Kamis, 27 Maret 2008

Pelajaran dari sebuah Novel Islami

Dua hari ini menamatkan dua buah novel yang sedang mega best-seller saat ini, yakni Ayat-ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih. Aku agak terlambat membaca novel-novel ini, yang terus terang aku baca setelah banyak orang membicarakan film dan novelnya yang laris manis. Selama ini kalau ke bookstore aku jarang sekali meu menengok counter buku-buku novel Indonesia.

Saat membaca Ayat-ayat Cinta, --yang saat ini layar lebarnya lagi puncaknya, menyedot perhatian publik dan mencatat rekon penonton bioskop di Indonesia--, terus terang aku tidak terlalu terkesan dengan film maupun novel ini. Ceritanya terlalu terfokus pada satu orang, yakni Fahri, yang demikian perfect menampilkan karakter dan performanya. Seorang yang cerdas, alim, berprestasi, tampan, punya social relationship yang luas, akademis, tidak pernah bermasalah dengan keuangan, dicintai teman-temannya dan tentu saja, dipuja oleh banyak wanita. Jalan hidupnya begitu lurus, dan hanya sedikit di ujung cerita menghadapi masalah karena difitnah seseorang, lalu berakhir dengan happy ending, bersama dua orang isteri yang cantik dan kaya.

Justru pada novel satunya yang tidak sepopuler Ayat-ayat Cinta diatas, yang berjudul Ketika Cinta Bertasbih, terus terang saja aku sangat terkesan. Beberapa kalil aku berhenti membaca beberapa saat karena menghayati alur cerita dan menikmati indahnya bait-bait tulisan dari pengarangnya, Habiburrahman El Shirazy. Tokoh dalam cerita, Azzam, adalah seorang mahasiswa di Al Azhar University Cairo, yang selama masa kuliahnya tidak bisa dikategorikan sebagai mahasiswa gaul dan populer, tidak dikenal sebagai mahasiswa yang dibanggakan prestasi akademisnya maupun prestasinya yang lain. Sembilan tahun waktu yang dihabiskan untuk kuliah di Mesir, dan tidak lulus-lulus untuk sekadar S1. Nilainya pas-pasan kecuali di tahun pertama, saat bapaknya masih hidup. Berubahnya orientasi hidup dan kuliah dia terjadi pada tahun pertama dia kuliah, saat bapaknya meninggal dunia, dan setelah itu setiap harinya disibukkan dengan aktivitas bisnisnya membuat bakso dan tempe.

Terus terang saja, ada banyak aspek latar belakang cerita yang bagiku sangat menyentuh, dan terus terang buku ini telah mengingatkanku pada suatu keluarga besar yang kukagumi dalam upayanya untuk meletakkan dasar-dasar dan fondasi bagi generasi-generasi turunan mereka, agar bisa bermanfaat bagi sebanyak mungkin umat. Ada beberapa benang merah yang nyambung dalam fondasi orientasi hidup dan karakter cerita pada novel diatas dengan beliau-beliau yang kusebutkan diatas. Mereka, para orangtuanya yang telah memberikan contoh teladan yang baik bagi anak-anak dan cucu-cucunya, yang mestinya hal ini dapat memacu semangat bagi anak dan cucu-cucu mereka untuk melakukan refleksi, napak tilas dan upaya meneruskan jejak langkah yang telah dilakukan oleh pendahulu-pendahulu mereka dalam konteks kekinian, yang tentu saja jauh lebih kompleks. Aku ingin sedikit cerita tentang keluarga yang kukenal secara sekilas itu, yakni Bani Mukhtar dan Bani Musthofa maupun beberapa Bani diatasnya lagi, semisal Bani Nur Muhammad. Mereka cukup populer untuk kota dan komunitas kecilku di kota kelahiranku yakni Wonogiri. Tidak ada maksud apa-apa saat aku menceritakan tentang mereka, melainkan aku hanya ingin agar dengan cerita ini kami akan mengingat mereka, mengingat upaya dan jerih payah mereka, mengingat pesan-pesan moral mereka, dan meneruskan jejak langkah mereka.

Masyarakat di kota kecil kami telah mengenal keluarga besar itu yang terdiri dari keluarga dimana terdiri dari banyak orang yang menonjol tingkat keshalihannya, para kyai, ustadz, para alim ulama yang berada pada barisan depan dalam menyebarkan Islam dan dakwah, dari dulu sampai sekarang di daerah kami. Di tiap masa generasi keluarganya, seolah tidak pernah habis munculnya orang-orang yang masuk dalam kategori orang shalih, kyai ataupun alim ulama, ustadz muda, pemuka agama dan penyebar agama Islam. Aku ingat, pernah suatu ketika mendampingi salah satu dari mereka, saat melakukan ceramah-ceramah ke segenap pelosok terpencil, tiap hari selama sebulan penuh saat ramadhan. Beberapa kali aku diajak beliau untuk menempuh perjalanan panjang keluar masuk hutan, mengeberangi sungai untuk sekadar memberikan ceramah yang membangun kehidupan keagamaan di tiap desa yang jauh dari peradaban. Beliau sempat intensif untuk membangun sebuah masjid besar di sebuah desa terpencil yang harus dicapai dengan menembus hutan. Saat-saat mendampingi beliau, kurasakan betapa masyarakat terhalang oleh sungai dan tidak ada jalan darat untuk menuju desa tersebut. Beliau sangat dicintai oleh masyarakat.

Kesamaan background cerita Ketika Cinta Bertasbih dengan keluarga itu, pertama adanya nuansa bahwa pendidikan merupakan hal yang utama. Pendidikan tentu saja bisa pendidikan agama maupun pendidikan umum. Untuk keluarga itu, konteksi saat ini mungkin dapat dikatakan bahwa 80% lebih banyak berkecimpung dalam pendidikan umum. Ini agak berbeda dengan generasi sebelumnya dimana lebih banyak yang menamatkan pada sekolah-sekolah agama. Masyarakat mengenal bahwa keluarga itu sangat memperhatikan dan peduli dengan pendidikan, dan karena orang-orang tuanya banyak yang shalih dan selalu mendoakan anak-anaknya maka banyak yang berhasil dalam meniti jenjang pendidikannya. Yang saya katakan jelas, karir pendidikan, bukannya karir pekerjaan atau kekayaan. Yang kutahu, bukan meniti karir pencapaian materi pada tingkat-tingkat tertentu, karena memang sejak kecil anak-anak mereka dipacu dan dididik untuk mengejar ilmu, menjadi orang yang berilmu, menjadi orang yang alim dan shalih. Bukan dididik dan digadang-gadang untuk menjadi orang yang kaya kelak. Mengapa? Bukankah kekayaan apabila digunakan untuk beribadah akan menghasilkan efek multiplier yang besar dan tingkat kualitas ibadah yang lebih tinggi? Mungkin iya, tapi kupikir, pertimbangan orang-orang tua kami adalah, pertama, karena kalau orang berilmu, orang alim maka biasanya –meski tidak selalu begitu—akan diikuti oleh faktor kemudahan dalam mendapatkan financial. Kedua, kalau kekayaan dijadikan sebagai panglima dan tolok ukur maka akan membuat orang cenderung melakukan apa saja untuk mendapatkan standar kekayaan yang ada pada ekspektasi dan angannya yang diciptakan oleh bawah sadar seseorang ketika hal itu menjadi hal yang dijadikan standar umum bagi lingkungannya. Makanya yang dijadikan standar bagi lingkungan keluarga itu adalah pentingnya upaya belajar dan menempuh pendidikan semaksimal mungkin. Ketiga, mungkin kalau seseorang telah mencapai tingkat kekayaan yang tinggi dimata masyarakat, maka sesungguhnya hal tersebut akan lebih menjadikan itu sebagai ujian. Dan terkadang manusia justru gagal ketika diuji oleh kekayaan, kecuali orang –orang yang tidak sekadar mencari materi, melainkan menjadikan materi itu hanya sekadar merupakan implikasi dari hal lain yang jadi orientasi hidupnya. Dan materi sebagai tools untuk kenyamanan beribadahnya. Kalau tidak, ya itu tadi, seringkali orang justru gagal diuji dengan kekayaan materi. Karena, dari jaman Adam sampai kapanpun, ini adalah salah satu godaan duniawi yang memang indah namun bisa menyesatkan jalan orang. Namun sekali lagi, tentu saja orang-orang tua mereka bukanlah orang yang mengabaikan materi atau kesejahteraan. Mereka adalah oramg-orang yang khusysuk dalam beribadah dan sekaligus tekun dan kerja keras dalam bekerja.

Kembali ke novel diatas, ada kesamaan novel tersebut dengan keluarga itu, yakni adanya nuansa pesantren yang ada dalam cerita tersebut, dimana pada akhirnya tokoh utama cerita, yakni Azzam, akhirnya menikah dengan Anna, putri seorang tokoh Pengasuh Pesantren terkenal di Klaten. Dunia pesantren bagi keluarga itu juga adalah suatu komunitas yang tidak asing.

Kesamaan ketiga bahwa tokohnya terhimpit dalam tuntutan finansial karena saat di tahun pertama kuliah di Al Azhar University, ayah Azzam meninggal, sehingga hal tersebut sangat mengubah jalan hidup Azzam, yang semula konsentrasi pada kuliahnya menjadi ditambah pada keharusan peran untuk menyelamatkan masa depan keluarga dan adik-adiknya dengan bekerja. Dan hal itu menumbuhkan jiwa enterpreneurship pada Azzam, yang mau tidak mau membawa implikasi pada kuliahnya yang menjadi mahasiswa abadi. Saat itu teman-teman seangkatannya sudah pada kembali ke tanah air, kecuali yang meneruskan S2, Azzam tidak pernah mengeluh dan sungkan harus memeras keringat demi pendidikan dan masa depan adik-adiknya. Ini mirip dengan nuansa pada keluarga itu dimana anak-anak mereka disamping harus kuliah, mengejar terget nilai tertentu, juga harus berpikir bagaimana harus survive dalam proses pendidikannya. Mereka kebanyakan harus nyambi bekerja apapun untuk menghasilkan uang karena mepetnya uang bulanan yang dikirimkan oleh orangtua mereka. Mereka saling bantu antarsaudara. Kakak yang telah lulus atau memiliki likuiditas yang lebih baik membantu adik-adiknya. Tidak jarang hal itu membawa konsekuensi lamanya waktu studi yang harus mereka tempuh karena bercabangnya pikiran dan aktivitas mereka. Itulah proses pembelajaran yang riil tentang kehidupan, yang niscaya akan bermanfaat bagi mereka kelak.

Kesamaan selanjutnya yang juga menyentuh, adalah bahwa Azzam berasal dari Sraten Solo. Di Solo, nyaris tidak ada yang tidak kenal dengan keluarga itu yang memang tinggal di Sraten. Salah satu dari mereka pada generasi yang lalu telah diabadikan menjadi nama jalan di daerah itu. Ada pesantren informal keluarga besar mereka yang sampai sekarang masih eksis, yang sering disebut sebagai pesasntren Sraten. Banyak orang-orang terkenal yang dulunya pernah mondok di pesantren ini. Suatu ketika aku pernah berkunjung ke rumah salah satu keuarga itu, yang kebetulan anaknya adalah teman kantorku, mas Yusuf Kurniawan. Keluarganya adalah bagian dari keluarga besar di Sraten itu. Ada suatu momentum yang mirip dengan salah satu moment pada novel diatas. Waktu itu, ibundanya mas Yusuf Kurniawan itu sempat mengeluhkan dan mengeluarkan uneg-uneg padaku ketika salah seorang teman kami, entah tidak sholat atau terlambat sholat, yang jelas bangunnya kesiangan. “Mas, aku kok kurang suka dengan teman anakku itu. Namanya sih Islami, tapi kok bangun pagi pada saat matahari sudah terbit. Lalu bagaimana dengan sholat Shubuhnya..?”. Ini persis dengan keluhan Ibunya Azzam, yang terus terang mengungkapkan ketidaksukaannya saat Azzam akan dinikahkan dengan teman adiknya, Husna. Kenapa? Karena di pagi-pagi buta, Ibunya Azzam menjumpai bahwa teman Husna tersebut tidur lagi setelah sholat Shubuh. Kata Ibunya,”Di rumah orang saja bisa tidur habis sholat shubuh, bagaimana kalau di rumah sendiri”. Membaca kisah Azzam yang ditinggal wafat oleh ayahnya saat tahun pertama kuliah, aku jadi teringat bahwa temanku Yusuf ini juga juga ditinggal wafat oleh ayahandanya, seorang dosen di UNS.

Yah, sekali lagi tidak ada maksud apa-apa saat aku cerita mengenai kemiripan-kemiripan novel dengan apa yang aku kemukakan diatas, kecuali sekadar untuk menjadikan ini sebagai salah satu pelajaran bahwa banyak hal yang bisa aku petik hikmahnya dari novel diatas. Dan karakter-karakter yang dibangun pada novel diatas bukanlah sesuatu yang mengawang-awang dan tidak nyata, melainkan bisa jadi riil ada di sekitar kita. Dan kita bisa belajar dari mereka.

Tidak ada komentar: