Minggu, 16 Maret 2008

Malam itu terasa panjang....

Malem ini tanggal 9 Maret 2008, sekitar jam 11 malem, saat aku dan kedua anakku, HD dan SF udah siap-siap tidur, sambil aku perdengarkan ayat-ayat suci Al Quran dari kepingan CD, tiba-tiba kami dikagetkan dengan suara gedoran pintu kamar agak keras. “Pak, tolong buka pintu…..”. Aku jawab,”Siapa?”. Dia menyahut, “Saya BN, temannya Bu HN”. Aku tenang namun tetap waspada untuk menanggapi segala sesuatu, mengingat kompleksitas permasalahanku dengan HN yang seolah tidak beujung dan tidak ada solusinya.

Di luar pintu kamar, BN berkata,”Pak, saya mewakili HN untuk bicara dengan Bapak mengenai laporan yang bapak lakukan ke Polres Bekasi beberapa waktu yang lalu”, katanya to the point. “Saya mau tanya, bapak bersedia gak untuk mencabut laporan tersebut. Saya gak mau tahu dengan segala tetek bengek permasalahan bapak dengan HN, tapi saya ingin bapak mencabut perkara itu”. Aku jawab,”Lho, Pak BN ini aneh sekali. Bilang tidak mau tahu dengan persoalanku dengan HN dan ingin saya mencabut perkara. Justru adanya perkara itu karena adanya persoalan antara saya dengan HN. Kalau tidak ada persoalan tentu saja tidak ada laporan”, kataku. Dia menjawab,”Oke, kalau emang Pak TF sudah pasti dan mantap dengan itu, tapi harap hati-hati saja dan jangan menyesal kalau terjadi sesuatu. Saya mempunyai beberapa Saudara Jenderal Bintang di Mabes Polri, ada yang Kepala Diklatnya Mabes Polri. Itu semua akan saya kerahkan untuk fight dengan Pak TF”. Dia mengancam. Saya jawab,”Bapak ini tidak tahu apa-apa dengan soal saya dan HN, jadi sulit bagi saya untuk bicara dengan bapak. Kalau soal ancam-mengancam, saya sudah biasa menghadapi hal-hal seperti ini”, lanjut saya. Ohya, di sela-sela pembicaraanku dengan BN, tampak HN beberapa kali dengan emosi meluap dan kegusaran luar biasa mengatakan kepada BN, dengan mengatakan sesuatu yang tidak begitu jelas bagi saya.

Habis insiden ancaman dari temannya HN tersebut, terus terang saja saya menjadi sulit tidur. Banyak hal berkecamuk dalam pikiran saya. Banyak sekali. Ada sedikit keheranan atas peristiwa barusan, bahwa teman sekantor HN, di sebuah Bank terbesar di negeri ini, yang tampak begitu tegasnya memberikan ancaman kepadaku. Apakah yang telah diberikan oleh HN, atau apakah yang diceritakan oleh HN sehingga seorang teman kantornyapun bersedia mengambil risiko untuk masuk dalam bagian konflik internal antara diriku dengannya. Seolah mengerti kegelisahanku pada ancaman tadi, anakku terkecil SF, malam itu menemaniku sampai larut. Dia bilang,”Papa, aku sulit tidur. Kita ngobrol aja yuk…”. Aku tersenyum, dan merasa bahwa selama ini kebersamaanku dengan kedua anakku adalah sesuatu yang sangat berharga di tengah-tengah peliknya persoalan keluarga dalam diriku. Mereka seolah memberikan kekuatan moral kepada diriku untuk selalu tegar dan seolah mereka bisa mengatakan bahwa masih ada mereka disisiku. Mereka yang membutuhkanku, dan aku yang membutuhkan kehadiran mereka dalam kehidupanku. Justru merekalah yang dalam sehari, minimal 3-7 kali menelepon, saat aku menjelang pulang dari kantor, untuk sekadar tanya, “Papa sudah sampai dimana…, Papa kapan sampai di rumah…., Papa, cepet pulang ya, pengin jalan-jalan naik motor…, Papa, pesen coklat ya…”.


Anak-anak yang lucu-lucu, kuharap peristiwa yang kami alami tidak sampai berdampak pada psikologis mereka. Kuharap kasih sayang, perhatian, bimbingan, dan didikan yang positip akan selalu menyertai dalam proses kedewasaan mereka, entah dari diriku, dari HN sendiri, dari Eyangnya, dari Omnya, dan dari siapapun.

Bicara mengenai laporanku ke Polres Bekasi pada kasus yang secara hukum masuk pada kategori ‘Penganiayaan’ yang dilakukan HN kepadaku sendiri terus terang saja hanyalah bagian yang sangat-sangat kecil apabila dibandingkan dengan perilaku-perilaku yang selama ini dilakukannya. Itupun kulakukan, sebagai semacam sentilan atas berbagai kelakuannya yang sulit untuk ditolerir. Mungkin beberapa orang berkomentar bahwa laporanku ini adalah membalas apa yang dia lakukan dalam 1 tahun terakhir, dimana dia memperkarakanku pada 2 tindakan pidana yang ‘direkayasa’ olehnya, yakni tuduhan tindakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT dan Pencemaran Nama Baik. Untuk tuduhan KDRT itu sendiri, waktuku banyak sekali tersita olehnya, saat harus hadir dalam lebih dari 12 kali persidangan di Pengadilan Negeri, beberapa kali dipanggil ke Polres, beberapa kali dipaggil ke Kejaksanaan Negeri, bahkan sekadar untuk wAJb lapor. Sebuah peristiwa yang Hakimnya sendiri berkata,”Isteri anda sangat-sangat sadis terhadap anda. Dia membawa segepok uang kepada saya, didampingi Jaksa, meminta agar saya memutus vonis penjara untuk anda. Saya bilang, makan uang itu, saya tidak butuh. Saya memutus perkara sesuai dengan hati nurani”. Yah, satu dorongan ke tubuhnya dan sedikit tamparan yang pertama kali aku lakukan dalam seumur perkawinan dengannya, karena dia mendahului meludahi mukaku beberapa kali, memukul, memaki, bahkan sempat mengancam akan menusukku dengan menggunakan pisau saat aku sedang sholat shubuh. Lantas dia bayar sejumlah uang kepada saksi, polisi, jaksa, dan tentu saja pengacara, semua sumberdaya dan sumberdana dikerahkan untuk memenjarakanku. Kuingat ketawanya yang terdengar sadis dan penuh dendam, di depanku, depan anak-anak dan beberapa tetangga,”Hei dengar ya, aku akan membuatmu membusuk ke penjara bertahun-tahun. Aku udah ngasih uang ke Jaksa untuk memenjarakanmu puluhan tahun. Kamu akan membusuk disitu. Aku punya banyak uang untuk menghancurkanmu, hahaha….”.

Saat masih menjadi suami-isteri, saat aku selalu dan selalu mengalah terhadap apapun keinginannya, apapun luapan emosinya, apapun dampak dan konsekuensi yang harus aku terima atas sesuatu hal atau tindakan yang tampak wajar tapi menjadi tidak wajar dimata HN. Itu semua aku lakukan dengan harapan bahwa akan ada perubahan dalam perilakunya. Karena disaat-saat suasana tenang aku eberapa kali mencoba bicara untuk kita saling berintrospeksi untuk membuat suasana yang lebih menyenangkan dimasa mendatang. Dan itu termasuk hal yang tersulit untuk membuka dialog dan komunikasi. Di belakang hari aku menyadari bahwa tingkat kesulitan seperti itu bukan hana dihadapi olehku saja. Orang-orang yang pernah menjadi bagian terdekat dengannya pun, dalam hal ini keluarganya, praktis tidak ada yang bisa masuk dalam komunikasi tanpa diakhiri oleh konflik dengannya. Konflik antara dia dengan keluarganya, dengan ibu bapaknya, dengan saudara-saudaranya, sudah menjadi bagian dan menĂº sehari-hari pada masa lalunya. Dan pada saat ini, konflik itu sudah menjadi semacam permanen diantara mereka. Itu hal yang juga tidak pernah aku harapkan. Karena disaat-saat dia masih menjadi isteriku, selalu aku berharap dan berusaha untuk mendekatkan dia pada keluarganya, menumbuhkan rasa kasih sayang pada ibu bapaknya, menumbuhkan rasa hormat dan menjadi bagian dalam kehidupan keluarganya, ternyata itupun merupakan hal yang tidak gampang untuk dilakukan. Tentu saja aku masih teringat, saat aku menghadiri pernikahan adik kandungnya di Jogja, baju-bajuku dibakar habis. Itu pembakaran yang kesekian kalinya dilakukan olehnya ketika emosinya meluap-luap. Saat tiba di Jakarta, aku selalu memeluk dirinya dengan harapan ada proses cooling down pada emosinya. Sesaat dia memang bisa kembali normal, tapi itu tidak dalam waktu yang terlalu lama bisa aku nikmati.

Salah satu tindakan dia yang masih membekas secara fisik pada badanku ini, tentu saja adalah telinga kiriku. HN karena suatu hal yang wajar aku lakukan terhadap seseorang, tidak ada tendensi apapun, rupanya kecemburuan dia menjadikan suasana sangat memburuk. Saat pulang kantor, dia sudah menyiapkan diri untuk menggembrakku, memukulkan HP ke telinga kiriku, berkali-kali menyabetkan raket nyamuk dengan seterum on ke di tempat yang sama. Belum puas dengan itu, dia mengambil baygon dan disemprotkan ke mukaku. Aku sama sekali tidak membalas, HN sesekali berusaha menahan dia. Tapi saat emosinya meluap seperti itu, tenaganya entah seperti mendapatkan tambahan power entah darimana, dan aku lebih banyak menerima dengan pasrah. Akibatnya agak fatal, telinga kiriku mengalami pendarahan dan peradangan. Suatu keadaan yang sama sekali aku tidak ingin mengalami lagi, dan aku tidak mengharapkan seseorang akan mengalami hal seperti yang aku alami. Sangat tidak nyaman, keseimbangan sangat terganggu. Aku baru mengalami hal seperti itu, bahwa ternyata syaraf-syaraf dalam telinga sedemikian penting dalam proses balancing, dalam memberikan respon terhadap dunia luar. Selama 2 bulan setelah peristiwa itu, telingaku rasanya seperti berat sebelah karena peradangan tadi, respon lambat dan seperti tidak bisa cerdas berpikir, selalu mengantuk, telinga berdenging sepanjang waktu. Hal yang aku nikmati saat itu adalah saat tidur. Dan saat bangun, aku selalu merasakan penderitaan yang seolah tidak berujung. Baru setelah aku lakukan operasi tympanoplasti, sebuah operasi pembedahan telinga yang cukup rawan karena ada berjuta syaraf, aku merasakan ada kemajuan dan perkembangan kondisi kesehatanku.

Tidak ada komentar: