Kamis, 17 April 2008

Dilema empirik hari ini...

Hari ini Jum'at 18 April 2008. Tadi malem Bapak Jogja menelpon dan sms kepadaku bahwa Ibu Jogja akan berkunjung ke Jakarta, khususnya untuk menengok kabar dan keberadaan anak-anakku HDSF, cucu-cucu mereka. Melalui telpon kita telah sepakat bahwa Ibu Jogja sore hari ini akan dijemput oleh Encik dan SF di stasiun Bekasi. Beliau naik kereta Fajar Utama Jogja, berangkat pagi dan sore hari ini akan tiba di stasiun Bekasi. Beliau aku sarankan untuk naik Kereta Eksekutif Taksaka, namun beliau lebih memilih naik kereta bisnis. Alasannya karena kereta itu turun langsung di stasiun Bekasi, sedangkan Kereta Taksaka harus turun di stasiun Gambir atau stasiun Jatinegara. Tadinya aku juga ingin menyarankan beliau agar naik kereta sorenya, agar aku bisa menjemput beliau pada hari Sabtu pagi, dimana hari itu libur, namun ternyata beliau sudah mendapatkan tiket kereta.

Ini adalah kunjungan mereka yang pertama di rumah kontrakanku. Rumah kontrakanku yang kondisinya masih apa adanya. Suasana yang sempit, tidak ada asesories selengkap sebagaimana di rumah sendiri, tidak ada AC, tidak ada kulkas, mesin cuci, tidak ada kursi tamu, ruangan yang sempit, ketersediaan peralatan yang masih ala kadarnya. Ini adalah masa dimana aku mengajak anak-anak dengan untuk menghadapi kondisi apa adanya. Dan sejauh ini, aku melihat tidak ada perubahan psikologis pada diri anak-anak. Beberapa kali saat aku bersama mereka mengunjungi rumah kami di kompleks Bekasi Jaya Indah yang berjarak beberapa ratus meter dari rumah kontrakan ini, aku selalu menawarkan apakah mereka ingin kembali ke rumah kami saat ini, dan mereka selalu menjawab bahwa senentara ini masih ingin tinggal di rumah kontrakan. Aku bersyukur bahwa anak-anak bisa fleksibel terhadap kondisi yang memang harus kita hadapi. Fleksibilitas mereka akan menambah kekuatan moral dan mentalku untuk memandang secara optimis terhadap masa depan. Mereka tidak pernah mengeluh karena lokasi rumah kontrakan yang berbeda dengan kompleks perumahan kami. Kondisi sekitar rumah kami dapat dikatakan adalah komunitas para urban. Sejauh mata memandang, yang ada adalah para keluarga kontraktor, yang setiap tahun harus memperbaharui dan memperpanjang kontrakan rumahnya. Sebelumnya aku tidak pernah mengira bahwa ada suatu area dimana sebagian besar diisi oleh para kontraktor, yang ternyata itu benar-benar ada dan tidak jauh dari lokasi rumahku. Kemaren malam, aku sempat mentraktir beberapa penghuni rumah kontrakan di sekitarku. Seorang ibu bilang kepadaku bahwa dia mengontrak rumah itu sejak tahun 1990. Dan yang seperti itu katanya sebagian besar penghuni rumah kontrakan di sekitar lingkungan rumah kontrakanku. Artinya, mereka adalah kontraktor permanen.

Aku sempat berpikir betapa bersyukurnya aku yang sampai saat ini masih memiliki rumah sendiri, meskipun saat ini kondisinya tidak jelas. Juga, masih ada satu buah ruko di dekat terminal Bekasi. Kondisinya saat ini masih sepi namun prospek kedepan kayaknya tidak terlalu jelek, karena disamping kompleks ruko akan dibangun stasiun kereta api Bekasi untuk jalur luar kota. Aku mestinya juga sempat beryukur pernah memiliki beberapa rumah dalam waktu yang bersamaan. Rumah di kompleks Telkom jatiasih yang asli dan dekat pintu tol juga rumah di Graha Harapan Bekasi yang areanya cukup berkembang karena dekat kompleks Grand Wisata. Anak-anak pun sudah biasa setiap weekend kita ajak jalan ke Jakarta atau setiap cuti berwisata ke luar kota. Minimal dengan mobil sendiri kita menyusuri beberapa kota di Jawa Barat dan bermalam di beberapa tempat yang udaranya dingin. Selama ini mereka juga diasuh oleh baby sitter ataupun pembantu yang kita upgrade menjadi semacam baby sitter, dan anak-anak biasa mendapatkan perlakuan dan pengawasan yang relatif intens dari mereka.

Sekarang ini kondisinya jelas-jelas berbeda. Dengan berbagai keterbatasan mereka berkembang menjadi anak-anak yang ternyata bisa fleksibel dengan keadaan. Aku bersyukur bahwa mereka tidak pernah mengeluh dengan perubahan ini. Mereka tetap ceria. Mereka tetap optimis. Mereka juga telah mengenal kebiasaan-kebiasaan yang telah sistemik pada mereka, seperti kebiasaan mengaji setiap hari ke musholla, sholat berjamaah, belajar dan lain sebagainya.

Pagi ini aku mendapatkan telepon dari seseorang yang aku tidak terlalu mengharapkannya. Seorang teman, kakak kelasku waktu kuliah di Jogja, katakan saja namanya mas Bowo. Dia bekerja di kantor pusat pada perusahaan tempatku bekerja. Level dan grade dia sudah lumayan tinggi, sebagai assistant vice president. Suatu posisi menurutku mestinya dia bisa lebih fokus pada pekerjaannya. Ternyata bagi dia tidak. Mungkin itulah kelebihannya. Dengan jabatannya, dia justru sangat aktif pada kegiatan lain yang disebutnya sebagai bisnis masa depan. Bagiku sendiri itu bukanlah bisnis, melainkan lebih pada kegiatan yang membuang-buang waktu dengan hasil yang tidak jelas. Ya, bisnis multi level marketing namanya. Bisnis yang aku sejak dulu tidak pernah tertarik. Bisnis yang menempatkan seseorang pada dua pilihan, kita dikadalin atau kita mengkadalin seseorang. Mungkin bahasa ini sarkastis, tapi aku betul-betul tidak menemukan istilah lain yang lebih tepat. Mungkin itulah refleksi marketing, dimana pekerjaanku saat inipun dan juga banyak pekerjaan lainnya adalah tidak lepas dari marketing. Yah memang kalo dipikir sebenarnya istilah marketing ini netral yang mestinya menjadi jiwa bagi setiap enterpreneur. Juga, marketing menjadi bahan kajian bagi motivator, dosen, pengamat. Marketing menjadi ilmu yang cukup mahal dan populer bagi dunia bisnis maupun akademik.

Tapi marketing pada bisnis multilevel ini menurutku sudah menjurus pada upaya objektikasi manusia. Manusia benar-benar dijadikan objek, tidak peduli sahabat, teman, kerabat, orang yang baru saja dikenal, orang yang tidak dikenal secara pribadi tapi dikenal melalui referensi, dan lain sebagainya. Pendeknya, setiap ketemu dengan seseorang, seorang marketer mlm pasti akan menjadikannya sebagai prospek dan objek pasarnya. Dia akan mengejar orang tersebut, mempresentasikan hal-hal sedemikian rupa agar yang mendengarkan tertarik dan masuk pada target bisnisnya, entah itu membeli produk atau bergabung menjadi bawahannya atau downlinenya. Dia sudah hampir satu tahun ini dengan sabar dan ketelatenan yang luar biasa, tidak pernah berhenti dan lelah mengajakku untuk bergabung. Hampir setiap saat, secara rutin dia mengirimkan sms-sms yang berisi kata-kata untuk memotivasi bisnis di mlm atau hanya sekadar say hello saja. Kata-kata pada smsnya terkadang sangat panjang. Saat ini bahkan aku tidak ingat, mlm dia itu entah amway ataukah cni namanya.

Secara administratif aku memang sudah bergabung karena telah menjadi downlinenya, tapi nyaris tidak pernah membeli produknya atau aku juga tidak pernah mencari market baru untuk menjadi downlineku yang otomatis juga menjadi downline dia. Aku juga tidak pernah tertarik membawa berbagai media yang dikirimkan oleh mlm itu ke alamat rumahku, dan juga aku tidak pernah tertarik untuk mendengarkan berbagai kaset dan cd yang dipinjamkannya kepadaku. Hanya karena aku ingin menjaga perasaan dia dan menjaga hubungan maka aku tidak secara frontal menolak setiap ajakannya. Terkadang aku berkorban, beli tiket pertemuan yang diadakannnya secara rutin, dan saat acara itu tiba aku bilang ada acara mendadak sehingga tidak dapat hadir pada acaranya.

Hari ini tentunya aku sulit untuk menolak ajakannya. Dia sudah menyediakan tiket seharga Rp. 500.000,- yang didebet dari kartu kreditnya saat malam-malam itu dia berkunjung bersama isterinya sekitar 2 bulan yang lalu ke rumah kami. Itu bukanlah uang yang kecil untuk sebuah acara yang aku tidak terlalu berminat. Lagi-lagi waktu itu aku tidak enak dia sudah jauh-jauh datang ke Bekasi, dan mempresentasikan melalui power point secara pribadi kepadaku, dan ujung-ujungnya mengajak mengikuti seminar bisnis. Katanya, ini adalah seminar regional yang diikuti oleh ribuan peserta dari seluruh wilayah Indonesia, dengan pembicara bla...bla...bla.....

Siang ini aku masih dalam dilematika. Karena seminar itu 3 hari. Padahal hari ini Ibu Jogja baru saja datang di Bekasi. Aku belum memutuskan. Aku nyaris menelepon bahwa malam ini aku tidak bisa hadir, tapi dia keburu meneleponku bahwa nanti malam dia menungguku di Senayan, karena tiket seminar masih ada di tangannya.

Duh Gusti, paringono sabar pada diriku ini untuk menghadapi hal-hal seperti ini.

Tidak ada komentar: