Kamis, 27 Maret 2008

Kekhawatiranku...

Hari ini, selasa 25 Maret 2008. Beberapa hari ini terus terang aku sangat mengkhawatirkan akan terjadinya sesuatu hal, yang jujur kukatakan aku sangat sulit untuk membayangkan seandainya itu terjadi. Saat ini sedang dalam masa psikologis dekat-dekatnya kedua anakku, Huda dan Syifa. Dari hari ke hati makin kusadari betapa mereka begitu polos, dan lucu, sekaligus begitu pengertian terhadap kesulitan yang aku hadapi. Contohnya, saat-saat ini, menjelang gajian, mereka dengan penuh pengertiannya, menyesuaikan apa yang menjadi keinginan mereka dengan kondisi finansialku. Syifa berkata, “Papa, nanti kalo udah gajian, beliin aku ini dan itu ya...”. Aku terharu dan sangat tersentuh, ketika kutahu dia sangat menginginkan sesuatu tapi seolah dia tahu bahwa itu akan lebih baik diminta saat aku udah gajian. Akupun menjawab bahwa kalo hanya untuk permintaan seperti itu sih, tidak perlu menunggu gajian, --kebetulan aku terima hari ini. Masa penantian terima gaji yang cukup panjang dari kantor, yang betapapun, seberapa besar kecilnya harus aku syukuri. Hari-hari ini memang aku harus lebih banyak membangun jiwa, memberikan penekanan pencerahan kepada diriku mengenai orientasi hidup, berpikir tentang masa depan yang tidak sependek setahun dua tahun, sewindu dua windu, atau sedikit lebih panjang selama hidup di dunia, melainkan mencoba berpikir keluar dari itu bahwa hidup di dunia adalah bagian kecil yang penting, yang menjadi dasar dan ujian untuk dapat kita nikmati hasil ujian tersebut saat nanti di kehidupan setelah dunia. Juga semestinya aku berpikir untuk lebih menyeimbangkan orientasi dunia dan akhirat, menyeimbangkan apa yang menjadi prioritas dan bukan prioritas, lebih mewaspadai apa yang masuk pada kategori godaan-godaan terhadap upaya untuk meniti jalan yang semestinya aku tempuh.

Sedikit banyak, pertentangan dan pergolakan batin itu aku rasakan saat liburan kemaren aku menamatkan novel Habiburrahman El Shirazy. Kalau untuk novel Ayat-Ayat Cinta yang demikian heboh dan fenomenal, yang layar lebarnya dimana-mana selalu sesak penuh antrian demi mendapatkan selembar tiket film, aku malah tidak terlalu tersentuh. Perasaan sentuhan batin justru aku dapatkan dari novelnya yang lain, Ketika Cinta Bertasbih jilid 1 dan 2.

Kembali pada apa yang kurasakan saat ini, yakni demikian khawatirnya aku terhadap kemungkinan terjadinya sesuatu, yakni terpisahnya aku dengan dua anakku, Huda dan Syifa. Saat aku dalam masa dekat-dekatnya dengan mereka. Kurasa, sudah sekitar 3 atau 4 bulan terakhir ini, Huda dan Syifa selalu meneleponku dalam sehari minimal 4-5 kali, dengan pertanyaan-pertanyaan yang selalu sama dan tidak bosan-bosannya,”Papa saat ini sudah sampai dimana..., Kalo begitu sampai di rumah jam berapa...”. Saat berangkat ke kantor, sebagaimana pagi tadi, pertanyaan yang itu-itu saja,”Papa, hpnya udah di charge belum..., sudah ada pulsanya belum, pulang sampai rumah jam berapa..., kalo ditelpon bisa kan, jam berapa saja...”. Selalu itu-itu saja yang ditanyakan oleh Huda, dan lucunya dia gak pernah bosan berpesan seperti itu setiap pagi hari menjelang keberangkatanku ke kantor. Dan aku selalu dengan senang hati mendengar pertanyaan itu dan dengan mantap menjawab, “bisa...., bisa..., bisa...., kenapa tidak sayang...”.

Aku demikian khawatirnya. Dan kekhawatiranku bukan tidak berasalan. Senin malem kemaren, aku menelepon ke Jogja, ketemu mantan Ibu Mertuaku, dimana sudah kujelaskan bahwa kekhawatiran mereka tentang Huda dan Syifa tidak berasalan dan agar mereka tidak terlampau mengkhawatirkan cucu-cucunya, karena aku telah berjanji terhadap diriku sendiri untuk menjaga, membimbing, membina, menemani, mendidik anak2ku seoptimal mungkin karena itu adalah amanah dan asetku yang paling berharga saat ini. Aku ingin mereka kelak menjadi anak2 yang sholeh dan sholihah, dan aku akan memberikan bekal pendidikan yang memadai kepada mereka. Dan tentu saja, aku tidak ingin kehilangan sentuhan kasih sayang dan kedekatan batin, kedekatan psikis dengan mereka.

Aku ingat saat kemaren sore aku ke rumah Encik. Dia cerita bahwa HN telah kos di kota, deket kantor, bersama lelakinya. Tapi dia pesen, kalo listrik di rumah nanti telah nyala lagi maka dia akan kembali ke rumah. Saat Encik iseng-iseng tanya, yang sebenarnya tidak perlu ditanyakan karena sudah tahu seperti apa jawabannya, “Lalu bagaimana dengan anak-anak bu?”. Dijawab oleh HN,”Aku tidak peduli dengan mereka, toh kan ada bapaknya”. Encik tanya lagi,”Entar kalo diambil oleh eyangnya di Jogja bagaimana bu?”, jawab HN,”Terserah aja...aku tidak peduli!”.

Waktu-waktu yang lalu, kuanggap sampai saat ini aku masih mendapatkan berkah atas hal itu. Kenapa? Karena dalam sidang perceraian yang telah diputus oleh Pengadilan Agama Bekasi, telah diputuskan bahwa hak asuh anak-anak ada pada HN. Itu antara lain keputusan persidangan kemaren, yang menurutku, dan menurut informasi orang-orang dalam, tampak sangat berat sebelah sehingga para hakim anggota tidak mau tanda tangan. Wakil Panitera PA Bekasi sempat berbisik padaku kalo HN menyogok Ketua Majelis Hakim (dan tidak kepada Hakim Anggota lainnya) untuk menolak agenda pembagian harta gono gini, dan agar memihak pada aspirasi HN. Aku sempat banding, namun beberapa waktu kemudian aku mencabut banding tersebut. Berkah yang kurasakan adalah, saat Pengadilan Agama memutus kemenangan HN seperti itu, namun yang terjadi kemudian ternyata HN mengingkari dan tidak memanfaatkan kemenangan keputusan tersebut. Dia justru meninggalkan dan menerlantarkan Huda dan Syifa. “Pak, terus terang saja saya baru pertama kali ini melihat seorang ibu yang seperti kehilangan naluri keibuannya. Tidak tampak ada ikatan batin pada bu HN maupun pada anak2 sendiri. Dan justru itu yang menguatkan tekad untuk mendampingi anak-anak, pak”, kata Encik padaku suatu ketika. Kata-kata senada juga disampaikan oleh pengasuh anak sebelumnya, RT, dimana dia sangat heran dengan melihat dan menyaksikan sendiri secara langsung bagaimana perlakuan HN kepada anak-anaknya. “Dia seperti bukan ibunya anak-anak. Seperti tidak kenal dengan anak-anak. Tiap kali pulang, cuman untuk tidur, mandi dan berhias tanpa ada sentuhan dan obrolan dengan anak-anak pak”, ungkap RT waktu itu.

Tidak ada komentar: