Minggu, 06 April 2008

Ke Jogja lagi menjemput si kecil...

Hari ini, Jum’at 4 April 2008. Sejak di kantor aku udah gak concern berkativitas di kantor. Kebetulan emang gak terlalu ada erjaan karena ebberapa advis usulan kredit udah aku selesaikan minggu ini. Hari ini aku akan ke Jogja, menjemput HDSF. Sudah seminggu aku di Jakarta (Bekasi tepatnya), rasanya cukup berat menjalani hari-hari tanpa ada canda, tanpa ada ketawa, tanpa ada sesuatu permintaan dari mereka, hari-hari kujalani terasa begitu sepi. Aku ingat, hari Senin kemarin, pada saat hari pertama aku menjalani aktivitas sepulang dari kantor tanpa ada mereka, aku sempat agak nervous saat tidak bisa melakukan kontak dengan anak-anakku. Telpun rumah Jogja tidak bisa dihubungi, begitu juga handpohe Bapak Jogja. Parahnya lagi, charger handponeku saat itu juga ketinggalan di Jogja. Charger itu sendiri baru aku terima hari Selasa 31 Maret 2008 yang lalu, saat adikku AM ke Jakarta, dimana kami janjian ketemu di Universitas Trisakti. Kebetulan adikku lagi ada kerjaan riset bersama dengan teamnya mbak KH, seorang doktor Ekonomi Trisakti. Disana sempat nngobrol dengan dosen muda feugm yang dalam pooling mahasiswa selalu mendapat nilai terbaik dimata mahasiswa, Pak ER. Kebetulan adiknya, namanya ER juga, menjadi teman satu kelasku di S1 dan S2. Baru setelah aku bawa handphone lengkap dengan chargernya, setelah beberapa puluh kali lagi aku dial nomor rumah, akhirnya bisa nyambung lagi. Ternyata ada masalah di kabel telepon. Setelah itu, aku kirim pulsa three ke communicator HDSF, dan selama seminggu kita bisa kontak secara rutin. Senang sekali rasanya mendengar suara mereka.

Habis Jumatan di BPK Jl. Gatsu Jakarta, aku baru kembali ke kantor sekitar pukul 16.00. Dan setengah jam kemudian aku pamit untuk pulang lebih cepat karena mau keluar kota. Hari itu aku sebenarnya merasa kurang sehat. Dari kantor naik bis, masuk tol, turun ke terminal Pulogadung. Kalau tidak salah ingat, terakhir kali aku ke terminal ini, untuk pulang kampung ke Wonogiri, Solo atau Jogja mungkin sekitar tahun 1997an. Ternyata sudah 10 tahunan aku tidak ke terminal ini. Biasanya, 10 tahun yang lalu aku males sekali masuk terminal karena pasti akan menjadi sasaran para calo tiket, ditarik-tarik dengan setengah memaksa untuk ikut bis yang dia mau. Kali ini, aku pede aja masuk terminal, dan dengan enaknya aku beberapa kali menepis para calo-calo tiket. Karena tidak banyak alternatif bis, aku langsung mendapatkan bis. Alhamdulillah, bis tidak terlalu penuh. Sepanjang jalan, sekitar 80% aku nikmati perjalanan dengan tidur pulas. Jam 04.00 bangun saat istirahat di sebuah restoran. Aku bersih-bersih diri dan sholat. Tidur lagi. Bangun-bangun ternyata sudah nyampe di terminal Joga.

Nyampe terminal Jogja, aku sempatkan mandi di kamar mandi yang, alhamdulillah, cukup bersih, tidak seperti yang kubayangkan seperti kamar mandi di terminal pada umumnya.

Dari terminal aku cobain naik transjogja ke stasiun Tugu. Kendaraan cukup nyaman, sebagaimana busway di Jakarta. Tentu saja, seski tidak ada jalur sendiri, kendaraan ini tidak banyak mengalami kemacetan. Bedanya, pengguna kendaraan ini bejubel dan tidak sebanyak di Jakarta. Sepanjang mata memandang beberapa kendaraan Transjogja yang lalu lalang, aku lihat penumpangnya sepi-sepi aja. Sampe di Stasiun Tugu, aku segera menuju reservasi tiket Taksaka. Di depan petugas loket, ternyata tinggal tersisa dua buah tiket, sedangkan yang kubutuhkan tiga buah tiket. Kuputuskan untuk membeli dua tiket tersebut. Masalah kekurangan, itu urusan nanti. Pasti bisa dibicarakan diatas kereta. Dari Tugu aku sempat beli kue Srabi Notosuman, lalu langsung ke Kadipaten. Rasanya aku sudah tidak sabar untuk segera ketemu sama anak-anak.

Sekitar pukul 10.30 aku baru nyampe di Kadipaten. Di depan pintu aku ketuk, assalamu’alaikum. Aku langsung masuk ke kamar tamu, ke ruang tengah, kosong. Ternyata mereka ada di kamar. Begitu mereka melihatku, langsung berteriak, “Papa....SF..., papa udah dateng.......!”. Mereka langsung rame dengan berbagai cerita. SF ke dapur, dan membawa bungkusan kue dan bilang bahwa ini telah disiapkan olehnya untukku. Aku membuka tas, dan memberikan dia boneka seperti yang dia pesan. Dia senang sekali. HD sempat protes,”Papa, tadi padi beberapa kali aku telepon tidak bisa, kenapa? Pasti belum di charge kan?”, keluhnya. Pagi itu Ibu Jogja sedang ke pasar, sedangkan Bapak Jogja sedang mengajar pada sebuah training. Anak-anak bermain berdua di dalam kamar.

Hari ini kita full jalan-jalan di lokasi-lokasi wisata terdekat. Pertama, ke kraton, hehehe. Jarak Kadipaten dengan kraton ini bisa dicapai dengan jalan kaki, saling dekatnya. Rasanya agak aneh, kita dibawa oleh seorang pemandu wisata di dalam keraton. Sebenarnya cuman di sekotar beranda kraton saja, karena suasana dalam kratonnya sendiri kalo siang dan sore hari sudah tutup. Aku ambil gambar HDSF di depan kraton. Disana sempat ditawarin sebuah lukisan wayang, oleh seorang Pemandu Wisata berblangkon khas Jogja, dan kita saat dibawa ke sebuah sanggar. Sempat terhanyut oleh cerita Pemandu Wisata tentang Sejarah Sultan HB dan ujung-ujungnya mereka menawarkanku lukisan berharga dollar yang aku tidak tahu nilai manfaatnya. Nyaris saja beli seandainya di counter mereka ada alat gesek debit atau credit card. Alhamdulillah tidak ada sehingga tidak jadi.

Setelah itu kita ke Taman Pintar. Sebuah area yang menurutku cukup bagus sebagai tempat rekreasi buat anak-anak, sekaligus sebagai tempat belajar dan merangsang daya tarik anak-anak terhadap berbagai produk peralatan iptek. Kata HD, seharusnya namanya bukan Taman Pintar tapi Taman IPA. “Karena isinya hanya berkutat pelajaran dan masalah-masalah IPA, seperti energi, bumi, planet, komunikasi, listrik, teknologi dan lainnya”, katanya. Bagus. Banyak alat-alat peraga yang unik dan bisa menjelaskan berbagai fenomena alam dan rumus-rumus IPA. Kalau saja masa kecilku sempat menjumpai alat-alat peraga seperti ini, mungkin saja minatku pada pelajaran IPA akan lebih tinggi. Beberapa lama di Taman Pintar ini, aku jadi teringat bahwa di sekitar lokasi ini dulunya ada Shopping Centre Bookstore, tempat yang saat aku kuliah dulu sering berlama-lama untuk sekadar beli buku di tempat ini. Aku tidak tahu para pedagang itu pindah kemana setelah tempat ini menjadi area Taman Pintar ini. Sempat tadinya aku ingin mengajak HDSF ke Gramedia atau Social Agency, sekadar bernostalgia dan mengajak anak-anak untuk lebih suka dengan buku. Namun kupikir, untuk saat ini sungguh tidak bijaksana kalo aku melibatkan mereka pada hal-hal serius, saat mereka sedang dalam suasana santai, karena mereka pasti tidak akan menikmatinya.

Dari Taman Pintar, tadinya anak-anak minta ke Kidfan. Tapi berhubung lokasinya agak jauh, sekitar 10an km, arah Jogja-Wonosari, aku usulkan untuk ke gembira loka saja. Mereka setuju. Aku rasanya semakin mengenal betapa mereka itu tingkat pengertiannya cukup tinggi saat aku memberikan alasan-alasan dan pertimbangan logis terhadap sesuatu pilihan. Mereka tampak enjoy, karena memang pada dasarnya suka melihat berbagai binatang, meski beberapa hari yang lalu mereka sudah mengunjungi tempat ini bersama Ibu Jogja. Motor Honda yang kami kendarai, bertiga, meluncur ke lokasi dimaksud. SF sempat berkomentar heran saat nyampe lokasi. “Kok cepat sekali papa, padahal kemarin kita lama sekali nyampe tempat ini bersama Eyang Putri”, katanya. Aku tertawa mendengar kepolosannya. Tentu saja, sayang, karena kemarin kan naik bis kota sehingga terasa lebih lama. Dan tentunya emang lebih lama. Dan juga, kurasakan naik motor di kota seperti Jogja atau Wonogiri emang rasanya jauh lebih nyaman dibandingkan dengan naik motor di Jakarta.

Awalnya kupikir lokasi wisata ini tidak terlalu luas. Ternyata dugaanku keliru. Saat aku sudah kehabisan energi dan kecapean berjalan kaki, ternyata anak-anak seolah tidak lelah, dan terus menarikku untuk melihat berbagai satwa lainnya yang belum sempat dilihatnya. Tempat dan suasana kebun binatang di Jogja ini menurutku tidak begitu terawat. Variasi aneka satwa juga terkesan apa adanya. Pertunjukan satwa unik dan atraktif mungkin juga minim. Dibandingkan dengan saat pertama kali aku kesini saat masih di sekolah SD dulu, mungkin tidak terlalu banyak ada perubahan. Lihat betapa jauhnya apabila dibandingkan dengan fasilitas dan aneka pertunjukan di kawasan wisata Safari Puncak misalnya. Namun, yang penting, kulihat anak-anak begitu menikmati perjalanan ini. Mereka berlarian dari satu tempat ke tempat lainnya, mencari dan melihat berbagai jenis satwa, mengambil gambarnya, memberikan makanan daun-daunan dan lain sebagainya.

Dari kebun binatang, kami melanjutkan perjalanan. Kami mampir ke sebuah lesehan di depan Kraton Pakualaman Jogja. Aku teringat bahwa tempat ini merupakan salah satu tempat favorit untuk lesehan bersama ibunya anak-anakku. Aku hanya sekilas saja teringat hal ini, karena emang tidak mungkin untuk begitu saja melupakannya. Tetapi aku mampir ke tempat ini sama sekali bukan dalam kerangka nostalgia itu, tapi karena emang teh pocinya itu menurutku enak sekali. Manis dan mantap. Rasa teh yang begitu mantap seperti tempat ini, dan tempat-tempat lainnya emang hanya bisa kujumpai saat berada di Wonogiri, Solo atau Jogja. Dan tampat ini adalah salah satunya. HDSF makan nasi goreng ndeso, yang bumbunya jauh lebih terasa dibandingkan dengan nasi goreng yang biasa kita jumpai di Jakarta.

Dari tempat ini, perjalanan berlanjut. Kali ini kita ke alun-alun selatan. Tampak pemandangan keramaian khas Jogja. Tempat ini sejak dulu emang menjadi tempat orang-orang bersantai, bermain di lapangan yang teduh karena ada dua buah pohon beringin besar dan dikelilingi bangunan-bangunan tembok kraton yang tampak makin eksotik. Kita parkir di sebuah lesehan wedang ronde. Di sisi depan pintu gerbang kraton, tampak ada keramaian orang yang berjalan dengan mata tertutup kain. Rupanya legenda bahwa seseorang akan sulit berjalan lurus melewati tengah-tengah pohon beringin ini masih dipercaya sepanjang masa dan pasti akan masih ada di waktu-waktu mendatang. Aku belum pernah mengujinya. Di sisi lain, di pinggir lapangan, tempat penuh orang. Tua muda, anak-anak. Tempat ini emang cukup lapang bagi masyarakat Jogja yang ingin menikmati suasana, lesehan dan sekaligus sebagai arena main untuk anak-anaknya. Ada beberapa anak yang naik kuda berkeliling lapangan. Di seberang lapangan, tampak dua ekor gajah berukuran besar, berputar-putar pada jalurnya, dengan dinaiki oleh tiga atau empat orang sekaligus. Seketika HDSF mengajakku mencoba menaiki gajah tersebut. Sempat dua kali naik gajah. Putaran pertama kita bertiga, setelah kita sempat minta tolong pawang gajah untuk mengambil gambar kita. Sedangkan pada putaran kedua, hanya mereka berdua yang naik gajah dan kali ini aku yang menjadi juru fotonya. Anak-anak heran dan takjub saat sang pawang beberapa kali menginstruksikan sang gajah untuk berhenti, dan bergaya untuk diambil gambarnya.

Dari tempat ini kita mencari masjid untuk sholat Ashar. Tentu sekaligus sholat Dhuhur. Ini sudah menjadi kebiasaanku, untuk selalu mempergunakan fasilitas jamak dalam perjalanan. Aku bukannya sekadar mencari kemudahan atas perjalanan yang sedang aku lakukan. Tapi yah, menurutku kalo memang ada kemudahan, kenapa musti mencari yang sulit. Ini yang selalu menjadi dasar dan alasan hukum untuk selalu melakukan jamak saat di perjalanan. Aku sempat nervous saat sampai keempat atau kelima kalinya aku menjumpai musholla, namun pintunya terkunci. Rasanya agak aneh dan aku jarang sekali menjumpai hal seperti ini sebelumnya di kota Jogjakarta yang terkenal dengan keterbukaannya ini. Menurutku agak berlebihan saat sebuah musholla dikunci hanya sekadar karena khawatir berisiko kehilangan barang-barang atau aset yang ada di dalamnya. Bukankah mustinya kita lebih khawatir apabila sebuah musholla jarang digunakan untuk sholat, juga oleh para musafir yang sangat membutuhkan tempat sholat yang nyaman seperti aku pada saat ini? Akhirnya setelah muter-mutar, aku teringat bahwa ada masjid Muhammadiyah di Beteng Winangun Kadipaten Wetan mestinya tidak tutup. Dugaanku benar. Akhirnya kita bertiga sholat disana. Habis sholat kita pulang. Istirahat. Mandi.

Malam ini aku kembali pada obrolan yang serius dengan Bapak dan Ibu Jogja tentang rencana kami berikutnya, terutama berkaitan dengan masa depan HDSF. Beliau kali ini banyak berpesan dan memberikan support moral dan doa bagiku untuk merawat cucu-cucu mereka dengan sebaik-baiknya. Aku menangkap adanya kesan bahwa keinginan yang menggebu pada beliau untuk merawat anak-anak sudah agak mereda. Beliau hanya menyampaikan bahwa dengan tangan terbuka bersedia untuk membantu merawat dan membesarkan anak-anak, tentu saja kalau orangtuanya ikhlas. “Namun perlu dicatat, kami hanya mau terima dari mas, bukan dari HN yang anak kandung kami sendiri. Kami sadar bahwa meskipun secara hukum dia yang punya hak asuh bagi anak-anaknya, namun kami telah melihat dengan mata kepala kami sendiri bagaimana tanggungjawab dia terhadap HDSF”, katanya. Dari Beliau sempat terungkap juga bahwa ternyata HN awalnya setuju agar anak-anak dirawat di Jogja dengan beberapa syarat, yang disampaikan melalui tante UM kepada Bapak Jogja. Syarat pertama, agar seandainya anak-anak di Jogja jangan sampai tahu masalah orang tuanya. Kedua, HN tidak mau bertanggungjawab secara finansial. Dengan berbagai syarat tersebut, menurut Bapak Jogja sudah semakin jelas kepada siapa mereka bisa bicara, berkonsultasi dan berdiskusi mengenai masalah anak-anak, yakni dengan denganku, dan bukan dengan ibunya anak-anak. “Mas jangan pernah sungkan untuk selalu kerkomunikasi dengan kami, menjaga silaturrahmi. Jangan pernah berpikir bahwa rumah Kadipaten ini adalah rumah HN. Ini adalah rumah kami. Sebagaimana kami berulangkali mengatakan bahwa mas sudah kami anggap sebagai anak kami sendiri. Demikian juga AM anak kami sudah menganggap mas sebagai kakaknya. Dan anggaplah kami sebagai orangtua mas, sebagai pengganti Bapak mas yang sudah tiada”, uangkap beliau dengan tulus dan bijak.

Kusampaikan kepada beliau bahwa dengan keterbatasan yang ada saat ini, baik secara finansial maupun lainnya, aku akan berupaya semaksimal mungkin merawat, membesarkan, melindungi, menjaga, mendidik anak-anak. Beliau menguatkan bahwa roda akan selalu berputar. “Saat ini mungkin mas berada pada titik nadhir, titik bawah. Sangat berat yang mas hadapi. Tapi dengan tawakkal, mudah-mudahan mas akan berhasil naik kelas”, pesan Beliau. Yah, titik nadhir. Beliau mungkin sudah mendengar bagaimana anaknya menghabiskan harta yang sebenarnya dilindungi oleh koridor hukum baik agama maupun negara. Sebagian besar aset yang sudah dikuasainya, antara lain 2 buah rumah, mobil tabungan dan rekening utangku. Belakangan, kudengar HN justru kehilangan uang yang mungkin nilainya setara dengan yang dikuasainya secara tidak sah. Informasi yang kuterima, --yang aku tidak tahu seberapa tingkat validitasnya- HN kehilangan uang antara lain ke Dukun BY diatas Rp. 100 juta, dukun Ki GB sebesar Rp. 130an juta. Rugi dalam bisnis future market dengan melalui broker PT. Solid Gold Futures sebesar Rp. 150juta-200an juta. Lalu masih ada lagi biaya lawyer fee dan biaya lainnya yang ditimbulkan oleh nafsunya yang demikian ingin memenjarakanku senilai Rp. 80an juta. Total, barangkali angka Rp. 500an juta juga terlewati. Aku tidak tahu seberapa tingkat kebenaran informasi ini. Beberapa informasi pasti benar, yang lain aku hanya dengar-dengar saja Yang jelas, terhadapku seringkali HN bersikap arogan, selalu mengatakan punya banyak uang, mobil, dan juga rumah yang sudah dibelinya. Sedangkan faktanya, sepeserpun uang keluar darinya untuk anak-anak, menjadi pemandangan yang sangat langka. Gaji Encik yang dengan sabarnya membantu dia, mencucikan pakaian dan membersihkan kamar, dan memenuhi berbagai kerewelannya, kabarnya juga belum dibayar. Yah, urusan-urusannya yang demikian complicated itu emang sama sekali bukan kompetensiku dan aku tidak ingin melibatkan diri tahu terlalu banyak apa urusannya. B
agaimanapun aku harus bersukur bahwa masih ada jalan bagiku untuk bersama dengan anaik-anak. Dan hal yang seringkali aku merasa bersyukur, keberadaan anak-anak ini juga sering menjagaku untuk senantiasa istiqomah di jalan-Nya. Dalam suasana dan keadaan seperti ini, tantangan untuk senantiasa berada di jalan istiqomah dan agar dijauhkan dari godaan-godaan kenikmatan duniawi, kuakui bukan hal yang mudah untuk kudapatkan. Dalam turbulensi dan volatilitas berbagai terpaan ujian, aku juga merasakan adanya gelombang naik turunnya tingkat keimanan. Saat gelombang turun, downtrend, seringkali keberadaan anak-anak akan mengembalikanku pada fithrah untuk tetap menjaga komitmen, konsistensi dan istiqomah, dan mengabaikan godaan-godaan setan yang terasa begitu gencar dari depan, samping dan belakang.

Dalam diskusi dengan Bapak Jogja aku secara gamblang juga menyampaikan tahapan-tahapan jangka pendek satu dua bulan sampai setengah tahun di Jakarta. “Sesampai di Jakarta, kami langsung menempati rumah kontrakan Pak. Meskipun kami menempati rumah kontrakan, dengan segala keterbatasan resources yang ada pada kami, akan saya maksimalkan untuk kenyamanan anak-anak”, kataku.

Malam ini aku sempat mendapat tamu, temanku AS. Dia dulunya seorang aktifis organisasi mahasiswa Islam ekstra universiter terbesar di Indonesia. Dia ketua cabang di Jogja. Isterinya adalah IN seorang muslimah yang sangat santun, putih, cantik, cerdas, sholikhah, halus budi pekerti dan bahasanya. HN dulu sering cemburu saat mengetahui aku sering main ke kostnya IN. Aku masih teringat, dalam suatu kunjunganku bezuk terhadapnya saat sakit di rumah sakit Sardjito, aku sempat menjumpai suatu pemandangan percakapan yang sangat langka terjadi. Sungguh sangat langka dan aku jarang menjumpainya, saat seseorang wanita berbicara dengan bahasa Jawa yang super, bahkan ultra halus kepada ibundanya. Dia menggunakan bahasa Jawa yang super kromo terhadap Ibundanya. Bahasa-bahasa yang aku tahu artinya tetapi sama sekali sulit untuk mengucapkannya dengan runtut. Aku sempat berkata dalam hati bahwa sungguh beruntunglah laki-laki yang akan menjadi suaminya. AS sendiri tidak lulus kuliah, tepatnya tidak mau meluluskan diri. Memang di organisasi ini ada beberapa orang yang dalam pengembaraan intelektualnya telah membawa pikirannya untuk berkesimpulan bahwa ijazah S1 bukanlah apa-apa. Ada beberapa orang. Mungkin mereka terinspirasi pada orang-orang seperti Emha Ainun Nadjib yang sempat kuliah 6 bulan di kampusku, atau beberapa orang spesial lainnya. Dan biasa orang-orang yang sampai pada pemikiran seperti itu bukanlah orang yang biasa-biasa saja. Artinya potensi kecerdasannya, keinginan untuk survival tanpa ijazah S1, totalitasnya untuk berpegang teguh pada pendirian dan menanggung berbagai konsekuensinya, dan lain-lain, bagaimanapun kuakui dalam beberapa hal aku salut. Yang jelas aku tidak mungkin bisa seperti mereka. Bagiku pendidikan adalah penting, inclusif dengan berbagai ijazah dan embel-embelnya. Meski dalam beberapa hal aku salut, namun aku tetap saja menyayangkan kenapa mereka tidak menyelesaikan kuliahnya. Aku setuju bahwa selembar S1 memang bukan berarti apa-apa. Artinya nilai jual, comparative dan competitive advantage ijazah S1 saat ini tidak begitu berarti untuk arena persaingan saat ini. Namun ijazah S1 akan sangat berarti bagi pengembangan pendidikan dan wawasan di kemudian hari. Untuk mengambil kuliah S2 sampai S3 dan berbagai course lainnya. Dan juga, masyakarat masih menganggap bahwa title seseorang akan memberikan bobot terhadap kualitas statemennya. Aku jadi teringat bahwa beberapa waktu yang lalu sempat ngobrol di TIM dengan salah seorang seniorku yang dikenal sebagai salah satu legenda aktivis demonstran di Jogja di tahun 1990an. Dia juga tidak meluluskan kuliahnya di feugm. Saat ini menjadi "semacam" konsultan politik salah satu menteri. Meski tidak eksplisit, aku menangkap ada penyesalannya kenapa tidak menyelesaikan kuliah. Karena saat dia memimpin sebuah asosiasi wartawan di Indonesia, dia sering sekali mendapatkan tawaran scholarship dari sponsor NGO di luar negeri untuk kuliah ke luar negeri, dan dia hanya bisa memberikan rekomendasi ke beberapa yuniornya. Dan pada akhirnya saat ini dia terpaksa, tentunya setelah mengorbankan perasaan gengsi dan harga dirinya, dia melanjutkan kuliah di UMY Jogja. Tidak banyak yang mengetahui hal ini karena mungkin dia akan merasa gengsi kuliah lagi, dan aku adalah salah satu yang mengetahuinya dari dia sendiri secara langsung. “Rektornya temenku, hehehe.... dosen-dosennya juga adik-adik kelasku, sehingga aku tidak perlu kuliah di kelas”, katanya. Karena saat ini dia lebih banyak di Jakarta dan tidak memenuhi standar presensi kuliah di kelas, ternyata ada juga satu dua dosen yang tidak mau tahu dengan hal itu, dan seringkali itu membuat dia mengalami kesulitan dengan kelancaran kuliahnya.

Kembali ke temanku AS tadi. Dia saat ini juga mencoba untuk menjadi enterpreneur. Dia membuka penerbitan dan berbagai aktivitas sosial. Sudah ada 10 buku yang diterbitkannya. Aku pernah beberapa kali mendapatkan buku darinya. Namun menurutku bahasanya terlalu sastra dan melodramatik. Dia kuliah di teknologi pertanian, tidak lulus. Lalu sempat ingin belajar otodidak makroekonomi. Dia juga seorang penggemar seni dan sastra. Di Jogja dia sempat dikenal sebagai Budayawan muda. Beberapa lembar aku baca bukunya, kayaknya gak nyambung deh. Buku karyanya tebal-tebal, 300-an halaman. Beberapa bukunya mengulas tema Sufistik Jalaluddin Rumi. Ada juga tentang Syech Siti Jenar. Juga beberapa buku tentang Wanita.

Malam ini aku tidur tidak telalu malam. Habis sholat Maghrib dan Isya’ sama anak-anak, kita langsung tidur. Aku emang merasa kurang enak badan. Indikatornya, aku sempat kepayahan mengikuti jalan anak-anakku tadi siang, terutama di kebun binatang gembira loka. Aku tidur dengan Syifa, sedangkan Huda dengan Eyang kakung dan Eyang Putrinya.

Tidak ada komentar: