Senin, 14 April 2008

Ujian berikutnya yang mendebarkan hati....

Hari ini, Jum’at 13 April 2008 aku sengaja pulang lebih cepat dari biasanya. Di tengah kunjungan marketing ke sebuah perusahaan distributor makanan kecil yang cukup populer, di sekitar Jakarta Kota, aku pamit untuk turun di tengah jalan pada teman kantorku. Awalnya, karena kebetulan di sekitar Jakarta Kota, aku akan beli kacamata. Mengingat kacamata yang kupakai sekarang ini adalah kacamata transisi, setelah kejadian konflik yang kesekian kalinya beberapa bulan yang lalu yang dimana kacamataku menjadi korban. Aku tak perlu lagi mengingat-ingat kejadian itu. Namun lantaran aku salah naik kendaraan umum yang mestinya kearah mangga dua, justru ke Stasiun Beos, entah mengapa aku jadi berubah pikiran untuk langsung pulang saja lebih cepat ke Bekasi. Perasaanku emang agak tidak enak, dan ingin segera pulang ke Bekasi untuk ketemu dengan anaik-anakku. Dengan naik kereta bekasi Express, sekitar jam 17.30 BBWI aku sudah nyampe ke Stasiun Bekasi. Motor Supraku segera kutancapkan gasnya, untuk menuju ke rumah kontrakanku, yang biasanya hanya membutuhkan waktu sekitar 5 menit dari stasiun tersebut. Waktu 5 menit pun kujalani seolah terlalu lama bagiku, dengan meliak-liukkan motor di sekitar keramaian jalan Perjuangan Bekasi. Jalan ini memang sesuai dengan namanya yang membutuhkan perjuangan berat untuk melewatinya lantaran sering macet karena lokasinya di sekitar stasiun.

Sampai di depan rumah kontrakan, sudah ada 2 orang ibu-ibu yang telah kukenal sebagai tetangga sebelah Encik, pengasuh kedua anakku. Mereka memberitahukanku bahwa anak-anak tidak ada di rumah kontrakan maupun di rumah Encik. “Tadi mamanya anak-anak bapak datang, lalu membawa pergi anak-anak. Katanya mau dibawa ke apartemennya…”, kata mereka melaporkan. Aku kaget sekali mendengar berita itu, dan seketika muncul berbagai kekhawatiranku. Mendengar bahwa ibunya anak-anak juga sempat masuk ke kamar kontrakanku, kekhawatiranku bertambah mengenai kemungkinan hilangnya barang-barang berhargaku yang ada dalam kamar. Memang tak ada barang berharga bagiku selain dua buah laptopku, namun rasanya barang tersebut terlalu berharga bagiku, karena demikian banyaknya data-data penting yang sangat berharga.

Aku segera menuju ke rumah kontrakan yang sepi dan kosong. Rumah yang biasanya terang dan rame dengan suasana riang anak-anak saat menyambutku pulang, apalagi di hari weekend begini. Sepi. Sunyi. Aku lupa kunci rumah ada dimana sekarang ini. Tiba-tiba seorang ibu yang mengontrak di sebelah rumah kontrakanku muncul sambil membawa kunci rumah kontrakanku. “Tadi ibunya anak-anak kesini pak. Lalu membujuk anak-anak untuk pergi. Pada awalnya anak-anak menangis dan tidak mau karena harus sekolah dulu. Tapi mamanya berhasil memaksanya untuk bolos sekolah. Katanya akan dibawa ke apartemennya”. Dia menggambarkan kejadian siang itu betapa anak-anak sempat menangis dan tidak mau pergi, terutama anakku yang besar, HD.

Aku menengok keadaan kamarku sebentar. Alhamdulillah laptopku masih ada di tempatnya. Aku bersyukur dan hati kecilku berharap semoga HN telah sampai pada tahap pemikiran bahwa saat ini sudah tidak ada lagi gunanya untuk memicu masalah menjadi semakin panjang dan berlarut diantara kita. Rasanya kita sudah capek, sangat capek untuk saling berpikir saatu sama lain tentang hal yang lebih banyak kemudharatannya daripada kemaslahatannya. Dalam kasus yang terjadi sekarang inipun sebaiknya aku bersikap khusnudzon pada dirinya. Tentunya adalah hal yang sangat manusiawi apabila seorang dia berkeinginan untuk ketemu dengan anak-anaknya setelah sekian lama tidak ketemu.

Hanya saja, memang keinginanku untuk ketemu dengan anak-anakku hari ini demikian besar. Apalagi dengan SF, yang aku sempat marah kepadanya tadi malam, gara-gara dia menyemprotkan Rapika ke beberapa barang elektronik, termasuk handphoneku. Akibatnya memang lumayan fatal karena handphone Motorola A925ku yang built-up produk Jerman dan tidak ada sparepartnya di Indonesia, menjadi rusak karena touch-screennya telah rusak permanen. Dan karena ini pula hari ini kabarnya Huda sempat mengeluh karena tidak bisa menghubungiku saat-saat dia mau dibawa mamanya pergi. Namun toh kusadari bahwa kerusakan handphone ini adalah sesuatu yang tidak disengaja oleh anak sekecil SF. Aku tersenyum ketika dia mengatakan bahwa dia ingin handphone papanya menjadi wangi.

Aku ke rumah Encik. Di rumah sudah ada Encik, suami dan anaknya. Mereka menceritakan detil peristiwa pengambilan anak-anak oleh mamanya. Encik sendiri merasa tidak memiliki kapasitas untuk menahannya, karena memang anak-anak diambil oleh mama kandungnya sendiri. Aku mencoba untuk berpikiran positif terhadap mama anak-anak, bahwa dia tidak sedang melakukan upaya yang tidak-tidak terhadap anak-anak, dan semoga seperti yang dijanjikannya lewat Encik bahwa anak-anak akan dikembalikan besok hari Minggu. Aku memang tidak bisa mengharapkan 100% bahwa kondisi suasana hari mamanya bisa dipastikan dalam keadaan normal seperti itu. Karena bisa saja segala sesuatu yang tidak diperkirakan bisa saja terjadi sebagaimana kejadian-kejadian sebelumnya. Aku teringat sesuaatu dan muncul rasa syukurku saat dia masuk ke kamarku dan tidak ada barang yang hilang. Semoga dia memiliki itikad yang baik. Yang aku khawatirkan adalah apabila dia memiliki pikiran-pikiran tertentu yang menjadikan anak sebagai objek dan sengaja menciptakan barrier tertentu diantara anak-anak dengan diriku. Karena itu akan membawa dampak psikologis yang sangat tidak kondusif bagi perkembangan jiwa anak-anak di kemudian hari. Satu hal yang aku merasa tenang adalah fakta bahwa dia tidak memiliki kecakapan, baik secara fisik, teknik maupun finansial untuk membawa anak-anak dalam kehidupannya dan itu disadari benar olehnya. Kuharapkan dia bisa meyakini bahwa anak-anak akan merasa terlindungi, aman dan nyaman bersamaku. Encik bilang bahwa di satu sisi HN merasa tidak bisa membesarkan anak-anak, lalu ingin menitipkan anak-anak di Jogja. Dia sempat kesal saat Jogja mensyaratkan bahwa mereka mau menerima HDSF apabila ada keikhlasan dan semacam serah terima dariku. Itu adalah kesepakatan yang dihasilkan dari proses pembicaraan intensif antara diriku dengan beliau di Jogja, dimana beliau bisa memahami dan emphaty terhadap konsepku bahwa bagaimapun hak dan tanggungjawab preferens untuk membesarkan anak adalah pada orangtuanya. Kecuali kalau memang kedua orangtuanya tidak mampu lagi untuk membesarkannya. Kepada beliau kusampaikan juga keinginanku untuk menyekolahkan anak-anak di Jogja nanti saat sudah masuk SMP, karena predikat dan suasana Jogja sebagai kota pelajar tentunya akan lebih kondusif untuk perkembangan HDSF.

Hari ini aku praktis sangat kesepian. Biasanya di malam hari sebelum tidur kita bercanda dan ngobrol, terkadang sampai larut malam. Hari ini rasanya sepi dan sunyi. Rasanya begitu dingin tanpa mereka ada di sampingku.

Tidak ada komentar: