Minggu, 06 April 2008

Di Kota Kelahiranku

Pagi ini, Minggu 30 Maret 2008, suasana rumah rame. Saudara-saudaraku pada berdatangan. Pertama kali, adikku RF, yang saat ini jadi redaksur/ wartawan sebuah media di Jogja. Lalu AN juga datang lengkap dengan suaminya, GT dan anaknya MF dan SS, dengan membawa mobil dinasnya, Suzuki APV ambulancenya. Terakhir adikku AM dari Jogjakarta, berikut isterinya MA dan anaknya, IM. Terakhir, adikku TN yang barusan datang dari Jakarta. Aku tidak tahu apakah mereka saling bikin janjian untuk pulang ke Wonogiri. Entahlah. Yang jelas pagi ini suasana rumah begitu rame. Ibuku, seperti biasa, saat rame anak-anaknya pulang gini malah jadi sibuk menghabiskan waktu di dapur untuk bikin masakan istimewa buat anak-anaknya yang jarang-jarang pulang dalam waktu yang bersamaan, kecuali pada momentum lebaran. Kali ini ibu masak sop buntut. Yang ini adalah spesial order dari anakku Syifa, yang telah beberapa lama minta dibeliin sop buntut padaku, tapi sampai saat ini keinginannya belum kesampaian. Aku sendiri, terus terang saja, setiap kali pulang kampung pasti sudah menyusun rencana di kepala, bahwa pagi ini makan apa dimana, lalu siangnya makan apa dimana, begitu juga makan malamnya. Bicara soal aneka makanan di kota masa kecilku, Wonogiri, Solo dan sekitarnya ini memang bagaikan sebuah wisata kuliner bagiku, yang aroma kenikmatannya terasa begitu melekat pada lidah dan juga pada alam bawah sadarku, semenjak kecil sampai sekarang dan sampai kapanpun. Mudah, meriah dan enak. Mungkin ini pengaruh dari kebiasaan masa laluku yang sering sekali jajan di banyak tempat, bukannya makan makanan yang tersedia di rumah. Ini kebiasaan masa laluku yang agak berbeda dengan saudara-saudaraku lainnya.

Hari ini, beberapa diantara kita jalan-jalan ke Gajah Mungkur, dengan mobil APV ambulance adikku yang kepala Puskesmas di sebuah kecamatan, sekitar 30 km sebelah selatan kota Wonogiri. Tadi dia sempat bilang padaku tentang rencananya yang akan mengajukan cuti diluar tanggungan untuk kuliah spesialis di UGM Jogja, yang katanya akan ditempuh selama sekitar 9 semester. Kupikir, kuliah di kedokteran itu emang kuliah plus, apabila dibandingkan dengan mengambil jurusan lainnya. Waktunya panjang, kuliahnya serius, materinya sulit. Tentang rejekinya, ya tergantung dari nasib. Kadang kalo bagus ya bisa bagus sekali, sedangkan kalo tidak yang menjadi dokter yang tidak disambangi pasien-pasiennya. Adikku ini cukup beruntung. Lulus kuliah, setahun jaga klinik di Karawang, lalu mengjalani masa pengabdian di Wongori, tempat kampung halaman kita sendiri. Di tempat ini juga dia lulus dalam ujian PNS, dan dalam penempatan pertamanya langsung menjadi kepala Puskesmas.

Dengan mobil Suzuki APV Ambulance itu kita menuju ke pintu air Gajah Mungkur. Aku emang pengin kesana karena beberapa bulan terakhir sungai Bengawan Solo mengamuk di beberapa kota dialirinya. Dari Solo, Sragen, Demak, beberapa kota di Jawa Timur, semuanya sangat merasakan kedahsyatan amukan sungai ini. Dan hulu dari sungai ini adalah bendungan yang sore ini kami kunjungi. Ternyata pintu air tidak dibuka. Dan ternyata juga, mobil tidak bisa masuk sampai ke bendungan. Akhirnya, kita terpaksa di tengah terik matahari, berjalan menyusuri panjangnya keseluruhan bendungan. Mungkin ada 1 km, atau lebih. Yang jelas, lumayan capek, tapi senang. Terutama kami senang, melihat keceriaan anak-anak, HudaSyifa yang balapan dengan MF ponakanku. Mereka sebaya dan sejak dulu setiap ketemu selalu membuat suasana tambah meriah dan lucu.

Debit air waduk tampak bertambah, dibandingkan dengan terakhir kali aku kesini, sewaktu lebaran. Kabarnya pintu air dibuka sedikit aaja, maka banjir akan melanda pada aliran di bawahnya. Wongori menjadi sangat menentukan bagi daerah-daerah yang dialiri sungai Bengawan Solo. Aku jadi teringat kondisi Jakarta, dimana banjir tidaknya suatu daerah di Jakarta juga sangat ditentukan oleh beberapa pintu air di Depok dan Bogor.

Sore ini aku sempat mengalami dilema, antara pulang langsung ke Jakarta ataukah ke Jogja dulu baru ke Jakarta. Anak-anak minta agar aku ke Jogja bersama mereka dan mencari angkutan kereta atau bis dari Jogja. Tapi berhubung waktunya tidak memungkinkan, akhirnya aku memutuskan untuk pulang ke Jakarta via bis dari Wonogiri. Hatiku rasanya sangat tidak tega saat aku meninggalkan mereka di dalam monil, yang mengantarkanku ke terminal Krisak. Huda dan Syifa menangis memanggil-manggilku, dan tidak mau kucium sebagai tanda pamit dalam kepergianku ke Jakarta. Di tengah kudengar tangisan kedua anakku dan hujan lebat itu, aku segera naik bis. Aku juga teringat bahwa charger handphoneku ketinggalan di Jogja. Rencananya Huda dan Syifa nanti malam akan diantar adikku AM ke Kadipaten.

Di bis aku banyak menghabiskan waktu dengan tidur. Di Semarang, Gringsing, saat bis istirahat makan di sebuah restoran aku sempat menelepon Kadipaten. Ternyata HudaSyifa belum nyampe disana. Saat bis berangkat, aku tidur lagi.

Sampe di Brebes, di tengah-tengah tidurku, dalam kecepatannya, sekitar jam 01.00 BBWI, tiba-tiba bis oleng hebat dan tidak terkendali. Orang-orang pada berteriak kalut dan ketakutan. Beberapa orang terlempar dari kursinya. Bis berhenti dalam keadaan miring di luar jalan. Orang-orang masih kalut dan berusaha keluar dari bis, namun pintu terkunci. Aeak bis mencoba untuk menenangkan penumpang, bahwa kondisi bis aman karena menyangkut pada sebuah pohon. Aku sempat beristighfar, kupikir bis masuk jurang dan nyankgkut pada sebatang pohon sehingga masih selamat. Setelah dengan susah payah aku keluar melalui pintu darurat, aku tertawa dalam hati bahwa ternyata bahwa kondisi bis yang kutumpangi, hanya miring 2 rodanya terangkat, dan ditopang oleh poohn. Sedangkan di bahwanya bukanlah jurang, melainkan hanya selokan. Oalah, menurutku tidak sepadan dengan ketakutan pada penumpang, termasuk dugaanku tentang ancaman bis masuk jurang tadi. Sopir bis menjelaskan ke beberapa penumpang bahwa dia mencoba untuk banting stir ke kiri dan keluar jalan, karena kalau tidak bis akan menabrak sebuah kendaraan kijang yang berisi penuh penumpang.

Aku termasuk beruntung bahwa saat ada bis lain yang berhenti aku bisa pindah bis. Aku tidur lagi, tidak sempat meladeni pertanyaan beberapa penumpang tentang apa yang terjadi. Sekitar jam 6 pagi, bis masuk jalan tol Cikampek. Saat bis berada di jalan tol, memasuki Cawang menuju Pulogadung, sekitar pukul 07.15 BBWI., aku sempat memaksakan awak bis untuk turun di tempat tersebut. Karena aku harus mengejar waktu ke kantor di Senayan. Bisa dibayangkan, kalo aku harus mengikuti jalur bis sampai ke Pulogadung, tentunya aku akan terlambat cukup lama. Sampai di kantor sekitar pukul 07.45 BBWI, aku absen, lalu mandi di kantor, dengan mata masih terkantuk-kantuk.

Tidak ada komentar: