aku masih teringat, saat aku menghadiri pernikahan adik kandungnya di Jogja, baju-bajuku dibakar habis. Itu pembakaran yang kesekian kalinya dilakukan olehnya ketika emosinya meluap-luap. Saat tiba di Jakarta, aku selalu memeluk dirinya dengan harapan ada proses cooling down pada emosinya. Sesaat dia memang bisa kembali normal, tapi itu tidak dalam waktu yang terlalu lama bisa aku nikmati.

Salah satu tindakan dia yang masih membekas secara fisik pada badanku ini, tentu saja adalah telinga kiriku. HN karena suatu hal yang wajar aku lakukan terhadap seseorang, tidak ada tendensi apapun, rupanya kecemburuan dia menjadikan suasana sangat memburuk. Saat pulang kantor, dia sudah menyiapkan diri untuk menggembrakku, memukulkan HP ke telinga kiriku, berkali-kali menyabetkan raket nyamuk dengan seterum on ke di tempat yang sama. Belum puas dengan itu, dia mengambil baygon dan disemprotkan ke mukaku. Aku sama sekali tidak membalas, HN sesekali berusaha menahan dia. Tapi saat emosinya meluap seperti itu, tenaganya entah seperti mendapatkan tambahan power entah darimana, dan aku lebih banyak menerima dengan pasrah. Akibatnya agak fatal, telinga kiriku mengalami pendarahan dan peradangan. Suatu keadaan yang sama sekali aku tidak ingin mengalami lagi, dan aku tidak mengharapkan seseorang akan mengalami hal seperti yang aku alami. Sangat tidak nyaman, keseimbangan sangat terganggu. Aku baru mengalami hal seperti itu, bahwa ternyata syaraf-syaraf dalam telinga sedemikian penting dalam proses balancing, dalam memberikan respon terhadap dunia luar. Selama 2 bulan setelah peristiwa itu, telingaku rasanya seperti berat sebelah karena peradangan tadi, respon lambat dan seperti tidak bisa cerdas berpikir, selalu mengantuk, telinga berdenging sepanjang waktu. Hal yang aku nikmati saat itu adalah saat tidur. Dan saat bangun, aku selalu merasakan penderitaan yang seolah tidak berujung. Baru setelah aku lakukan operasi tympanoplasti, sebuah operasi pembedahan telinga yang cukup rawan karena ada berjuta syaraf, aku merasakan ada kemajuan dan perkembangan kondisi kesehatanku.