Senin, 31 Maret 2008

Hikmah Silaturrahmi

Malam ini, 28 Maret 2008, tidak terlalu lama dari jarak kedatangan kami, Bapak Jogja membuka pembicaraan tentang masa depan si kecil, Huda dan Syifa. Aku sebenarnya agak malas untuk membicarakan hal ini, karena sikapku sudah cukup jelas. Kalaupun si kecil hari ini aku ajak ke Jogja bukan dalam rangka untuk mengarahkan si kecil untuk tinggal disini, melainkan lebih bermakna untuk silaturrahim, dan juga meminimalisir keinginan dari bapak Jogja ini untuk mengasuh anak-anakku. Namun sesungguhnya aku betul-betul tidak tahu sampai seberapa jauh beliau mengharapkan dan akan mengupayakan untuk dapat merealisir keinginannya.

Sekali lagi mereka membuka harapan untuk mengasuh anak-anakku, dengan pertimbangan, pertama untuk memberikan suasana yang secara psikologis akan menjauhkan potensi konflik antarorangtuanya, yang kemungkinan besar akan berdampak pada anak-anakku. Kedua, menurut mereka suasana di Jogja akan lebih baik bagi mereka karena akan mendapatkan perhatian dan konsentrasi untuk mendidik mereka secara lebih intensif. “Bisa dibayangkan kan ya mas. Kalau sebagian besar hari-hari anak-anak akan dilalui bersama dengan orang lain, karena mas kan pulang kantor udah malam”, kata mereka mencoba meyakinkan. Yang ketiga, --menurut mereka-- keinginan untuk mengasuh anak-anakku tersebut sama sekali bukan bermaksud untuk menjauhkan anak-anak dengan orangtuanya. “Saat kalian sudah selesai dalam berurusan, dan relative mapan maka kami akan persilakan untuk mengambil lagi buah hati kalian”, kata beliau.

Kupikir malam ini aku sudah menyampaikan sikap dan pesanku secara halus, jelas, terang dan sekaligus tegas. Satu persatu aku jawab pertanyaan sekaligus pertimbangan beliau. Pertama, soal mereka akan terkena dampak konflik antarorangtuanya, menurutku tidak akan terjadi. Karena minggu ini aku sudah pindah kontrak rumah sehingga potensi konflik secara langsung akan terreduce. Kedua, kutegaskan kepada beliau bahwa anak-anak saat ini merupakan amanah, titipan dari Allah swt untuk kuasuh, kudidik, kubimbing, kulindungi. “Saat saya merasa mampu untuk menyediakan ruang itu bagi mereka, maka saya merasa bertanggungjawab untuk menyediakan ruang itu secaara langsung, sebagai wujud pertanggungjawaban saya, dan saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk mewujudkan itu, Pak”, kataku dengan yakin. Ketiga, mengenai selesai atau tidaknya urusanku dengan HN, menurutku adalah soal definisi. “Kalau sekarang ini dianggap selesai, kira2 statement itu tidak salah, dan sebaliknya kalau dianggap belum selesai, ya tidak salah juga. Karena itu tergantung dari sudut pandang dan definisi soal selesai tidaknya urusanku dengan HN. Yang penting, selesai atau tidak selesai atau dari sudut pandang apapun yang digunakan sebagai parameter atas persoalan kami, jangan sampai mengganggu proses perkembangan pendidikan bagi anak-anak.

Atas keinginan mereka untuk mengasuh anak-anakku, aku memberikan catatan yakni, “Saat dalem merasa bahwa dalem tidak bisa menyediakan ruang bagi anak-anak, dalam hal ini karena dalem menghadapi kemungkinan ‘gangguan dari HN’ yang bisa saja akan mempergunakan senjata surat cerainya yang memberikan hak pengasuhan baginya, maka dalem merasa bahwa kesediaan dan bantuan bapak mengasuh anak akan menjadi solusi terbaik”, kataku. Kenapa begitu, karena aku merasa bahwa bisa saja terjadi, HN akan menggunakan surat cerai untuk mengambil anak-anak. Namun, kemungkinan, itupun kemungkinan tidak akan digunakan untuk mengasuhnya secara langsung, karena aku yakin dia tidak akan mampu. Mungkin saja HN juga akan menyerahkan anak-anak ke Jogja, yang baginya akan lebih baik dibanding kalau anak-anak berada di tanganku, yang sudah dianggap sebagai musuh besarnya seumur hidup.

“Bapak tidak ingin diadu dengan mas Tf”, kata beliau. Karena, katanya, HN dan adiknya, UM, telah merencanakan sesuatu yang menurutku tindakan yang tidak patut. Yakni, HN dan UM akan mengambil anak-anakku, lalu akan diberikan kepada Bapak Jogja. “Bapak tidak akan menerima itu seandainya tidak ada kerelaan dan keikhlasan dari mas sendiri. Bapak ingin agar semuanya ikhlas. Kalau mas memang belum ikhlas, bapak tidak akan memaksakan”, tutur beliau dengan bijak. Menurutku, itu memang sikap yang bijaksana.

Pembicaraan juga berlanjut ke hal yang sebenarnya aku tidak inginkan, karena ini hal yang sensitif, yakni tentang HN, anak kandung beliau. Ada beberapa hal yang aku sampaikan dan ada beberapa hal yang aku keep.

Di tengah-tengah pembicaraan, datang Eyang Semarang, bu Ismi guru besar Fakultas Hukum Undip dan suaminya Om Shodiq, adik Ibu Jogja. Aku ingat saat aku diundang oleh mas Ridho Zarkasyi (putra pendiri Pondok Pesantren Gontor) untuk hadir di Pengajian untuk alumni UGM dan Alumni Gontor, di hotel Ambhara sekitar 2 tahun yang lalu. Pengajian itu tentang struktur dan format Al Qur’an sebagai solusi atas berbagai problem kehidupan. Pasca pengajian itu aku beberapa kali baca tabloid Khalifah. Dari tabloid tersebut aku jadi bahwa Om Shodiq ini salah seorang pelopor yang mengenalkan metode ini, khususnya untuk area Jawa Tengah. Kami banyak berbincang mengenai hal ini. Saat pulang, mereka menawarkan beberapa buah buku untuk aku baca. Alhamdulillah, mudah-mudahan ini salah satu berkah silaturrahmi. Sudah lama aku ingin kembali membaca Al Qur’an, seperti juga yang sering dikatakan oleh kakakku di Bandung,”jangan lupa, selalu baca Al Qur’an dan tafsirnya”. Aku akan mencoba metode seperti yang disampaikan Om Shodiq dan Bu Ismi. Seusai kepulangan mereka, malem sampai paginya aku banyak berbincang dengan Eyang Jogja. Terus terang baru kali ini aku berbincang dalam intensitas yang tinggi. Pada awalnya kupikir sedikit yang beliau ketahui dari soal divorce dengan HN, karena kata HN tidak terlalu akrab dengan keluarga Semarang. Ternyata banyak hal yang diketahui beliau. Beluau adalah seorang Ibu berusia 85 tahun yang sangat bijak dalam memandang berbagai persoalan dunia. Beberapa kali beliau beristighfar saat aku sampaikan soal anak-anak. Beliau berpesan, bahwa apa yang aku alami tersebut adalah sebuah ujian. “Allah tidak akan menguji umatNya diluar batas kemampuannya. Dan semoga mas Tf lulus dalam ujian ini sehingga bisa naik kelas. Dan jangan lupa bahwa dalam perspektif yang sama, seringkali manusia juga akan diuji dalam hal kesenangan dan kekayaan duniawi dan seringkali justru itu membuat manusia gagal dalam mensikapi itu sebagai ujian”, tambah beliau. Aku bersyukur bahwa hari ini aku bertemu dengan beliau yang sangat menguatkan batinku dalam mengarungi jalan di dunia ini. Aku harus selalu ingat bahwa kendati jalan yang akan kulalui ini, betapapun terjalnya, namun harus mempunyai tujuan yang jelas. Dan itu jauh lebih baik dibandingkan dengan perjalanan di jalan tol bebas hambatan namun tidak memiliki tujuan yang jelas.

Tidak ada komentar: