Senin, 14 April 2008

Sepinya hari tanpa mereka

Siang hari, Minggu 15 April 2008, tingkat kekhawatiran makin menjadi. Aku bingung mau melakukan aktivitas apa hari ini, karena pikiranku tertuju pada HDSF yang sampai saat ini belum ada kabarnya. Mau menunggu kehadiran anak-anak sampai sore sesuai janji HN bahwa sore ini anak-anak akan dikembalikan, namun aku mengkhawatirkan bahwa dia akan ingkar janji. Aku ingin menghubungi beberapa nomor telepon, tetapi kusadari bahwa itu tidak bisa kulakukan karena handphone Motorola A925ku rusak. Lalu aku ke wartel, menghubungi Bapak di Kadipaten Jogja. Ternyata beliau pun sedang mengalami kekhawatiran yang sama. Beliau mengharapkan agar aku terus memantau keberadaan HDSF. “Kami tidak bisa tidur semalaman karena memikirkan hal ini mas”, ungkap beliau. Tampak kesedihan beliau atas kejadian ini. Akupun mencoba menghibur beliau dan diriku sendiri dengan mengemukakan rasa optimismeku bahwa sore ini HDSF akan kembali, karena kondisi apartemen mamanya tidak memungkinkan untuk membawa serta anak-anak dalam waktu yang lama. Di tengah-tengah pembicaraan dengan Jogja, ada telepon dari AM, adik kandung HN yang saat ini dimisilinya cukup jauh di sebuah pulau Indonesia bagian timur. Rupaya dia ada informasi penting mengenai hal ini.

Aku segera melakukan kontak dengan AM secara langsung. Ternyata AM bisa baru saja kontak dengan mbak UM yang ada di Ciledug, membicarakan soal HDSF. Dia bilang bahwa mbak UM menceritakan saat ini HDSF dibawa ke apartemen HN, dai mbak UM menyarankan agar HDSF diambil oleh keluarga Jogja. Inilah ide yang menurutku benar-benar fatal, berpotensi menjadikan HDSF sebagai objek perebutan dan ada upaya kesengajaan untuk menciptakan barrier diantara HDSF dengan diriku. Hal ini tampak dari cara-caranya mengambil HDSF dengan sepihak, lalu membuat keputusan-keputusan sendiri dengan mengabaikan diriku sebagai orangtuanya. AM sendiri juga akan menanyakan perihal rencana dan konsep yang ada pada diri HN untuk masa depan HDSF, semisal kalau memang HN berkeinginan untuk merealisir hak asuh yang dimenangkannya di Pengadilan Agama namun di sisi lain dia tidak bisa merawat karena tidak memiliki kapabilitas. Menurut AM, judgement HN yang akan menitipkan HDSF ke pihak lain, dengan mengabaikan preferensi kedua yakni diriku, semestinya ada kejelasan peran dan tanggungjawab HN sendiri dengan pihak yang dititipinya. Untuk itulah AM ingin meminta kejelasan konsep dari HN sendiri mengenai hal ini.

“Dia tidak bisa begitu saja mengambil HDSF dari mas. Kalau dia tetap melakukan itu, kemudian dia menitipkannya pada pihak lain maka dia harus siap secara finansial untuk memenuhi kebutuhan anak-anak sampai dewasa”, kata AM. “Sementara itu, saya kira mas bisa melakukan upaya secara hukum untuk mengambil hak asuh atas anak”, tambahnya. Soal tanggungjawab secara finansial ini tadinya tidak menjadi isu penting bagiku. Namun aku baru tahu ternyata bagi HN itu merupakan isu penting. Satu hal yang pasti HN di satu sisi merasa tidak memiliki kapasitas membesarkan anak-anak, tetapi ingin mengalihkan anak-anak dariku untuk diserahkan kepada pihak lainnya. “Saya akan coba kontak HN mas. Semoga saja hari ini HDSF dikembalikan lagi kepada mas, karena toh anak-anak harus sekolah”, kata AM. Aku agak lega dengan informasi ini, namun masih banyak pertanyaan dan kegalauan yang berkecamuk dalam pikiranku.

Sekitar pukul 14.00 BBWI, karena rasa kegalauan dan kekhawatiran kalau saja HDSF tidak dipulangkan sore ini maka aku setengah memaksa kepada Encik untuk kuajak mencari apartemen HN. Awalnya dia bilang bahwa tidak begitu tahu lokasinya karena dari stasiun Gondangdia bajaj yang dikendarainya sengaja dibuat mutar-mutar terlebih dahulu sebelum sampai ke apartemen HN. Namun dengan sedikit upaya dan setengah memaksa aku berhasil membawa dia untuk mencari apartemen yang dimaksud.

Perjalanan menuju apartemen atau apalah namanya, cukup panjang rute dan waktu yang harus kami lalui. Dari stasiun Bekasi ternyata tidak bisa langsung ke stasiun Gondangdia, melainkan harus ke kota terlebih dahulu. Dengan Kereta Express kami, yakni aku, Encik dan anaknya ke stasiun kota dan berlanjut ke Gondangdia. Setelah itu kita naik bajaj. Ternyata lokasi tempat tinggal baru HN tidak begitu jauh dari kampus MM UGM. Mungkin HN memang mencari tempat yang dekat agar bisa menyelesaikan kuliah S2nya, yang setahuku sudah beberapa kali mendapatkan peringatan agar segera menyelesaikan studinya.

Rumah itu ternyata bukanlah apartemen seperti yang kusangka semula, melainkan kos eksekutif. Tempat-tempat seperti ini memang banyak bertebaran di sudut-sudut ibukota. Banyak kalangan eksekutif muda yang lebih nyaman menempati kos-kos eksekutif seperti ini, karena fasilitas yang relatif lengkap dan terutama jarak dengan tempat kerja dapat dijangkau dengan cepat dan mudah. Kata Encik, tempat ini banyak dihuni oleh para wanita simpanan atau isteri kedua. Entahlah. Itu bukan urusanku. Di depan rumah ada sebuah rumah sakit yang tidak begitu besar namun tampak nyaman. Akupun menunggu di warung kopi di sebelah rumah tersebut.

Di tengah-tengah aku menyeruput kopi susu yang masih panas itu, tiba-tiba Encik muncul kembali dan menyampaikan bahwa HN dan HDSF sejak pagi sudah pergi keluar rumah. “Saya sempat masuk kamarnya dan ada kartu nama ini pak. Saya akan coba untuk menelepon dia”, katanya. Sempat aku melirik sebentar kartu nama yang dipegangnya. Aku sempat baca jabatan dia saat ini, senior manajer di sebuah cabang di sekitar Jakarta Kota. Aku persilakan Encik untuk meneleponnya, karena akupun ingin segera mendapatkan kabar tentang anak-anakku.

Sepulang dari wartel, Encik agak tergopoh-gopoh dengan sinar mata cukup gembira. “Pak, saat ini anak-anak sudah ada di rumah saya. Saat saya menelepn, Bu HN baru saja tiba di depan pintu rumah saya. Katanya HDSF dia tinggal disana, karena dia buru-buru dan tidak mungkin bisa menunggu saya”, lapornya. Alhamdulillah. Aku sangat bersyukur dengan kabar ini. “Kita harus segera pulang. Kasihan HDSF kalau menunggu terlalu lama”, kataku. Awalnya kita mau naik taxy, tapi pasti di hari Minggu seperti ini jalan tol masuk Bekasi biasanya macet. Akhirnya kita pulang dengan rute yang sama. Ke stasiun kota, lalu berlanjut ke Bekasi. Perjalanan yang makan waktu sekitar 1 jam itu rasanya berjalan dengan lambat, karena sudah terbayang aku akan ketemu HDSF setelah mengalami kekhawatiran tentang keberadaan mereka selama dua hari.

Begitu sampai di rumah, anak-anak menghambur ke pelukanku. “Papa…, kenapa lama sekali…”. HD menangis, karena merasa mengunggu terlalu lama. Dia menunggu ke rumah kontrakan sebelahku, dan tadi banyak dihibur agar tidak terasa dalam penantiannya menunggu kepulanganku. Sedangkan SF tampak ceria, main-main di depan rumah. Dia berlarian menuju ke arahku. Aku memeluk mereka dengan haru dan perasaan lega sekali.

Malam ini aku menawarkan mereka untuk makan malam sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Serempak mereka bilang, Steak….! Malam itu kita makan di Steak Obong, sebuah waralaba steak yang berasal dari kota Jogja. Sampai di rumah, aku melewatkan malam dengan banyak bercanda dan ngobrol dengan mereka. Cukup larut, sekitar tengah malam baru kita tidur. Betapa berbeda kurasakan malam kemarin dengan malam ini. Aku lega dan bersyukur anak-anak sudah kembali.

Tidak ada komentar: