Minggu, 16 Maret 2008

Informasi itu...

Siang ini, sekitar pukul 11.00 BBWI, 10 Maret 2008, di tengah2 aktivitasku menyusun analisa keuangan pengajuan investasi kredit, tiba2 dering hpku berbunyi. Aku lihat nomor pada hp emang tidak aku catat dalam phonebook hpku, namun aku tahu itu adalah mbak DW. Ya, mbak DW, seorang wanita yang beberapa bulan terakhir ini menjadikanku sebagai ajang berkeluh kesah, curhat, ataupun menempatkanku sebagai sumber informasi. Pada awal-awal pertemuanku dulu dengannya, tampak adanya raut keputusaan, dan wajah serta suara yang kurang optimis untuk terhadap masa depannya. Dalam banyak perbincangan yang kami lakukan melalui telepon, aku lebih banyak menguatkan hatinya agar tegar dan sabar dalam menghadapi cobaan. “Percayalah mbak, betapapun berat cobaan yang mbak alami saat ini, yakinlah bahwa itu semua akan berakhir. Dan dengan cobaan yang semakin berat maka berbagai cobaan lainnya akan menjadi terasa ringan”, kataku meyakinkan. “Cobaan terasa berat karena kita menganggap bahwa masalah itu berat. Jadi berat tidaknya lebih pada pikiran kita sendiri. Masalahnya sendiri mungkin lebih netral dan wajar, tetapi kita olah sedemikian rupa dan kita dramatisir menjadi menakutkan diri kita sendiri. Itulah yang perlu kita atasi”, kataku menambahkan. Itu kejadian pada pertemuan pertama, dan memang hanya sekali itu kita ketemu untuk sebuah ajang curhat, di sebuah mall di Jakarta Timur. Aku masih ingat betul, bahwa kata-kata menguatkan hatinya selalu aku sampaikan kepadanya pada waktu2 berikutnya, tentu saja melalui telepon.

Jadi, dering hp di pagi ini, sekitar jam 10.00ini cukup mengagetkanku. Ucapannya singkat saja,”Pak, bisa telepon balik ke saya, jam 1 siang nanti? Ada yang mau saya sampaikan, hal yang sangat penting,” katanya. Tapi ternyata, sebelum tiba waktunya, sekitar setengah jam kemudian, dia menelepon lagi. “Pak, bisakah bapak menelepon saya sekarang, mungkin sebaiknya pake telepon kantor saja, karena ceritanya agak panjang”, katanya.

Aku kemudian langsung menelepon balik menggunakan hpku. Ternyata informasi yang disampaikan, menurutku sangat mengagetkan. “Pak, saya mohon, bapak bersumpah bahwa jangan dulu menyebarkan informasi ini ke siapa2 dulu. Terus terang saya sangat takut untuk menginformasikan hal ini kepada bapak”, katanya mengawalisebuah permintaan. “Saya harus pastikan dulu, demi Tuhan ya pak, jangan bilang ke siapa2 dulu. Tadi barusan ada telepon dari nomor 021-6917702. Menurutku sih dari Jakarta Kota pak. Itu suruhannya HN, beberapa kali menelepon ke Bang JM. Karena Bang JM tidak ada di rumah, dan hp itu sedang saya bawa maka saya pura2 jadi Bang JM. Jadi Pak, ceritanya, HN ini sekarang sedang menyuruh Bang JM untuk membunuh bapak, dengan imbalan Rp. 50 juta”, katanya. Kemudian secara panjang lebar DW menceritakan bahwa suaminya, Bang JM sendiri saat ini sudah dalam tahap menuju pada proses kesadaran untuk menilai siapa yang benar dan siapa yang salah, siapa yang jadi korban, dan siapa itu HN. “Saya sudah bicara panjang lebar dengan Bang JM pak. Dia sendiri saat ini ingin bicara dengan bapak dari hati ke hati. Tapi saya tidak tahu bagaimana caranya dan saya tidak ingin dianggap lancang untuk menghubungkan bapak dengan bang JM”, katanya. Ini tentu saja bisa dipahami mengingat bagaimana keterkaitan JM denganku. Dia adalah teman intim HN yang kesekian kalinya setelah cerai denganku, yang katanya mereka sudah kawin siri. “Saya tahu dari Bang JM bahwa HN telah menyuruhnya untuk membunuh bapak dengan imbalan Rp. 50 juta rupiah”. Kata DW, rupanya saat ini HN telah kalut dengan perkara hukum yang rupanya.

“Bapak harus bekerjasama dengan Bank JM”, katanya tiba-tiba. “Ini ide dan keinginan saya. Tapi saya tidak ingin dianggap lancang, terutama oleh Bang JM, karena menghubungkan bapak dengannnya. Dan jangan bilang kepadanya bahwa bapak bisa berhubungan dengan dia karena informasi dariku ya pak. Bapak harus pura-pura tidak mengenal diriku di depannya”, pintanya sekali lagi. “Karena saya sangat takut, informasi ini sangat urgen, dan saya takut bahwa informasi yang saya sampaikan ke bapak diketahui oleh orang2 yang terlibat dalam rencana pembunuhan kepada bapak. Tapi sungguh, saya tidak bisa berdiam diri untuk tidak menyampaikan hal ini kepada bapak karena informasi yang sangat penting bagi bapak, katanya. Akhirnya dia memberikan nomor telepon JM kepadaku, yakni nomor 0813xxx.

“Bang JM sekarang udah mulai terbuka dengan diriku pak. Termasuk menyampaikan pembicaraan dengan HN, perihal keinginan dan permintaan HN agar Bang Jimy mau membunuh bapak, dengan imbalan Rp 50 juta tadi. Bang JM sendiri sudah sangat muak dengan perilaku dan sifat asli HN yang sangat sadis dan menyeramkan sebagai seorang wanita. Hidupnya dipenuhi dendam ke seseorang, terutama kepada bapak. Saya takut untuk menyampaikan hal ini karena menyangkut rencana pembunuhan, namun saya tidak bisa berdiam diri untuk menyampaikan kepada bapak, mengingat saya mengenal bapak dan teringat dengan kebaikan bapak, serta kejahatan HN. Namun jangan sampai informasi ini diketahui oleh HN, bahwa saya menyampaikannya ke Bapak, karena saya takut menjadi sasaran HN. Dia pernah mengancam dan mengintimidasi saya, yang katanya mau mengirimkan preman-preman kesini”, begitu kata-kata mengair dari DW. Begitu mengalir informasi sepenting ini. Saya mencoba untuk tetap tenang dalam pembicaraan itu.

Sekian lama mengenal HN dalam ikatan perkawinan yang lebih banyak rasa tidak comfortnya (tapi itu masa lalu yang tidak perlu dibahas lagi tentunya), saya mengenal betul seperti apa dan bagaimana seorang HN akan berusaha keras untuk melaksanakan apa yang telah menjadi maunya. Apapun akan dilaksakanannya, tidak peduli caranya benar atau tidak, yang penting tujuan tercapai, titik. Dan sekarang ini yang menjadi tujuan dan sasarannya adalah saya. Dengan adanya informasi tadi, terus terang aku emang perlu dan harus hati-hati, waspada. Feelingku bahwa dia suatu saat akan mencelakai diriku emang seringkali terlintas dalam benakku. Namun masalah hidup mati seseorang, maslaah nyawa, aku percaya bahwa 100% adalah soal taqdir. Kalau memang aku belum ditaqdirkan untuk dipanggil olehNYA, maka tidak ada seorang makhlukpun yang bisa mencabut nyawa seseorang, tanpa seijin Yang Memiliki nyawa tersebut. Namun aku tidak tahu pasti, akan seperti apa taqdirku, karena itu adalah rahasia Illahi. Apakah aku nanti ditaqdirkan akan dipanggil olehNYA dalam usia tua, saat bisa bercanda dengan cucu-cucu, menikmati kehidupan di usia tua dengan ketenangan dan ibadah, dan seterusnya, siapakah yang tahu itu? Ataukah aku emang ditaqdirkan untuk dipanggilNYA dengan melalui sebuah korban pertikaian dan konflik dengan seseorang yang pernah sangat dekat dan saat ini sangat membenciku dan sangat ingin bernafsu menghancurkan, dan bahkan berupaya membunuhku, akupun juga tidak tahu itu. Tidak lain dan tidak bukan, persoalannya adalah soal kesiapan untuk menghadapi waktu kapan saat kita dipanggil tersebut. Apakah saat itu kita sudah siap atau belum, itu yang lebih penting. Siap tidak siap, suka tidak suka, aku harus tahu bahwa itu akan tiba, dan harus dipersiapkan dengan dini. Karena kehidupan setelah saat ini adalah justru kehidupan yang jauh lebih kekal dan abadi. Apakah aku akan membiarkan diriku dalam suatu tempat yang tidak menyenangkan, hanya karena sebuah nafsu dan godaan sesaat, kenikmatan sekejap dan harus siap dengan konsekuensi menghadapi pengadilan abadi yang kekal? Jadi bagaimanapun informasi ini sangatlah penting dan sangat berguna bagiku. Karena aku akan waspada dengan segala sesuatunya, dan aku menjadi berpikir dan mulai bertindak dengan persoalan kesiapan untuk tiba waktunya diriku dipanggil olehNYA, entah ini ada kaitannya dengan informasi ini atau tidak.

Malem, sepulang dari kantor aku langsung mampir ke rumah TN, setelah aku mengambil alat rekaman ACER di rumah. Aku sempat mencari-cari benda yang sangat berguna, tapi sudah lama tidak aku gunakan tersebut. Ketemu. Aku langsung menuju kost TN, adikku. HD dan SF aku ajak serta. Hari-hari ini emang aku merasa begitu panjang dan aku harus peduli dengan keselamatan dan masa depanku, masa depan anak-anakku. Aku masih sangat concern untuk mendampingi mereka dalam proses pendewasaan mereka, dalam proses pendidikan mereka karena aku adalah orangtua yang mendapatkan amanah untuk mendidiknya menjadi anak yang sholeh dan sholehah. Sepulang mereka mengAJ ke Masjid Al Muqorobbin, mereka aku ajak ke kost TN.

Sampai di tempat TN, aku ceritakan adanya informasi rencana pembunuhan terhadap diriku oleh HN dengan membyar sejumlah uang besar kepada seorang pembunuh bayaran. Mendengar tersebut TN kaget, tapi toh berkata begini,”Ya itulah, saya sudah menyangka bahwa seorang seperti HN akan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Orang seperti dia emang perlu dan harus dijauhi secara lahir maupun batin. Makanya sejak dahulu aku dan keluarga sarankan ke om untuk pindah rumah aja. Mendingan kost, dan ikhlaskan soal harta benda”, katanya.

Bicara soal harta benda, ya aku masih ingat, bagiku emang soal harta tidak begitu menarik untuk dibicarakan sampai pada tingkat tertentu. Namun kalau seseorang sudah berperilaku sangat tidak menghargai prinsip-prinsip keadilan maka teta pada batas-batas toleransi untuk itu. Sesaat sebelum cerai, aku masih ingat betapa liciknya dia mendebet uang pinjaman kantorku yang aku rencanakan untuk beli mobil. Saat itu, dia memaksakan untuk menjual 2 buah rumah dengan terburu-buru, dan mendebit rekening pinjamanku, dan meminta kunci mobil Baleno. Total uang atas aset-aset yang dikuasainya tersebut sekitar Rp. 400 jutaan. Dan saat sekarang tinggal inilah satu-satunya rumah tinggal (dan ada 1 buah Ruko lagi-red), masihkan aku harus mengalah dan menunjukkan adanya sikap terus mengalah untuk keinginan dan nafsunya yang seperti tidak ada batasnya? Belum lagi tentu saja aku masih harus memikirkan untuk pengembalian uang pinjaman kantorku untuk pembelian rumah ini, yang entah sampai kapan jatuh temponya yang setiap bulannya dialokasikan dari uang gAJku setiap bulannya.

Malam itu aku mencoba untuk menghubungi mbak DW lagi, untuk konfirmasi soal informasi rencana jahat HN untuk melenyapkan nyawa seseorang dengan menggunakan jasa pembunuh bayaran. Kuanggap informasi tadi penting untuk direkam, karena informasi mendadak siang tadi tentu saja tidak aku rekam karena emang tidak ada persiapan untuk itu. Setelah beberapa kali mencoba menghubungi mbak DW, dan tdak bisa terhubung. “Ada suaminya kali, sehingga dia takut untuk menerima telepon”, kata TN. Akhirnya, satu jam kemudian telepon bisa nyambung, dan pembicaraan lebih detil dapat aku rekam, mengenai rencana HN yang meminta tolong Bang JM, suaminya, untuk melenyapkanku. Sekitar 25 menit pembicaraan dapat aku rekam. Sebuah informasi yang berharga dan berhasil aku dokumentasikan. Di tengah-tengah kami merekam pembicaraan dengan speakerphone ku, ada telepon masuk ke HP TN, yang ternyata adalah dari Amin. Rupanya, tanpa sepengetahuanku, TN sudah menyebarkan informasi ini ke keluarga inti. Setelah itu Amin dan mBak Nunung juga meneleponku.

Tidak ada komentar: