Minggu, 30 Maret 2008

Perjalanan ke Jogja

Kamis, 27 Maret 2008, sekitar jam 10.00 handphoneku berdering. Tersenyum ku melihat nama yang tertera di layer hpku, Hudasyifa. Segera kuangkat. Huda memberitahukan bahwa listrik di rumah diputus oleh petugas dari PLN. Katanya menunggak 4 bulan, sekitar Rp. 2 jutaan. Aku menenangkan dan membesarkan hati mereka. “Tidak apa-apa sayang. Kita akan segera menempati rumah yang lebih tenang, untuk bermain dan untuk belajar”, kataku. Yah, hari ini akhirnya tiba juga pemutusan listrik rumah kenangan, dan hari ini juga aku akan berpikir untuk mencari rumah kontrakan baru. Yah, inilah rumah kenangan. Rumah pertama yang kami beli dengan berbagai mimpi dan rencana masa depan. Rumah pertama yang kami bangun dengan mengerahkan segenap resources kami baik finansial maupun non-finansial. Rumah yang penuh kenangan karena disinilah kami awal-awal menempati rumah sendiri, dengan segala kebebasan dan kewenangan kami, tidak seperti sebelumnya dimana kami hanya kontrak rumah. Sekilas ku teringat, rumah kontrakan kami pertama di Ciledug, sekitar 10 bulan, mengontrak lagi ke Mampang Prapatan selama 10 bulan, selanjutnya mengontrak rumah di Jatiasih selama 2 tahun. Setelah itu kami beli rumah yang lumayan tua dan kurang terawat, lalu kami renovasi dengan melibatkan mimpi-mimpi kami untuk masa depan. Setelah rumah ini, kami sempat beli rumah lagi di Jatiasih. Rumah yang menurutku juga layak untuk ditempati, di kompleks telkom, tidak jauh dari gerbang tol yang baru dibangun di Jatiasih. Lingkungan rumah ini cukup tenang dan nyaman, dekat masjid, dan rumahnya sudah berkonstruksi dua lantai. Kemudian kami beli rumah lagi di Bekasi Timur, kompleks Graha Harapan. Rumahnya kecil, tapi lingkungannya juga kayaknya tidak terlalu jelek. Dekat masjid, dekat fitness centre dan kolam renang. Tidak jauh dari kompleks tersebut dibangun perumahan besar, Grand Wisata dimana disediakan berbagai fasilitas dan akses tol baru dari perumahan tersebut. Properti terakhir yang kami beli adalah sebuah ruko di Bekasi Plaxa, tidak jauh dari terminal Bekasi. Sempat pula kami beli rumah besar di Taman Kebayoran Bekasi dengan harga miring, namun rumah ini adalah titipan pembelian seorang saudara kami yang saat ini berdomisili di salah satu negara Eropa. Dua rumah kami, yakni yang ada di kompleks Telkom Jatiasih dan Graha Harapan Bekasi Timur dijual oleh HN menjelang divorce. Sebuah pengingkaran dari kesepakatan yang telah kami buat di depan pengacaranya, Haji Sugeng, SH. Bukan itu saja, Baleno juga diminta, sedangkan uang pinjaman dari kantor yang kumaksudkan untuk pembelian mobilpun, turut dimintanya. Awalnya, alasannya untuk membeli rumah di Jakarta. Namun, ya..., begitulah ceritanya. Aku tidak bermaksud mengungkit cerita-cerita yang tidak elegan ini, karena bagaimanapun ini sudah terjadi dan tiada gunanya untuk mengungkitnya. Hanya saja, kalaulah ini bisa menjadi bahan introspeksi dan pelajaran bagi kita bahwa apapun yang kita lakukan tentu akan kita pertanggungjawabkan di kemudian hari, apakah itu di dunia atau di akhirat. Dan mengingat hal ini, seringkali aku justru membuatku bersyukur atas apa yang terjadi.

Setelah aku terima telepon dari HudaSyifa, terus terang aku tidak concern lagi di kantor. Finishing touch analisa kredit investasi yang sedang aku susun, beberapa kali mengalami koreksi untuk hal-hal yang sebenarnya tidak perlu terjadi kesalahan. Tapi ya itulah. Aku ingin segera pulang. Aku ingin segera ketemu anak-anak dan kuingin menghiburnya. Ku ingin mengajaknya main-main di tempat-tempat yang mereka menginginkannya.

Tepat jami 17.00, saat lagu ebiet pertanda jam kantor telah usai, aku tidak membuang waktu untuk segera pulang. Jam 18.00 sampai di rumah. Seperti telah kami rencanakan, hari ini, sepulang dari sekolah anak-anak menunggu di kost adikku, TN. Huda yang ada di kamar, kulihat sudah mandi, berteraiak gembira melihatku pulang,”Dik Paaaa, Papa pulang….”, teriaknya. Syifa yang baru saja mandi pun berlarian menghamburku dengan gembira,”Papa...papa....tadi kami ...... dst”. Mereka ramai berceloteh, cerita tentang berbagai hal yang terhadi hari ini.

Malam ini anak-anak kuajak nonton film di XXI Grandmall Bekasi. Sebenarnya aku ingin mengajak mereka nonton Spiderwick. Namun film ternyata udah tidak lagi diputar. Kami sempat berdebat. Aku ingin nonton film Ayat-ayat Cinta. Anak-anak ingin nonton film horror, 40 Hari Bangkitnya Pocong. Betapapun, aku sudah bertekad untuk menghapus keinginan mereka untuk nonton film-film seperti ini, sebuah warisan kebiasaan dan hobbi dari ibunya. Dibandingkan dengan novelnya, ada plus minus antara cerita di novel dengan di layar lebar, namun kuakui, banyak alur yang terputus. Aku bayangkan, seandainya aku belum baca novelnya tentu aku akan bingung karena tidak tahu filosofi dan tema dari film tersebut. Namun harus diakui, film ini telah menyihir public penikmat film di Indonesia. Bahkan besok ini kabarnya SBY dan jajarannya akan menonton film ini di XXI Plaza Indonesia.Sepulang nonton, aku mempersiapkan pakaian yang perlu kami bawa untuk pulang kampong esoknya. Aku kembali ke rumah sama TN, dengan beberapa lilin untuk penerangan. Kubawa dua buah tas, untukku dan untuk anak-anakku. Malam ini kami tidur di kost adikku. Sekitar jam 01.00 Huda bangun. Katanya dia sudah tidak sabar untuk menanti esok hari, meikmati perjalananan naik kereta api. “I’m coming Jogja…, katanya”.

Jum’at pagi, 28 Maret 2008, kami memulai perjalanan ke Jogja dengan cukup lancar. Jam 07.00 tepat Kereta Api Senja Utama Jogjakarta berangkat mambawa kami melintasi rel yang membujur dari Jakarta ke Jogjakarta. Hampir sepanjang perjalanan kami tidak tidur. Kami menikmati perjalanan, dengan cerita, bercanda, berjalan-jalan diantara gerbong kami dengan gerbong restorasi. Sepanjang perjalanan, celoteh mereka seringkali membuatku tersenyum. Mereka tampak begitu menikmati perjalanan dan celoteh-celoteh mereka terasa sangat menyegarkan suasana menjadi tambah menyenangkan. Betapa berbeda aura yang ditimbulkan oleh anak-anak ini dibandingkan dengan aura yang dimunculkan oleh mamanya. Ku teringat, dalam beberapa kali perjalanan wisata yang semestinya menyenangkan, Ke Bali, ke Malang, ke Puncak dan lainnya, justru pertengakaran demi pertengkaran, perdebatan demi perdebatan, dan ego demi ego, yang menjadi topik pembicaraan. Suasana yang semestinya menyenangkan, yang justru dirusak oleh egosentrisme kita sendiri. Ku merasa duniaku dengan dia memang sedemikian jauh, dan ini kurasakan dalam waktu yang mestinya bisa kudeteksi semenjak dini sehingga bisa dikakukan mitigasi. Tapi yah, tidak ada kata terlambat. Bagaimanapun penyesalan kita rasakan toh waktu tidak bisa terulang. Dan introspeksi atas apa yang kita lakukan, refleksi atas apa yang terjadi, dan hikmah apa yang kita dapatkan, semoga akan bermanfaat di masa mendatang. Apa yang terjadi saat ini adalah dampak dan konsekuensi atas apa yang kita lakukan dan apa yang kita putuskan di masa lalu. Dan apa yang kita peroleh di masa yang akan datang adalah dampak, akibat, dan konsekuensi atas pilihan-pilihan yang kita buat dan kita putuskan pada hari ini. Betapapun berat dampak yang kita rasakan hari ini atas ketidak-hatian kita di masa lalu, maka hikmah itulah yang harus kita gapai untuk mendapatkan kemuliaan nilai di masa depan.

Setiap kali kereta api berhenti, anak-anak mengajak untuk meikmati semilir angin di pintu, karena di dalam gerbong agak panas udaranya saat kereta berhenti. Sebenarnya aku tidak tega untuk mengajak mereka naik kereta fajar utama yang tidak pakai AC tersebut. Masa kecil mereka dapat dikata agak berbeda dengan diriku. Mereka termasuk tidak tahan untuk tidur tanpa AC ataupun suasana perjalanan tanpa AC. Namun, beberapa waktu akhir-akhir ini mereka begitu pengertian dan seperti bisa memaklumi mengenai apa yang terjadi. Sehingga sekarang ini mereka tampak sudah bisa menikmati tidur di kamarku yang tidak berAC, dan mereka tidak suka tidur di kamar mamanya yang berAC. Di sebuah stasiun, sekitar Cirebon kita sempat nyaris pindah kereta ke Argo Dwipangga setelah dipersilakan oleh kondektur, namun kurang cepat untuk mengambil tas karena kereta keburu jalan.

Jam 15.30 Kereta Api berhenti di sebuah stasiun, saat kita bertiga sama-sama tertidur. Huda yang pertama kali bangun,”Papa..., udah nyampe...cepat kita harus turun..”. Mereka tampak gembira dan ceria melihat stasiun Tugu sudah di depan mata. Sempat kubuka handphoneku, dari Bapak Jogja. Beliau sudah kuanggap seperti bapakku sendiri. Yah, hitung-hitung sebagai pengganti bapakku yang telah tiada, yang saat wafatnya aku tidak sempat pulang dan mengantarkan ke kubur. Sikap-sikap beliau yang bijak membuatku merasa nyaman untuk menganggapnya seperti bapakku sendiri. Dan beliau juga seringkali menegaskan bahwa aku sudah dianggap seperti anaknya sendiri, sebagimana Ari dan Amik. “Yah, kuanggap mas TF seperti anakku sendiri. Hitung-hitung sebagai pengganti anakku yang telah hilang. Anak pertama yang yang aku gagal mendidiknya”, kata beliau. Itu sering sekali dikatakannya. Beliau mengirim pesan melalui sms,”Mas, jadi pulang ke Jogja nggak? Jam berapa? Sebaiknya kami jemput di stasiun ya..”. Aku tersenyum. Mungkin Bapak mengira kami jam segini masih di Jakarta karena semestinya jam segini aku masih di kantor. Aku membalas sms, menyampaikan bahwa kami nyampe di Kadipaten sekitar Maghrib.

Dari stasiun kami sempat makan soto sulung, yang dulu sempat menjadi kesukaanku saat di station menunggu kereta ataupun sepulang dari perjalanan dari luar kota. Habis itu jalan-jalan di Malioboro, membeli baju buat anak-anak, sekaligus untuk perlengkapan mandi, susu dan sebagainya. Dari Malioboro kami naik becak ke Kadipaten. Aku bisa merasakan, tentunya anak-anak capek dalam perjalanan. Namun mereka tampak ceria dan menikmati perjalanan, seolah tidak merasakan capek dan panasnya suasana. Kulihat ada beberapa perbedaan suasana Malioboro dulu dan sekarang. Sudah ada angkutan semacam busway di Jakarta, yakni TransJogja. Haltenya khas, dan bisnya berAC. Tapi suasana secra umum tidak banyak berubah. Dan mungkin akan lebih baik jika Malioboro dipertahankan seperti apa adanya dan dipertahankan suasana klasik pada ruas-ruas jalannya. Karena inilah yang membuat Malioboro terasa khas, dan tidak ada di tempat lainnya.

Tidak ada komentar: