Kamis, 17 April 2008

Memoir 1998: Kegalauan hati di hari pertama bekerja

Beberapa peristiwa yang aku alami pada sekitar tahun-tahun 1998-1999 rasanya sulit untuk aku lupakan begitu saja. Ada beberapa peristiwa yang sebenarnya kalau disajikan secara runtut akan menjadi cerita tersendiri yang sangat memorial bagiku. Tahun itu menjadi tidak terlupakan, saat aku menyelesaikan pelatihan officer development training centre (odtp) pada sebuah bank pemerintah, dengan hasil yang cukup memuaskan. Pada saat itu ada dua tahap pelatihan yang harus kami selesaikan sebagai pegawai baru, yakni pertama keuangan di Jogja yang diadakan secara eksternal dengan pelaksana pelatihan sebuah lembaga pelatihan pada universitas di Jogjakarta selama tiga bulan, sedangkan yang kedua pelatihan internal di Jakarta selama empat bulan. Ada belasan teman kami yang tidak berhasil menyelesaikan standar nilai yang diminta perusahaan sehingga harus dikeluarkan dari kelas. Aku sendiri berhasil menyelesaikan kedua pelatihan tersebut dengan nilai yang cukup memuaskan. --untuk tidak mengatakan bahwa aku salah satu yang terbaik pada pelatihan tersebut.

Aku sendiri tidak terlalu surprised dengan nulai yang kuperoleh, dan aku tidak terlalu enjoy saat aku menerima SK penempatan sebagai pegawai baru. Malah, yang kurasakan saat itu adalah penyesalan, kegamangan dan ketidakpastian apakah aku akan melanjutkan untuk bekerja pada perusahaan tersebut. Kenapa? Karena saat itu aku begitu gamang saat mengetahui bahwa aku ditempatkan di suatu lokasi kantor cabang yang sangat jauh, tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Kalaupun buku peta terbesar yang dijual di gramedia kita letakkan diatas meja, lokasi daerah tersebut kemungkinan tidak akan tergambarkan dengan jelas pada peta tersebut. Kegamanganku itu karena terutama disebabkan aku baru saja menjalani pernikahan, sekitar 10 sebelum keberangkatanku ke lokasi tersebut. Aku ditempatkan di sebuah kota kecamatan yang di pulau Halmahera. Sebuah pulau berbentuk hurufk, mirip pulau Sulawesi dengan ukuran mini. Dari ibukota kabupaten, yakni Ternate, masih harus dicapai dengan naik feri atau speedboat selama satu jam menuju pelabuhan Sidangolo dan dilanjutkan dengan perjalanan darat selama lima jam sampai ke Tobelo. Belakangan karena dampak otonomi daerah maka nama ini dimekarkan menjadi ibukota kabupaten, sedangkan Ternate menjadi ibukota Propinsi Maluku Utara. Di propinsi ini sempat terjadi kerusuhan rasial yang cukup luas, dimana aku sempat mengabadikan diri di tengah-tengah peristiwa kerusuhan tersebut. (Di lain kesempatan aku akan mengulas kembali peristiwa yang kualami pada kerusuhan tersebut). Aku sempat membaca berita teraktual bahwa hari ini DPRD Maluku telah menetapkan pasangan Abdul Gafur-Abdurrahim Fabanyo menjadi Maluku Utara 1 dan 2. Maih kuingat bahwa di tengah-tengah kerusuhan yang terjadi pada tahun 1999 aku bersama seorang teman aktivis Muhammadiyah di Jakarta, sempat berkunjung dan berbincang cukup lama di rumah Pak Abdurrahim Fabanyo, yang saat itu menjadi ketua PAN.

Pagi-pagi Shubuh aku sudah harus berangkat ke bandara, dengan perasaan berkecamuk. Perasaan sedih harus meninggalkan Jakarta, meinggalkan pulau Jawa, dan meninggalkan keluarga. Aku merasa sangat asing dan teralienasi dengan perjalananku ini. Suatu perjalanan yang serasa menekan hatiku pada saat itu. Perjalanan dengan pesawat Garuda saat itu adalah rute terjauh yang kualami selama itu. Perjalanan dari Jakarta saat itu tidak bisa dicapai secara langsung ke lokasi terdekat, melainkan harus transit terlebih dahulu di Makassar. Setelah beberapa jam menunggu di bandara maka perjalanan dilanjutkan ke Manado. Di tempat inipun aku masih harus melakukan menginap semalam di hotel Sahid di Kawanua, karena kebetulan satu-satunya pesawat yang bisa aku tumpangi dari Manado ke Ternate sudah berangkat.

Di kota ini aku secara tidak terduga ketemu dengan salah seorang teman lama. Berhubung perjalananku adalah perjalanan dinas, maka aku dijemput oleh salah pegawai kantor cabang yang ada di kota Manado. Temanku ini, katakanlah namanya Rinto, yang ternyata telah kukenal sebagai kakak kelasku waktu kuliah di Jogjakarta. Sungguh pertemuan yang tidak terduga bahwa di daerah yang aku merasa asing, merasa teralienasi dan merasa gundah luar biasa, ternyata aku bertemu dengan seorang teman yang berasal dari kota yang sama. Dan yang kurasakan sebagai teralienasi ini ternyata tidak hanya kurasakan sendirian, melainkan diapun juga merasakannya. Bedanya, aku baru merasakannya pada hari-hari pertama di perantauan, sedangkan temanku itu terlah bertahun-tahun berada di kota Manado. “Aku sudah berulang kali mencoba mengajukan pindah, namun keinginanku itu seperti membentur tembok sebuah sistem yang sulit untuk berkomunikasi secara manusiawi denganku”, katanya dengan nada pesimis dan putus asa. Ternyata problem personal dia hampir sama denganku. Dia ditempatkan di kota ini sesaat dia mau melaksanakan pernikahan. Karena calon isterinya telah bekerja di sebuah instansi di Jakarta, sampai saat itu rencana pernikahan tersebut belum bisa dilaksanakannya. Kepesimisan dia rasa-sasanya semakin menusuk ulu hatiku, mengingat hari pertama saja sudah aku jalani dengan demikian beratnya. Aku membayangkan bahwa aku tidak akan tahan berlama-lama seperti dia. Aku berpikir, apakah memang seperti ini sebuah perusahaan besar nasional tidak mungkin untuk melihat problem personal pegawainya satu persatu? Aku tidak tahu dengan mekanisme human capital bagaimana seharusnya ini bisa diselesaikan karena memang ini bukan kompetensiku. Namun yang kurasakan, seandaninya perasaan ini dialami oleh banyak pegawai pada perusahaan ini, betapa besar nilai kerugian yang dialami perusahaan karena damapk alienasi pegawai akan membawa dampak kontraproduktif dalam bekerja. Semalam kita sempat ngobrol ngalor-ngidul. Di kemudian hari aku mendengar bahwa Rinto temanku ini pada akhirnya memutuskan mengundurkan diri dari perusahaan tempatku bekerja, karena keinginannya untuk pindah ke pulau Jawa tidak kunjung ada kepastian.
Dari Manado, esok harinya aku melanjutkan perjalanan ke kota Ternate. Perjalanan ke Ternate sungguh tidak kusangka sama sekali. Di bandara Ternate ternyata aku tidak mendapatkan tiket regular. Pada awalnya aku merasa bersyukur karena tidak ada pesawat yang bisa kunaiki. Aku sempat berharap bahwa ada keajaiban bahwa tidak ada lagi pesawat ke Ternate dan satu-satunya pesawat yang yang bisa kutumpangi adalah pesawat ke Jakarta dimana aku bisa pulang kembali. Di tengah-tengah aku duduk di ruang tunggu bandara, di tengah-tentah aku sedang berpikir untuk menentukan langkahku berikutnya, tiba-tiba ada seorang bapak setengah tua yang menghampiriku. “Bapak mau ke Ternate? Saya ada pesawat yang akan berangkat hari ini kesana”, katanya menawarkan.

Aku sempat kaget. Bagaimana mungkin seseorang bisa menawarkan untuk naik pesawat, yang tidak terdaftar pada jadual pemberangkatan pesawat. Bapak tersebut menjelaskan bahwa pesawat ini tinggal butuh satu atau dua penumpang lagi dan akan segera berangkat. Hal ini benar-benar mengingatkanku pada terminal-terminal di Jawa, dimana ada banyak omprengan pelat hitam yang bisa digunakan sebagai alternatif kendaraan resmi. Tapi pesawat, mungkinkah? Ah, memang ada-ada saja peristiwa ini.

Ternyata ini memang benar-benar terjadi. Setelah kita deal dengan harga yang ditawarkan kepadaku maka aku segera diajak menuju ke sebuah tempat yang kulihat adalah sebuah markas tni, berlokasi sekitar 3 km dari bandara. Pesawat itu sudah siap untuk berangkat, dan tinggal menungguku seorang saja. Aku betul-betul surprised. Pesawat itu adalah pesawat cassa. Pesawat kecil yang hanya berkapasitas 6 orang. Aku memutuskan untuk ikut karena ini adalah pengalaman pertama. Aku sebagai penumpang, bisa ngobrol dan minum ngopi bersama pilot. Sekalian nanti akan kubantu pilotnya mengendalikan pesawat, menekan beberapa tombol di kokpit, begitu pikirku. Ternyata benar, pengalaman naik pesawat itu benar-benar aku rasakan selah aku adalah co-pilot. Sampai di bandara pun tak kalah uniknya. Dari jauh kulihat bandara yang tidak seberapa besar itu ada beberapa hewan yang digembalakannya di sekitar pinggir bandara, dan beberapa orang tampak menggiring satwa-satwa tersebut saat melihat ada pesawat mau turun ke lapangan. Ternyata, datangnya pesawat itu juga diikuti oleh kedatangan mobil-mobil omprengan dari kota yang terletak beberapa km dari bandara, yang dari kejauhan di angkasa telah melihat bahwa ada sebuah pesawat yang akan turun di bandara.

Setiba di bandara, tidak lama kemudian aku diantarkan menuju kota. Tempat pertama yang aku tuju adalah wartel. Aku ingin mengabarkan bahwa diriku telah sampai ke Ternate dengan berbagai pengalaman yang aku alami ini kepada keluarga di Jawa. Aku diturunkan di sebuah wartel di tengah-tengah kota Ternate. Tidak jauh dari wartel tersebut adalah pantai yang tampak indah dan pelabuhan. Selesai aku menelepon keluarga, lagi–lagi terjadi sesuatu yang tidak kusangka-sangka. Di tengah aku membayar biaya telepon, tiba-tiba aku mendengar namaku dipanggil oleh seseorang. “Hei..., Taufiq”, panggilnya. Aku tidak menoleh dengan panggilan itu. Rasanya tidak mungkin ada orang yang mengenalku di tempat ini. Ada kekhhawatiranku bahwa panggilan itu adalah semacam fatamorgana ditengah kegundahanku menjalani har-hari pertama di kota yang masih asing bagiku ini. Orang yang memanggilku telah tiba di belakangku dan menepuk bahuku,”Kamu Taufiq kan. Taufiq El Rahman, dari Jogja? Kamu lupa denganku?”, seru dia. Seketika aku menoleh dan nyaris tidak percaya dengan yang kualami. “Hai Teguh”, teriakku dengan nyaris tidak percaya dengan seseorang yang ada di depanku ini. “Berapa tahun kita tidak ketemu? Enam tahun? Tujuh tahun lalu?”. Tentu saja wajah yang ada di depanku tidak asing lagi. Dia adalah Teguh, lulusan dokter gigi dari universitas yang sama denganku. Kami dulu pernah satu panitia dalam kegiatan yang diadakan oleh Senat Mahasiswa universitas kami. Bertemu dengan temanku ini, ingatanku kembali ke masa lalu pada salah salah satu teman kami, Salman Dianda Anwar dan salah satu senior kami almarhum Khoiri Umar. Mendiang Khoiri Umar –yang meninggal dunia tahun 1993 di Gresik Jawa Timur-- inilah yang mengajakku untuk aktif di kepanitiaan dan memperkenalkanku dengan Teguh dan Salman Dianda Anwar. Nama Khoiri Umar sendiri telah tercatat dalam sejarah gerakan mahasiswa Indonesia sebagai ketua pertama Senat Mahasiswa tingkat Universitas pada universitas tempat kami belajar di Jogjakarta. Sedangkan teman kami, Salman Dianda Anwar, dalam perjalanan berikutnya juga menjadi ketua senat di fakultasnya, dan sempat menjadi sekjen ikatan senat fakultas pertanian seluruh Indonesia. Beberapa tahun terakhir ini, Salman Dianda Anwar sempat menjadi salah saorang raising star karena karirnya melesat dari seorang demonstran menjadi seorang direktur pada perusahaan swasta terkemuka di Indonesia. Dia sempat menggalang alumni muda universitas kami untuk berdemo di bundaran HI saat Rezim Megawati melalui Laksamana Sukardi melego Indosat kepada swasta asing dari Singapura, Temasek Group.

Kami segera terlibat dalam pembicaraan yang ramai dan penuh dengan sendau-gurau. Benar-benar pengalaman yang tidak kusangka bahwa di daerah yang asing inipun aku masih ketemu dengan seorang sahabat lama. Di tengah-tengah keceriaan kami karena telah lama tidak bertemu, aku ceritakan betapa sedihnya aku berangkat di hari-hari pertama bekerja karena ditempatkan di suatu daerah yang sangat jauh dari peradabanku. Ternyata yang kualami ini juga dirasakan olehnya. “Aku juga mengalami kegamanagan yang sama dengan dirimu, Fiq. Selulus dari universitas, ada tawaran penerimaan dokter gigi dan diterima bekerja di lingkungan kemiliteran. Tidak kusangka ternyata aku ditempatkan di sebuah propinsi paling timur di Indonesia. Aku sudah menikah dengan puteri salah seorang bupati di Jawa. Awalnya aku mau disersi, tapi mengingat isteri dan mertuaku akhirnya aku jalani juga tugas ini”, tutur dia. Isterinya adalah seorang dokter lulusan universitas yang sama dengan kami. Sementara ini mereka berpisah karena isterinya akan mengambil spesialis di Jogjakarta, sementara sahabatku Teguh ini bekerja di Papua.

“Aku sedang menunggu transit kapal yang beberapa jam lagi akan melanjutkan jalan ke Papua”, kata dia. Artinya, tak lama lagi aku akan berpisah dengannya. Pertemuan dengan sahabat di tengah-tengah suasana sepi di daerah yang tidak kita kenal seperti ini rasanya sangat membuat kegundahan kita bisa terlupakan. Setidaknya sementara waktu. Ingatan kita kembali ke saat-saat kita masih bersama, saat beraktivitas, saat belajar bersama di sebuah universitas di Jogjakarta yang telah memberikan suasana kenangan demikian berharga bagi kita. Jogjakarta, tempatku mengenal berbagai aktivitas. Jogjakarta, tempat dimana aku mengenal banyak teman dan sahabat dari berbagai daerah. Jogjakarta telah menjadi kota kedua setalah kota kelahiranku. Jogjakarta telah demikian menyatu dengan hatiku. Dan bagaimanakah dengan kota yang akan aku datangi kali ini? Kota yang aku datangi dengan kegundahan hati? Demikianlah suasana hatiku saat itu, memori tahun 1998 akhir.

1 komentar:

uswah mengatakan...

salam.
saya uswah mahasiswa UGM angkatan 2007 yg sedang menulis sejarah BEM KM UGM bersama beberapa teman.
saat ini saya sedang mencari bahan tentang bapak Khoiri Umar, bisakah saya bertanya-tanya tentang beliau kepada bapak? kalau untuk foto beliau, apakah ada pak?
mohon tanggapannya, terima kasih.