Rabu, 02 April 2008

Sebuah desa di lereng Gunung Merapi

Sabtu, 29 Maret 2008. Pagi-pagi aku sudah dibangunin Huda. Aku agak geragapan karena hari ini aku bukan tidur di rumahku. Aku tidur di rumah mantan mertuaku, Bapak Jogja, yang sudah kuanggap sebagai orangtua sendiri. Mereka juga berpesan agar aku tidak perlu sungkan dan berpikir yang enggak-enggak saat tidur di rumahnya. “Anggap saja seperti yang dulu, karena kami juga mengganggap mas sudah seperti anak kami sendiri”, kata beliau. Aku geragapan saat dibangunkan Huda, “Masya Allah, sudah jam berapa ini, Masda”, tanyaku. Ternyata sudah jam 05.30 BBWI. Alhamdulillah, tidak telat-telat amat untuk sholat Shubuh. Di ruang tengah, Ibu dan Eyang Semarang sudah tampak rapi membaca Koran dan mengobrol. Aku segera sholat.

Pagi ini aku kembali berbincang dengan Eyang Semarang tentang banyak hal kehidupan, agama, pendidikan, ibadah, ujian hidup dan lain-lainnya. Dalam usianya yang telah 85 tahun, aku kagum dengan kejernihan, kepedulian dan keprihatinan beliau tentang berbagai persoalan dalam masyarakat.

Di tengah-tengah kami ngobrol, sekitar jam 10.00 BBWI adikku, AM datang. Dia dosen di feugm. Kami ngobrol bertiga.

Tak lama kemudian temanku, NR, datang. Dia adalah salah satu karibku yang kami cukup saling mengenal satu sama lain, saling bantu, di saat-saat akhir masa kuliah. Saat kami sama-sama ingin segera menyelesaikan studi, sekaligus memiliki aktivitas yang sama sebagai asisten dosen dan asisten peneliti. Saat kami sama-sama mengalami persoalan finansial sehingga membuat kami harus bekerja dan mengcreate income sebagai asisten. Saat-saat kami mengalami persoalan yang sama memiliki pacar yang seringkali bermasalah. Ya, kami memang sama-sama memiliki pacar yang dikategorikan sebagai orang yang sulit. Pacarku saat itu, --yang akhirnya menjadi isteriku dan saat ini terbukti sebagai orang yang sulit, mengganggapku sebagai musuh nomor satu di dunia, seperti yang sering dikatakannya— seringkali menjadi mudah saat diajak guyonan oleh karibku itu. Dan sebaliknya, saat pacar dia ngambeg –yang saat ini menjadi isterinya-- , maka biasanya kami sama-sama mencari cara dan metode untuk mengatasinya. Pendek kata, kami sama-sama saling bantu dan support, dalam suka dan duka. Saat aku butuh motor untuk menjemput pacar, atau mencari prospek atau taaruf, ke rumah mahasiswi lain, aku biasa pinjam motornya. Sampai saat kami lulus, kami masih suka saling support. Cuman karena kendala teknis domisili yang berbeda antara kali sudah lama tidak ketemu. Waktu ketemu terakhir kali, dia masih jadi dosen di salah satu PTS di Jogja. Dan seperti biasa, dia masih dalam tingkat kesulitan likuiditas. Beberapa pertemuan terakhir, saat dia butuh uang aku memberikannya dengan ikhlas. Meski dia bilang pinjam, aku bilang itu bukan pinjam. Ya, mungkin selama ini karena kesannya aku kerja di Jogja, di sebuah bank yang besar, dikiranya punya uang berlebih.

Terus terang saja aku agak malu dengan diriku sendiri kalo kuingat bahwa aku sempat berbisik pada adikku, “Nanti kalo NR mau pinjam uang, aku harus terus terang bilang kalo aku sedang tidak lukuid, karena dia tidak tahu persoalanku saat ini”. Terus terang aku agak malu karena telah suudzon, negative thinking dan under-estimate terhadap dia. Seperti biasa, begitu ketemu, dia ketawa lebar di teras. Kami ngobrol ngalor ngidul. Dia sempat nunjukin foto anaknya, 3,5 tahun. “Dan ini rumahku yang baru saja aku bangun di kampung, Cepogo Boyolali. Rupanya sejak kampusnya terkena gempa bumi besar di Jogja, dia keluar dari dosen, dan konsentrasi menjadi konsultan. Dia mendirikan lembaga riset bersama teman kuliah kami, JT, seorang dosen muda yang katanya saat ini menjadi raising starnya dosen di FE Undip Semarang. Dia bilang, “Aku mengalami sedikit lompatan peningkatan prestasi, setidaknya secara finansial, terutama setelah keluar dari dosen dan fokus di kegiatan consultancy”, katanya. Aku senang mendengarnya.

Lalu dia tanya,”Mana jeng ayune yang satu kok gak kelihatan?”. Rupanya masalahku belum diketahuinya. Aku memutuskan untuk menceritakan apa yang terjadi, daripada dia nantinya hanya sekadar mendengar selentingan kabar burung yang tidak jelas validitasnya. Akhirnya kami makan bersama di Pemancingan Galih, jalan Kaliurang. Tentu saja anak-anakku kuajak serta. Mereka senang,”Hore..., kita ke pemancingan..”, teriaknya. Kami berangkat dengan mobil Panthernya.

Sambil makan gurame baker dan ikan teri, serta menu lainnya, aku cerita tentang apa yang terjadi. Tidak ada maksud sama sekali bagiku untuk mengumbar cerita. Namun sungguh aneh rasanya saat seorang sahabatku, yang sejak awal sangat mengenal bagaimana suka duka bersama termasuk saat-saat proses pengenalan seorang wanita yang dalam perkembangan berikutnya sempat menjadi pendamping kita masing-masing. Dia sangat mengenal bagaimana seorang HN, sebagaimana juga kita sama-sama saling mengenal satu sama lain. Dia tidak begitu kaget saat mendengar kalo kita divorce. Hanya dia sempat kaget mendengar dampaknya yang berkepanjangan. Katanya,”Itu artinya dia emang sebenarnya masih mencintaimu, namun karena kalian yang sama-sama mengedepankan ego sehingga terjadi divorce, dan itu menimbulkan dendam yang amat sangat terhadap dirimu, yang akan sulit dihapuskan. Apalagi kita sama-sama tahu bagaimana wataknya”. Aku tersenyum pahit dan kecut mendengar komentarnya, dan menunjukkan sikap tidak setuju dengan statemennya. Tidak ada kamus lagi tentang hal itu dalam pikiranku. Selesai cerita rasanya aku plong, meski capek, namun terasa ada beban yang sangat berkurang. Terutama aku mengharap adanya advis dia dalam hal yang saat ini menjadi perhatianku, yakni mencari format dan solusi ideal untuk masa depan anak-anakku.

Habis makan kita bertolak ke luar kota. Rencana semula, aku bersama anak-anak mau melanjutkan silaturrahmi ke orangtuaku di Wonogiri, sedangkan NR balik lagi ke Boyolali, pulang ke rumahnya. Baru kuketahui bahwa ternyata karibku yang satu ini tinggal di Boyolali, bersama anaknya. Sedangkan isterinya sendiri tinggal di Jogja, di kos-kosan seperti dulu saat masih kuliah. “Lho, bagaimana kok bisa begitu?”. Menurutnya, isterinya sudah mencoba untuk tinggal di Boyolali, namun ternyata pola kehidupan disana terlalu berbeda dengan backgroundnya yang lebih banyak berada di tengah-tengah masyarakat perkotaan yang serba cuek dan individualistic. “Dia tidak kerasan tinggal di kampung, meskipun sudah aku buatkan rumah yang layak’, katanya. Yang penting, lanjutnya, kami sama-sama memutuskan ini untuk mendapatkan yang terbaik tanpa ada saling menyakiti. Dan kami sama-sama tahu konsekuensi atas apa yang kami pilih. Aku merasa jawabannya tidak tuntas, dan tampak ada sesuatu yang disembunyikannya. Tapi aku tidak mengejar dengan pertanyaan lebih jauh lagi. Yah, diantara teman-teman kita di Jogja, kami berdua ini sejak dulu memang sama-sama dikenal selalu berkutat dengan soal yang satu ini, bahkan semenjak kita sama-sama belum married, yakni bermasalah dengan pasangannya. Entah ngambeg, entah salah paham dan lainnya. Berkaca dari kejadian demi kejadian di masa lalu, saat belum married, mestinya aku lebih berhati-hati untuk mengambil keputusan untuk memilih pasangan dan masa depan. Aku jadi teringat bahwa dulunya mendiang ayahandaku sebenarnya kurang setuju dengan pilihanku. Namun dengan sikap demokratisnya, beliau tidak menyampaikan kepadakau secara langsung. Melainkan uneg-uneg beliau disampaikan melalui saudara-saudaraku lainnya. Katanya, beliau mengkhawatirkanku, mengingat sebelum married aja sudah sering bermasalah. Dan katanya, beliau sebenarnya berharap pada seorang gadis manis berjilbab, yang saat itu pernah kuajak ke rumah. Aku sering bilang ke saudaraku, seandainya saja waktu bisa berputar lagi, saat-saat itu aku mempunyai banyak pilihan. Setidaknya saat itu banyak gadis yang sedang kutaksir, hehehe, boleh kan sesekali geer dan percaya diri.

Setalah pamitan dengan keluarga di Jogja, kami seperjalanan menuju Solo. Rencananya aku akan ikut numpang ke Solo, dan selanjutnya kami akan travel atau bis di Solo untuk melanjutkan perjalanan ke Wonogiri. Ternyata dalam perjalanan kami demikian asyik cerita, di tengah-tengah hujan deras yang mengguyur Jogja-Klaten. Dia mengusulkan agar aku ikut dengannya ke Cepogo Boyolali. “Nanti biar aku suruh orang untuk mengantarkanmu dan anak-anakmu ke Wonogiri. Aku tidak bisa ikut ke Wonogiri karena aku harus menyiapkan materi presentasi besok di depan para pejabat Pemda Palembang”, usulnya. Sekitar jam 16.00 BBWI kami sampai di Cepogo Boyolali.

Aku teringat bahwa di desa ini ada beberapa temanku. 18 tahun yang lalu. Ya, waktu yang cukup lama dan tidak terasa saat ku teringat bahwa 18 tahun yang lalu aku pernah kesini. Menginap 2 hari di rumah temanku saat kuliah di Fisipol UNS. AZ nama temanku, puteranya Kepala Desa Tumang. Aku mengingat 2 hari disana. Desa yang dingin, dan memiliki potensi alam yang indah karena berada di lereng gunung Merapi dan Merbabu. Dan desa ini dikenal pusatnya kerajinan kuningan, disamping pusatnya susu sapi segar. Lalu aku juga teringat, saat aku kuliah di Jogja aku juga pernah berkunjung ke rumah salah seorang temanku, AR, yang ternyata masih sepupunya AZ. Dan saat itu, tak dinyana, ternyata salah satu sepupuku, mbak ER menikah dengan seorang pemuda yang berasal dari desa ini juga, yakni mas WS. Saat ini temanku AZ adalah seorang direktur di salah satu BMT di Boyolali, dan sepupuku mas WS adalah salah satu pembina di BMT tersebut. Wah, tampak betapa dunia terasa sempit saat aku bisa menemukan banyak keterkaitan dengan orang-orang di desa yang terletak di lereng gunung Merapi dan Merbabu ini.

Sore hari menjelang maghrib kami sempatkan untuk mengajak anak-anak pergi ke lokasi wisata, yakni Selo. Tempat ini begitu dingin, berkabut dan pemandangan tampak indah. Kedua anakku tampak menikmati perjalanan dan pemandangan di lereng gunung. Mereka juga ingat bahwa sekitar tiga tahun yang lalu kami juga sempat melewati lokasi ini, dalam perjalanan dari Boyolali-Magelang-Jogjakarta. “Ini tempat saat mobil si jago mogok yangkung kembali mogok, karena tidak kuat naik gunung” teriak HD anakku.

Malam hari, selepas maghriban, aku sempat silaturrahmi ke rumah AD dan mas WS. Tentu saja aku tahu bahwa kalaupun aku ke rumah mereka, tepatnya rumah orang tuanya, tentu mereka tidak ada di rumah tersebut. Setidaknya, aku bisa mendapatkan kontak nomor handphone mereka, disamping juga untuk silaturrahmi ke keluarganya. Mereka menyambut kami dengan hangat dan akrab, sikap khas masyarakat pedesaan. Anak-anakku juga senang. “Silaturrahmi dengan berkunjung ke saudara-saudara kita, teman-teman kita dan keluarganya, itu akan menambah umur kita, sayang”, begitu yang pesanku pada mereka. Mereka berkomentar,”Kalo begitu, seandainya umur kita di dunia ini 100 tahun, akan bertambah menjadi 150 tahun ya papa. Wah, hebat dong”, katanya. Menurutku, itu logis juga, karena seringkali ada banyak hikmah yang tidak kita sangka saat silaturrahmi. Misal orang sakit silaturrahmi, lalu mendapatkan informasi tentang obat yang akan menyembuhkan dan menambah umur dia. Juga, saat orang sedih sendirian, lalu mendapatkan hikmah kebahagiaan dan keceriaan setelah silaturrahmi sehingga hidupnya akan lebih bermakna dan terasa lebih panjang. Dan sebagainya dan sebagainya.

Sebelum pulang, kami sempat menikmati dentuman band, petikan gitar, alunan musik, piano, organ dan alat musik lainnya. Rupanya di lantai dua rumah NR, memang digunakan untuk latihan musik para pemuda di desa itu. "Yah, lumayan untuk sekadar hiburan di tempat terpencil ini. Kami sering diundang untuk tampil di acara-acara, dari musik dangdut, pop, maupun lainnya", katanya. Huda pengin segera melanjutkan perjalanan karena sudah kangen dengan Wonogiri, sedangkan Syifa masih ingin menikmati alunan musik dari sebuah grup musik di desa yang terletak di lereng gunung merapi. Sekitar pukul 10 malam kami diantar oleh anggota grup musik itu dengan naik panther. Sebuah perjalanan yang masih cukup jauh. Mereka tampak begitu tulus mengantarkan kami menempuh perjalanan di tengah-tengah dinginnya malam dan gerimis yang tidak juga berhenti dan cuaca yang kurang menentu.

Tidak ada komentar: