Rabu, 09 April 2008

Sabar...sabar...sabar.....

Pagi ini, 10 April 2008, di tengah-tengah aktivitasku di kantor, bayangan anakku terutama Syifa menari-nari di depan mataku. Dalam bayanganku, dia mengajakku bercanda, dan menyanyikan lagunya Rosa terbaru, Ayat-ayat Cinta. Mungkin karena kemarin, sepulangku dari kantor, dia menunjukkan buku saku teks lagu Ayat-ayat Cinta. Dia begitu ingin memperdengarkannya kepadaku. Saat aku ikut bernyanyi duat bersamanya, dengan ketawanya yang lucu dia bilang bahwa lagunya jadi kurang merdu kalau aku ikut menyanyi. Lalu malam itu terjadilah apa yang saat ini sedang sangat kusesali.

Kuingat, menjelang waktu shubuh tadi, aku sempat agak lama melihat wajah polosnya yang tidur diatas karpet “rumah kontrakan’ kita yang sementara ini kita tempati. Lama aku memandangnya. Kepolosannya. Kelucuannya. Rasa kasihanku begitu menyeruak. Aku betul-betul menyesal bahwa malam itu aku terlalu keras memarahinya. Aku terlampau keras mengekspresikan kejengkelan, atas sesuatu hal yang semestinya bisa kusampaikan dengan logika sederhana yang bisa ditangkap oleh anak-anak seumur dia dan mestinya aku bisa menyampaikan pesan-pesan secara bijaksana. Malam itu dua kali setidaknya aku memarahinya, dan rasanya sampai malam itu aku masih menyimpan sisa-sisa kejengkelanku. Aku betul-betul tidak tahu bagaimana mungkin kejengkelanku bisa muncul dan dengan melalui pertimbangan apa saat aku ekspresikan kepada anak selucu dia. Dia, sangat tidak layak mendapatkan sikap seperti itu dariku.

Mestinya, mestinya, mestinya..., yah, aku harus belajar lebih banyak hal lagi tentang bagaimana mendidik anak dengan lebih baik, bagaimana menyayangi anak, melindunginya, memahami dunia anak, bagaimana bersikap sabar terhadap perilaku anak, bagaimana memberikan suasana hati terbaik bagi anak dengan tanpa mengabaikan hal-hal urgen bagi perkembangan masa depan mereka. Dalam hatiku aku berjanji bahwa hal yang terjadi seperti tadi malam tidak akan terulang lagi. Aku ingin memberikan ruang dan suasana yang lapang bagi perkembangan mereka. Aku ingin memberikan yang terbaik bagi mereka, dengan segala keterbatasan resources yang kumiliki saat ini. Mereka sangat tidak layak untuk aku marahi seperti yang terjadi tadi malam. Masih teringat di benak mataku, saat dia ketakutan, dan aku paksa untuk kapok tidak mengulangi, dan saat air matanya tumpah keluar aku bentak untuk diam. Aku ingin menagis. Aku ingin memeluknya. Aku ingin menghiburnya. Aku ingin mengekspresikan kepadanya bahwa aku sangat menyayanginya. Aku tidak ingin membuatnya takut kepadaku, sampai kapanpun. Aku ingin menjadikan diriku sebagai papanya sekaligus sebagai temannya yang terbaik.

Minggu ini adalah minggu pertama kita menempati rumah kontrakan. Bapak Jogja setiap harinya selalu memantau dan menanyakan bagaimana perkembangan dan adaptasi anak-anak. Mengingat itu, aku semakin masygul dengan sikapku tadi malam kepada Syifa, yang kuekspresikan di depan kakaknya, Huda. Mengingat bahwa Eyangnya juga sangat ingin membesarkan mereka berdua, tentunya dengan segala fasilitas yang jauh lebih mapan dibandingkan dengan suasana rumah kontrakan seperti ini.
Hari ini aku bertekad bahwa hal seperti itu tidak akan terulang lagi. Aku akan memberikan kepada mereka suasana yang nyaman dan enjoy, dengan segala keterbatasan fasilitas yang dapat kita nikmati sebagai penghuni rumah kontrakan. Dan hari ini aku akan mulai mengevaluasi apakah apakah aku akan meneruskan untuk mengontrak rumah ataukah akan kembali ke rumah kita lagi. Besok atau nanti malam akan aku bicarakan hal ini dengan anak-anak. Apa yang terbaik bagi mereka, itu juga akan menjadi hal yang baik bagitu untuk berusaha memenuhinya.

Tidak ada komentar: