Senin, 10 November 2008

Dua Memecah Rekor

Apa yang terjadi pada weekend kemaren, tanggal 25 Oktober, barangkali telah memecahkan rekor acara syawalan/ reuni yang pernah kuikuti dalam beberapa tahun terakhir. Kenapa? Demikian banyak yang hadir, sekitar seribuan orang, yang terdiri dari teman-teman dalam satu komunitas f7 Jogja dan jaringannya di kota-kota sekitarnya seperti Semarang dan Purwokerto. Emang pernah aku menghadiri sebuah acara reuni, misalnya yang diadakan oleh Kagama Pusat beberapa tahun lalu, di Balai Sudirman Tebet, yang dihadiri oleh lebih dari seribu orang dari berbagai fakultas dan angkatan yang pernah kuliah di ugm jogja. Namun betapapun acara itu terlalu besar range usianya sehingga tidak terlalu cair. Jadi rekor yang kumaksud pada acara weekend itu, pertama adalah jumlah peserta syawalan terbesar yang pernah kuikuti, yakni menembus angka empat digit. Penyebutan angka ini sebenarnya juga agak absurd, semacam jumlah peserta pada demonstasi mahasiswa yang diklaim oleh mereka sendiri sebagai pelaku versus pihak lain seperti media massa atau aparat sebagai pengamat. Biasanya menurut versi pelaku, jumlah yang hadir pasti lebih banyak dibanding menurut pihak lain, yang entah bagaimana tingkat validitas dan metode perhitungannya. Namun berapapun jumlah pastinya, yang jelas peserta syawalan kemaren menurutku telah memecahkan rekor jumlah peserta syawalan terbesar yang pernah kuikuti. Lalu, rekor kedua apa? Masih ada kaitannya dengan acara ini, yakni waktu terlama aku menjalani syawalan dimana aku berada di tengah-tengah teman-teman Jogja selama 35 jam tuk berdiskusi, bercanda dan bernostalgia bersama.

Acara resmi syawalan itu sendiri mungkin terkesan agak politis, --dan sempat menghiasi setengah halaman harian Republika keesokan harinya--, dimana mengundang beberapa nama calon presiden yang banyak menghiasi media massa saat ini, namun ternyata hanya ada satu orang calon presiden yang datang. Seorang yang sebenarnya cukup dikenal punya kapabilitas dari kalangan akademisi dan mungkin cukup punya komitmen, namun kenyataannya itu tidak cukup sebagai modal untuk menjadi calon presiden, karena tidak punya massa pendukung, yakni Dr. RR. Pernah menjadi menko perekonomian di era Gus Dur namun ternyata prestasinya juga tidak terlalu mentereng. Kalo gak salah punya andil dalam cuci gudang jual asset bumn yang dilanjutkan secara besar-besaran di era mbok Megawati dengan Laksamana Sukardi sebagai brokernya. RR secara solo tampil berorasi sebagai calon presiden, yang dilanjutkan dengan beberapa kalangan untuk menyampaikan aspirasinya seperti AR sebagai ketua panitia, ES, KAR, dan LHH. Ada beberapa politisi yang hadir, misalnya Bang ZH dari PAN. Juga ada yang disebut-sebut di beberapa media massa sebagai calon presiden beberapa tahun ke depan, dan satu-satunya orang Indonesia yang masuk dalam 100 most of top intellectual in the world, yakni ARB, namun sayangnya tidak diberikan kesempatan untuk berbicara di forum itu. Emang seperti yang dibilang mas AR, pada acara ini sebenarnya berkumpul banyak orang yang layak untuk berorasi, namun betapapun waktunya sangat terbatas sehingga hanya diwakili orang-orang yang telah memiliki cetak biru sebagai leader komunitas f7 di masa lalu, dan Anies tidak masuk kriteria ini. Waktu makan aku sempat ngobrol sama Anies, soal kesibukannya begitu nampe ke Indonesia. Salah satunya, kata dia, belum bisa memanage kartu ucapan lebaran. Aku juga sempat complain, dalam dua tahun sms lebaranku dibalas oleh ARB, tapi dibalas dengan forward inboxnya. “Wah, itu berarti terkirim secara automatic Fiq..”, kata dia dengan senyumnya. Adikku, Amin dari Jogja juga datang, dan tanpa telponnya tadi malam mungkin aku lupa dengan acara ini.

Dalam acara-acara seperti ini biasanya ada dua kelompok yang muncul secara alamiah. Yang pertama adalah orang-orang yang istiqomah dengan topic acara dan memiliki concern yang tinggi terhadap setiap pembicara pada acara ini. Yang kedua adalah orang-orang yang tidak peduli dengan topic acaranya. Aku termasuk yang masih memiliki sedikit rasa peduli namun sayangnya tidak sempat memperhatikan topic acara maupun pembicara yang tampil karena membentuk jamaah sendiri, bernostalgia dengabn beberapa teman yang sudah lama tidak ketemu. Di barisan belakang aku ngumpul bersama SG, IG, ANB, DF, AM. Kalo ada SG seperti biasa maka pembicaraan akan didominasi tentang topic trading di capital market yang kata Sugeng sudah menjadi jalan hidupnya. Dalam kondisi pasar yang volatile dan turbulens saat inipun, saat aku tahu banyak trader yang merugi dalam jumlah besar, diantaranya juga Sugeng, namun ternyata hal itu tidak menyurutkannya untuk tetap concern dengan dunia ini. Sekilas aku tahu bahwa dari wajahnya yang tampak capek, mungkin ada hubungannya dengan kondisi pasar yang telah menggerus keuntungan atau bahkan modal bertahun-tahun, sebagaimana yang dia katakan bahwa besarnya size trading dan kapasitas serta pengalamanan main di pasar berbanding lurus dengan tingkat kerugian yang dideritanya.

Krisis finansial yang melanda Paman Sam ternyata berdampak ke semua capital market seluruh dunia, entah nantinya bisa semakin serius atau tidak. Serius tidaknya dampak krisis finansial ke negara lain, menurutku tergantung apakah dampaknya hanya akan terbatas pada capital market dan beberapa finansial institution atau bahkan sampai ke sektor riil. Kalau hanya sampai pada turunnya harga saham, menurutku itu hanya dampak karena investor asing, para investment bankers menarik dananya pada capital market di seluruh dunia, termasuk Indonesia, karena dananya tergerus oleh subprime mortgage. Sehingga wajar kalo penarikan dana mendadak ini akan mendrive sentimen investor lokal sehingga harga saham semakin hancur. Dampak serius akan terjadi manakala krisis akan merambah ke sektor riil, misalnya para pengusaha akan kehilangan peluang mendapatkan dana dari bank, akibat banknya juga terbelit krisis likuiditas. Sejauh ini, ada beberapa bank yang memang mengalami kesulitan likuiditas, tapi harus dikaji lebih lanjut berapa share dari dampak krisis finansial dari luar, penyebab krisis likuiditas dari eksternal dan global ataukah internal. Awal dari krisis di Paman Sam sendiri pada awalnya dari bank, mirip krisis di Indonesia tahun 1997. Saat the Fed menurunkan tingkat suku bunga, Fed fund rate sampai sebesar 1%, maka banyak bank yang mengucurkan kredit perumahan, mirip kpr di Indonesia. Karena bunga rendah maka banyak yang mengajukan kredit secara besar-besaran, apapun profesinya. Bank juga mengalami moral hazzard dan mengabaikan prinsip-prinsip prudential banking. Lalu, karena bank ingin secepatnya ekspansi maka portfolio mortgage dibundle dan dijual ke investor, melalui proses sekuritisasi aset. Investment Bank selanjutnya membuat bond/ notes yang berbasis kredit perumahan dan menjual bond/ motes tersebut ke capital market, yang sering disebut sebagai mortgage back securities, atau surat utang yang berbasis pada kredit perumahan/ mortgage. Investment Bank yang mendapatkan dana dari investor menanamkan dananya ke berbagai instrumen saham di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Adapun surat utang yang berbasis pada mortgage yang berpenghasilan rendah dan rentan pada volatilitas tingkat suku bunga disebut subprime mortgage. Krisis ini terjadi ketika terjadi the Fed menaikkan bunga dan berdampak pada debitur berpenghasilan rendah, maka subprime mortgage mengalami kejatuhan harga. Investment Bank mengalami default, sehingga menarik dananya dari capital market di seluruh belahan dunia, termasuk Indonesia. Selanjutnya mereka menukar dananya ke US sehingga mengakibatkan nilai tukar mata uang lokal terdepresiasi. Dampaknya, harga saham melorot, dan para investor lokal, seperti Sugeng dan aku pun menggigit jari.

Dia bilang ada satu stock bank swasta yang menjanjikan potensial gain pada tanggal 1 Desember 2008 karena telah deal tender offer dengan investor baru dengan nilai yang lebih tinggi dari market value saat ini. Banyak teman-teman yang comment, namun aku yakin tidak ada yang memiliki keberanian untuk menjadi trader. Emang kebanyakan teman seneng diskusi, memiliki kapasitas teori yang lumayan karena beberapa diantaranya berprofesi sebagai dosen, namun tidak memiliki feeling dan keberanian untuk terjun langsung kayak Sugeng. Aku tahu, berdasarkan feeling, saat-saat volatile seperti ini, harga saham bisa anjlog ke titik yang makin rendah, tapi bisa juga tiba-tiba melonjak drastis karena kejatuhan sudah sangat dalam sehingga berpotensi technical rebound. Aku sendiri, yang sempat belajar 2,5 tahun di dunia capital market, namun kondisi pasar yang lagi volatile dan turbulenc seperti ini ini, juga modal yang telah tergerus habis, maka tidak lain hanya memilih untuk menjadi pengamat saja. Kenapa? Pertama, modal udah habis. Kedua, perlu waktu untuk memperkuat mental. Ketiga, perlu mempertajam analisis teknis.

Sempat ngobrol juga sama mas Ridho, pewaris pondok pesantren Gontor yang ternyata lebih concern dengan pengembangan bisnisnya di bidang perkayuan, kontraktor, penerbitan dan lainnya. Juga sempat ngobrol sama Anies Baswedan saat antri makan. Berbincang dengannya, emang seperti yang dikatakan banyak orang, ada semacam aura leadership pada dirinya, yang jauh lebih menonjol dibanding saat kami dulu bersama-sama dalam satu training tingkat dasar di komunitas f7. Aura leadership yang muncul dari personality, yang kurasakan berbeda saat bertemu dengan CEO suatu perusahaan atau pemimpin partai politik atau ormas sekalipun. Aura kepemimpinannya emang sudah terasa saat aku kenalan dengannya di sebuah training tingkat dasar di komunitas f7 tahun 1990an. Saat itu dia dikenal sebagai leader kelompok mahasiswa yang cukup elitis di Jogja, yakni Tanah Merdeka, berapa kali tampil di teve local. Betapapun setelah itu waktu telah membentuk jiwa leadership Anies, setelah teruji kemampuannya di saat krisis sebagai seorang leader mahasiswa di senat mahasiswa ugm yang telah menempatkan dia sebagai salah satu leader mahasiswa yang disegani dalam level nasional. Saat beberapa temannya mengambil peluang dimana kondisi politis sangat memungkinkan untuk melakukan lompatan karir, baik jabatan politis, birokrasi maupun bisnis, saat banyak yang mempertanyakan dimana gerangan seorang Anies, yang tampak tidak tertarik dengan hal-hal jangka pendek sebagaimana yang didapatkan teman-teman lainnya. Saat ada beberapa teman yang karena perubahan situasi politik, bisa menempatkannya menjadi komisaris di sebuah bumn, atau seorang menteri, ataupun seorang anggota legislative, maka dia justru menghabiskan waktu untuk ambil kuliah s2 dan s3 di Maryland University, Amrik. Dan saat ini, ketika kembali ke tanah air maka seorang Anies telah memiliki justifikasi yang cukup mentereng sebagai seorang intelektual, satu2nya yang masuk dalam 100 most intellectual in the world versi Amrik, maka ARB pun tidak sulit untuk menemukan posisinya yang pas. Apalagi dengan jabatan barunya sebagai rector di universitas Paramadina, dalam usianya yang masih sangat muda, 38 tahun.

Acara berakhir jam 1400, dan secara resmi telah ditutup, namun masih banyak yang menghabiskan waktu di tempat itu sampai beberap jam setelahnya, maklum acara ini adalah syawalan. Amien adikku langsung pulang ke Jogja.

Sedangkan banyak teman-teman Jogja yang masih bertahan disini karena malam harinya masih ada acara diskusi. Aku ikut rombongan ke Tebet, dimana teman-teman menempati salah satu kantornya mas NM dan Mas AR, yakni Bright Institute, di Kuningan sebagai base camp. Aku semobil bersama dengan Lukman, seorang teman yang sekaligus mentor kami saat kuliah, sekarang hijrah dari dosen di Jakarta ke Solo, DDM, seorang teman yang kuliah di salah satu universitas swasta di Jogja, juga melakukan hijrah akademis sehingga mencapai level doctor syariah, tinggal di kota Malang, dia adalah suaminya Inti, temanku sekampung saat smp. Lalu Ahmad Niam teman dari ftp ugm. Rombongan teman lain menggunakan bis, menuju lokasi yang sama. Ngobrol dengan teman2 seperti ini selalu menginspirasi. Bertemu dan ngobrol dengan mantan mentor saat mahasiswa seperti Lukman misalnya, tentu tidak setiap saat bisa terjadi. Sempat ngobrol sama Lukman soal film Laskar Pelangi, tentang pesan-pesan moral yang kami tangkap dari film itu.

Berada di suatu tempat dimana berkumpul sekitar 40an orang, yang masa lalunya memiliki tingkat concern yang sama dalam wadah perjuangan yang sama, selama beberapa jam, aku menemukan suasana yang mengembalikan memoriku beberapa tahun lalu saat di Jogja. Di masa lalu, saat-saat kumpul dengan teman-teman ini, saat berkumpul, entah dalam jumlah berapapun, pasti ada saja hal penting yang dibicarakan. Aku membayangkan bahwa sampai saat inipun kalo teman-teman sering berkumpul seperti ini maka pasti akan menghasilkan banyak output, kalau tidak berupa hal kongkrit, ya minimal sesuatu yang ada di awang-awang pun tetap kita anggap sebagai sesuatu bentuk abstraksi yang kongkrit, meski abstrak tetap saja dianggap kongkrit. Seperti kali ini, yang ngumpul di rumah ini mungkin ada sekitar 40 an orang, terdiri dari teman2 dari Jogja, Semarang dan Purwokerto. Di setiap ruangan ada forum diskusi yang kesemuanya asyik membahas sesuatu hal yang entah apa itu. Di salah kamar atas, aku masuk ke ruang diskursus yang disitu ada Harjono, seorang Caleg dpr ri dari partai golkar, mantan ketua jamaah shalahuddin ugm, Ahmad Syafiq, yang dimasa mahasiswa dikenal tangan kanannya pak Amien Rais, mas Faried ketua jaringan wartawan dari Jogja, dan Defiyan Cori yang di masanya saat ini masih tampak masih kondisten dan idealis dengan dunianya. Kami mendiskusikan tentang situasi politik kontemporer dan Teori-teori demokrasi, soal krisis energy global, soal korupsi dan lain sebagainya. Agak lucu juga, Harjono yang mantan pemimpin jamaah shalahuddin, saat ini menjadi seorang caleg partai yang dulu sama-sama kita tentang habis-habisan, sudah tampak memposisikan diri benar-benar sebagai seorang caleg. Tampak tangkas mempresentasikan teori-teori dan pemahamannya tentang angka-angka dalam apbn, yang pemahamannya tampak meningkat pesat setelah dia menjadi caleg. Mas Faried dan Syafiq, apalagi Defi, seperti yang kukenal selama ini, masih tampak kritis dengan situasi yang ada.

Menjelang sore hari 40 orang yang ada dikumpulkan oleh mas Awalil untuk saling share dalam satu forum. Agak kaget juga ternyata yang hadir saat ini adalah mereka para saksi sejarah penting dalam terbentuknya jaringan f7, seperti mas Khaeron AR dan teman-teman seangkatannya. Acara yang awalnya hanya untuk saling mengenal, tapi ternyata banyak mengungkap sejarah terbentuknya komunitas ini, yang tidak banyak orang mengetahui detil peristiwanya.

Malam hari kami melanjutkan diskusi ke Kuningan, yang malam ini dihadiri oleh sekitar 70an orang. Bang ZH, seorang anggota dpr dari fraksi PAN menyebut bahwa sejak siang hari tadi sudah berkumpul banyak orang, sekitar 1000an dan dilanjutkan malam ini, maka satu-satunya actor adalah AR. “Kalau di jaman Pak Harto, gampang saja membubarkan acara seperti ini. Culik saja AR, maka acara sejak tadi siang sampai malam ini gak akan ada”, katanya. “Tapi jaman sekarang, siapa yang akan nangkap AR, biaya untuk nangkap aja lebih besar dari hasilnya, malah bikin repot yang nangkap aja”, tambahnya, disambut ger oleh hadirin. Fahmi Radhy, dosen feugm, masih saja konsisten menyampaikan keprihatinan pada kondisi ekonomi Indonesia dewasa ini. Dan sebagian besar yang berbicara pada forum ini memang lebih banyak menyampaikan pesan keprihatinan. Sayang, seorang alumni yang selama ini kita kenal vokal dan konsisten seperti mas Revrisond Baswir tidak hadir malam ini.

Malam habis acara aku ngumpul bersama dengan teman-teman dari Jogja, yakni FW yang saat ini aktif di sebuah lsm di Jogja, IS anggota dprd Jogja dari fraksi PAN, Rimbananto ketua KPUD Jogja, juga ANB dan beberapa teman lain. Kami menginap di wisma diy, diantara dari kami adalah pejabat daerah. Malam hari berlanjut diskusi sampai larut malam. Lalu keesokan harinya kami menelepon salah satu teman, ARM, yang asli di sebuah desa di lereng Gunung Merapi. Kami bersama-sama melanjutkan kebersamaan ke rumah Bukhari, salah satu teman, di Depok, yang saat ini terjun total sebagai entrepreneur dalam bisnis gas. Dari rumah Bukhari berlanjut ke rumah Musyafak, dan terakhir ke rumah Arbain. Imam Suja’i bilang bahwa sungguh menderita orang Depok yang bekerja di Jakarta seperti Arbain, karena waktu tempuh perjalanan yang sangat panjang dan melelahkan.

Selepas dari Depok tinggal kami berdua, aku dan Aris. Yang lain naik taksi ke Bandara karena harus mengejar flight jam 1700. Aku mampir sejenak di rumah ARM, yang isterinya, DT, adalah teman satu angkatanku di feugm. Dia bilang sempat melihatku waktu nonton film Laskar Pelangi di XXI, namun tidak sempat menyapa karena crowded. Kami sempat mendiskusikan tentang film ini. Sebagiamana tadi malam, aku juga sempat diskusi dengan Lukman Hakim Hassan soal film ini.

Menjelang magrib aku pulang ke rumah. Rasanya mendadak sepi, setelah menjalani kebersamaan selama 35 jam bersama teman-teman dari Jogja. Selama 35 jam, terasa berapa rasa kangen dengan suasana yang pernah kita rasakan bersama di Jogja tertumpah, dengan bercanda bersama, berekspresi bersama, dengan latar belakang saat ini yang berbeda-beda profesi, namun sama-sama merasakan kerinduan yang sama dengan masa lalu. Kebersamaan itulah yang kita rindukan. Diskusi-diskusi yang terbangun itulah yang kita rindukan. Rasa idealisme itulah yang kita rindukan. Ketulusan dan persahabatan itulah yang kita rindukan. Obrolan-obrolan yang menyenangkan itulah yang kita rindukan. Ketawa lepas itulah yang kita rindukan. Aktivitas-aktivitas perjuangan itulah yang kita rindukan.

Tidak ada komentar: