Senin, 14 April 2008

Membuka keran komunikasi demi si kecil...

Hari Minggu, 13 April 2008, saat aku telepon ke Jogja, Ibu Kadipaten menyarankan agar aku mencoba untuk membuat surat kepada HN soal HDSF. Aku pikir, ide ini cukup menarik. Sebelumnya aku tidak pernah berpikir adanya kemungkinan untuk membuka keran komunikasi yang telah beku dengan HN. Soal berhasil tidaknya, kupikir itu bukan urusanku. namanya juga usaha. Hari ini juga aku membuat surat untuknya sebagai berikut:
Assalamu’alaikum wr wb.

Melalui surat ini, terlebih dahulu aku sampaikan harapan semoga dirimu dalam keadaan baik-baik dan sehat walafiat, dalam keadaan yang lebih baik dibandingkan dengan waktu-waktu yang lalu. Semoga kejadian demi kejadian pada diri kita masing-masing akan semakin membuka mata dan memberikan hikmah pelajaran yang berharga bagi kita untuk menatap masa depan kita masing-masing dengan penuh rasa optimis bahwa masa depan kita akan lebih baik dibandingkan dengan saat ini dan masa lalu kita. Amien.

Awalnya demikian berat bagiku untuk menuliskan surat kepada dirimu, mengingat betapa beku dan dinginnya komunikasi kita selama ini (hal yang aku sendiri masih sulit untuk memahami kenapa ini bisa terjadi, karena toh masalah kita mestinya sudah bisa segera kita selesaikan). Melalui surat ini aku ingin mencairkan suasana komunikasi kita agar kita bisa saling memahami posisi kita masing-masing dengan melupakan tragedi apa yang terjadi diantara kita dimasa lalu. Menurutku upaya mencairkan komunikasi dengan dirimu adalah hal yang mendesak untuk kita lakukan, karena implikasi dan kemanfaatannya terutama bukanlah untuk kita melainkan untuk buah hati kita, HD dan SF. Aku menuliskan surat disini tidak dalam kapasitas dan perspektif untuk menoleh kebelakang atas tragedi yang terjadi diantara kita. Aku menuliskan kata-kata disini, yang mewakili suasana hatiku ini, adalah dalam kerangka untuk mengupayakan keadaan yang lebih baik, terutama untuk masa depan buah hati kita, HD dan SF.

Menurutku adalah sesuatu hal yang wajar, normal, manusiawi ketika dua insan yang berupaya untuk menyatukan visi, misi dan hidup mereka dalam suatu kehidupan berumahtangga namun ternyata realita menunjukkan bahwa mereka telah gagal dalam proses tersebut. Kita boleh, dan memang sangat boleh untuk gagal dalam membangun rumah tangga kita, karena apa yang kita putuskan untuk berpisah adalah demi kebaikan dan masa depan kita masing-masing. Namun demikian sungguh kita akan berdosa apabila kegagalan kita dalam membangun rumah tangga –sengaja atau tidak—ternyata membawa serta dan implikasi yang tidak baik terhadap masa depan anak-anak kita. Kupikir dirimu tentunya setuju bahwa HD dan SF membutuhkan ruang dan media yang luas untuk berkembang, perlindungan yang maksimal, pengawasan yang intensif, pendidikan yang baik dan kasih sayang yang optimal dari orangtuanya. Mereka adalah amanah bagi kita, yang tentunya kita akan dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang telah kita lakukan dan berikan kepada mereka sebagai bekal untuk menjadi anak-anak yang shalih dan shalihah. Mereka adalah anak-anak kita, kepada siapa kita boleh berharap bahwa dari doa-doa mereka kepada kita sebagai orangtuanya, kelak akan lebih meringankan beban kita dalam kehidupan nantinya pasca kehidupan kita di dunia. Setuju?

Aku telah berbicara secada panjang lebar mengenai HD dan SF dengan Bapak dan Ibu di Kadipaten Jogja. Pembicaraan yang telah membawa rasa hormat dan kagumku kepada beliau, dengan sikap bijak dan emphaty beliau dalam hal ini. Sebagaimana kamu ketahui bahwa pada awalnya beliau sangat-sangat berkeinginan dan ikhlas menyediakan waktu beliau untuk mengasuh anak-anak kita, terutama karena kekhawatiran dampak konflik berkepanjangan kita terhadap anak-anak kita. Aku sangat menghargai dan berterima kasih atas kesediaan dan keikhlasan beliau untuk “direpotkan” dengan mengasuh dan mengawasi anak-anak kita. Beliau sangat berharap bahwa kondisi Jogja yang lebih netral akan memberikan suasana yang lebih baik bagi HD dan SF, disamping juga kekhawatiran beliau bahwa kondisi dan konflik berkepanjangan kita akan berpengaruh secara psikologis maupun finansial kepada HD dan SF. Pada akhirnya melalui pembicaraan yang intensif aku bisa meyakinkan beliau bahwa di tangan orangtuanya, HD dan SF masih berada pada jalur on-track dalam perspektif amanah, bahwa kita masih dan akan selalu bertanggungjawab secara fokus dan totalitas untuk masa depan anak-anak kita. Karena menurutku, bagaimanapun juga preferensi tanggungjawab atas masa depan anak-anak kita yang pertama adalah pada kita sendiri drbagai orangtua kandungnya, yang kelak pasti kita akan dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang telah kita lakukan atas hal tersebut. Sepanjang kita masih mampu untuk mendidik secara langsung anak-anak kita dengan penuh totalitas, fokus dan optimis terhadap masa depan anak-anak kita, menurutku akan menjadi hal yang kurang pada tempatnya kalau kita melimpahkan tanggungjawab kita tersebut kepada selain kita. Kecuali kalau kita memang tidak mampu lagi untuk menjalankan amanah sebagai orangtua HD dan SF.

Bukan sekadar alasan tanggungjawab semata, melainkan juga tentunya kita dan juga anak-anak kita akan membutuhkan kedekatan psikologis antara mereka dengan kita sebagai orangtuanya dalam tingkat usia yang sekarang ini. Akan menjadi pertanyaan yang serius bagi anak-anak kita kelak misalnya, kenapa mereka diasuh oleh Eyangnya, sedangkan orangtuanya sendiri sebenarnya masih sanggup untuk mengasuhnya secara finansial maupun nonfinansial kepada mereka. Mereka akan bertanya kenapa, kenapa dan kenapa, kelak saat mereka sudah pada tingkat dewasa dan terlanjur jauh secara psikologis dengan kita. Apakah orangtuanya tidak suka, atau tidak bertanggungjawab, atau ada hal-hal lainnya, tentunya kita tidak menginginkan munculnya pertanyaan-pertanyaan seperti itu kan? Kalau kita sebagai orangtuanya masih mampu untuk memberikan ruang yang luas bagi perkembangan dan masa depan anak-anaknya, kenapa kita harus menimpakan apa yang menjadi tanggungjawab kita kepada selain kita. Aku sendiri sudah bertekad untuk mengupayakan resources yang ada pada diriku semaksimal mungkin untuk membesarkan mereka secara langsung.

Aku juga sudah sampaikan kepada Bapak dan Ibu Jogja bahwa anak-anak akan sering kita bawa ke Jogja. Kenapa? Karena semakin banyak kontribusi limpahan kasih sayang dan perhatian Eyangnya tersebut tentunya akan sangat bermanfaat untuk mengisi ruang-ruang kosong yang mungkin ada pada anak-anak kita. Ruang-ruang kosong yang kumaksud adalah perbedaan yang dialaminya dibandingkan dengan anak-anak sebaya lainnya yang diasuh oleh kedua orangtuanya secara bersamaan. Anak-anak kita tentu akan sangat membutuhkan hal itu. Setiap liburan akan aku bawa anak-anak ke Jogja, yang kita tahu anak-anak kita sangat enjoy dengan suasana di Jogja. Dan kelak saat anak-anak sudah masuk ke SMP, menurutku suasana di Jogja akan lebih kondusif dibandingkan dengan Jakarta. Karena suasana dan predikat Jogja sebagai kota pelajar akan lebih baik dalam mengantisipasi pengaruh-pengaruh eksternal yang kurang baik sebagaimana yang banyak terjadi pada kota metropolis seperti Jakarta dan sekitarnya. Juga, pada tingkat usia SMP, tentunya anak-anak sudah sampai pada tingkat pemikiran bahwa mereka terpaksa berpisah dengan orangtuanya adalah semata untuk mendapatkan pendidikan yang lebih kondusif. Kamu tentunya setuju bahwa perlu adanya komitmen dan pengertian yang sama diantara banyak pihak yang berkepentingan untuk memberikan perhatian kepada HD dan SF, antara diriku, dirimu dan Bapak-Ibu di Jogja. Bayangkan, betapa akan berdampak kurang baik pada HD dan SF manakala mereka merasa menjadi objek yang “diperebutkan”, yang sebenarnya masing-masing pihak memiliki tujuan yang sama yakni memberikan ruang dan suasana yang terbaik bagi perkembangan HD dan SF. Upaya menjadikan anak-anak sebagai objek perebutan ini akan justru membawa mereka dalam suasana ketidakpastian dan kegamangan, yang itu semestinya tidak boleh terjadi. Antara diriku dengan Bapak dan Ibu di Jogja sendiri rasanya sudah sampai pada tahap persepsi yang sama dalam hal ini. Aku sangat menghargai dan kagum atas sikap bijak beliau, dimana beliau sangat bisa memahami dan emphaty atas apa yang kita rasakan sebagai orangtuanya dari cucu-cucu mereka. Beliau sudah kuanggap seperti orangtuaku sendiri, yah sebagai pengganti ayahandaku yang telah tiada. Kuharap dirimu tidak keberatan mengenai hal ini kan. Karena meski kita telah berpisah dalam ikatan rumahtangga, aku tidak berharap itu akan memutuskan tali silaturrahmi antara diriku dengan keluarga besarmu. Apalagi ada pertautan kepentingan HD dan SF.

Melalui surat ini kusampaikan pendapat dan keinginanku agar sehari-harinya, anak-anak biarlah tetap bersama diriku. Yakinkanlah pada dirimu bahwa anak-anak akan merasa terlindungi, aman dan nyaman saat berada dalam pengawasanku. Aku berjanji bahwa aku tidak akan meracuni pikiran dan mempengaruhi persepektif tertentu dalam benak anak-anak atas konflik dan tragedi yang terjadi pada kita di masa lalu. Yang ingin aku lakukan adalah memberikan kepada HD dan SF ruang dan media yang luas untuk berkembang, perlindungan yang maksimal, pengawasan yang intensif, pendidikan yang baik dan kasih sayang yang optimal. Adapun, dirimu bisa saja mengajak mereka berdua pergi bersama dirimu untuk melepaskan kerinduan dan kasih sayangmu sebagai ibunya kepada mereka, kapanpun kamu mau. Setiap weekend ataupun setiap hari-hari libur lainnya saat dirimu ingin bersama mereka, bawalah mereka bersamamu dan dengan senang hati anak-anak akan kuantarkan ke tempat tinggalmu atau bisa juga kamu yang jemput mereka. Mereka juga pasti akan selalu membutuhkan jalinan kasih sayang dan perhatian dari ibu kandungnya. Secara teknis itu akan mudah sekali kita lakukan karena kita berada pada satu kota. Mereka sudah paham mengenai apa yang terjadi diantara kita tanpa perlu kita ceritakan dan aku berharap bahwa mereka tidak perlu kehilangan perhatian dan kasih sayang dari salah satu orangtuanya. Penting bagi mereka untuk tetap bisa mendapatkan kasih sayang dan perhatian secara simultan dari kedua orangtuanya maupun dari keluarga handai taulan yang lainnya, meskipun itu tidak bisa dilakukan secara bersama-sama. Diluar itu tentunya, pada saat hari-hari anak-anak berada bersamaku kamu bisa konsentrasi dan fokus untuk bekerja ataupun memikirkan kepentingan diri dan masa depanmu.

Kemarin aku sempat kalut saat tiba-tiba dirimu menjemput HD dan SF sehingga terpaksa bolos sekolah. Memang hanya satu hari, tetapi sebelumnya mereka bolos seminggu penuh karena aku tinggal di Jogja. Aku sempat kalut karena tidak memahami apa rencana yang ada dalam benakmu atas HD dan SF. Kuharap melaui surat ini tidak akan ada lagi suudzon diantara kita masing-masing. Tentunya dirimu setuju bahwa HD dan SF membutuhkan perhatian dan kasih sayang kita. Sungguh kita akan berdosa apabila kita menciptakan barrier entah sengaja ataupun tidak sehingga mereka sulit untuk mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari kita masing-masing. Berada di dalam pengawasanku secara langsung, aku akan memberikan keleluasaan yang maksimal bagi dirimu untuk memberikan perhatian dan limpahan kasih sayang kepada HD dan SF. Demikian juga perhatian dari Eyangnya di Jogja, atau dari om dan tantenya yang lain. Aku tahu bahwa HD dan SF sangat membutuhkan hal itu, karena rasanya tidak cukup apabila hanya mendapatkan perhatian dariku saja.

Kupikir itu dulu sebagai awal dariku untuk sekadar membuka mampatnya keran komunikasi diantara kita. Ini adalah semata untuk kebaikan dan masa depan buah hati kita. Aku berharap dirimu mau menerima uluran kata-kata ini dengan tidak mengedepankan ego dan logika semata melainkan dengan hati nurani. Dan hilangkanlah emosi dan subjektivitas yang mungkin muncul dari memori dan ingatanmu atas tragedi yang terjadi diantara kita dimasa lalu dan hilangkanlah rasa kecurigaan dan suudzon lainnya kepada diriku atas usul dan pendapatku diatas. Marilah kita memberikan hal yang terbaik kepada buah hati kita, apapun yang kita bisa berikan kepadanya sebagai implementasi rasa tanggungjawab kita sebagai orangtuanya. Kita yang telah diamanahi oleh-NYA untuk memberikan bekal yang terbaik kepada mereka agar kelak menjadi anak yang shalih dan shalihah. Wassalam.
Jakarta, Minggu 13 April 2008


Aku




1 komentar:

Unknown mengatakan...

Just say...
"Innallaha Ma'ash shoobiriin"
Allah bersama orang orang yang sabar


www.ahmadrafiq.tk