Selasa, 02 September 2008

Hari ke-2 Ramadhan

Tenggg..., semacam itulah, begitu signal tanda berakhirnya waktu kerja di kantor, jam 16.00 akupun segera mematikan komputer, dan sesegera mungkin berbenah untuk pulang ke rumah. Tak perlu berlama-lama lagi di kantor, yang lebih banyak membuang waktu secara 'tidak produktif', karena ada program sebulan ini yang harus aku selesaikan, dan itu tidak mungkin dilakukan di kantor. Ternyata di jalanan cukup macet, lebih dari hari sebelumnya. Namun, alhamdulillah, akhirnya ak masih bisa menjalani maghrib di masjid besar alum-alun Bekasi. Sampai rumah, buka puasa dan langsung tarawih. Begitu selesai tarawih, handphoneku berteriak, ternyata sms dari teman smp, pengelola blog, Yayuk. "Fiq, tolong elu kirim satu dua artikel hikmah ramadhan untuk ditayangkan besok ya. Please, saat ini panitia gak ada stok tulisan". Waduh!! Ini soal rencana reuni teman-teman smp, yang kita udah hampir 20 tahunan tidak ngumpul. Dalam satu dua bulan terakhir kita rame berbincang di dunia maia melalui blog yang dibuat oleh salah satu teman, Inti Purnomowati, yang tinggal di Malang. Waduh, aku bilang belum ada tulisan. Tapi aku sampaikan, malam ini akan kuusahakan menyelesaikan apa yang dia minta. Sepulang tarawih, aku masih ada agenda discuss dengan lawyerku, yang ternyata sampai jam 23.00. Tengah malam, di tengah-tengah rasa capek dan kantuk, aku coba selesaikan tulisan untuk teman-teman smp, sebagaimana yang aku janjikan untuk Yayuk dan Inti. Sekitar tengah malam, selesai aku bikin draft tulisan yang masih belum rapi, alhamdulillah masih bisa menyelesaikan program Khatam Al Qur'an dan Tafsirnya. Sudah sampai pada QS Ali Imran sekitar 30an ayat, berarti nyaris 4 juz. Lumayan, mengingat masih hari ke-2 puasa. Hanya saja memang, belum sempat baca dan memahami tafsirnya. Lalu otomatis, ketiduran. Dan pagi ini, sesampai di kantor, aku sudah bisa rapikan tulisan untuk teman smp dimaksud dan segera aku send tulisan itu. Inilah dia...

Jadikan Sabar Sebagai Hikmah Puasa Ramadhan
M. Taufiq El Rahman

Judul diatas semestinya adalah “Jadikan Sabar dan Shalat Sebagai Penolongmu” sebagaimana ayat Wasta’iinu bis shobri was sholat. Karena padanan kata sabar biasanya adalah shalat. Namun, demi memenuhi permintaan khusus dari rekan Yayuk dan Pengelola Blog untuk mengisi rubrik hikmah ramadhan di blog reunismpsatuwonogiri.com ini, agar tidak kehilangan relevansi dengan ibadah puasa yang sedang kita laksanakan, persoalan sabar saya coba jadikan target sebagai hikmah yang mestinya bisa kita dapatkan dalam puasa.

Selama ini orang seringkali salah menafsirkan kata sabar, dimana sikap ini dipandang sebagai sikap yang statis, pesimis, pasif dan no choice. Sehingga kata-kata sabar mengalami pergeseran dan pendangkalan makna yang luar biasa dan semakin jauh dari konteks yang sebenarnya. Kita lihat saja, biasanya orang mengatakan kepada temannya saat sedang sedih dengan kondisi yang ada, misalnya, ”Sudahlah teman, sabar saja.. Wonogiri emang daerah yang kering dan minus, jadi ya sabar saja. Habis mau gimana lagi”, atau dalam kata-kata lainnya, “Sudahlah, kemampuan kita emang hanya sampai segini, jadi ya sabar saja”. Sebuah nasihat yang tampaknya sangat bijak, namun apakah diucapkan dalam konteks dan makna yang tepat?
Padahal sesungguhnya sabar adalah suatu sikap aktif, dinamis, ada unsur gerak, action, dan bukannya diam, statis, pasif dan no choice sebagaimana kata-kata diatas. Dan sabar bukanlah sikap pasif dan jelas disebut dalam Al Qur’an sebagai hal yang tidak mudah untuk dilakukan, kecuali tentunya bagi orang yang beriman. Tidak kurang 50 ayat dalam Al Qur’an yang memerintahkan kepada umatnya untuk bersikap sabar. Apakah mungkin Allah memerintahkan manusia agar diam, pasif, statis dan no choice? Tidak mungkin bukan. Sabar ini sebenarnya merupakan ajaran yang sangat universal. Saudara-saudara kita yang beragama Budha misalnya, pun memiliki ajaran yang sama, dimana Sang Budha pernah mengatakan,”Kebencian tidak pernah bisa diredam dengan kebencian. Hanya dengan cinta kebencian bisa mereda. Ini adalah hukum alam”. Demikian juga saudara kita yang beragama Kristen/Katolik, ada ajarannya yang relevan dalam Lukas 6: 27-28,”Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membencimu, mintalah berkat bagi orang yang mengutuk kamu, berdoalah bagi orang yang mencaci kamu”.

Bukankah itu pesan yang sangat indah, bahwa ketidaksabaran atau pelampiasan emosi hanya akan mendatangkan kepuasan sesaat saja, yang pada akhirnya akan mendatangkan penyesalan di kemudian hari. Bicara soal kepuasan sejati adalah spiritual happiness, yakni saat kita memberikan sesuatu kepada orang lain karena itu akan sangat menyentuh hati nurani kita, atau dalam bahasa lain God Spot, unconscious mind, soul, jiwo, atau etos kita. Sedangkan kebahagiaan pada level yang lebih rendah adalah physical happiness dan emotional happiness, yakni saat kita menerima sesuatu yang menyenangkan dari orang lain, bisa berbentuk penghargaan, perasaan atau fisik.


Makna Sabar

Apakah makna sabar itu? Dalam bahasa Arab, kata ini terdiri dari tiga makna. Pertama, al man’u, artinya menghindarkan diri. Dari apa? Dari semua hal yang membawa pada kesengsaraan, kemaksiatan dan kesalahan. Yang kedua, al hasbu, artinya mencegah. Dari apa? Dari semua perbuatan yang dilarang dan maksiat. Ketiga, asy syiddah, artinya sangat kuat, teguh, konsisten, istiqomah dalam sikap. Tentunya sikap dalam konteks kebaikan.

Bagaimana menggunakan sabar dan kapan mengimplementasikannya?
Sabar dapat dikategorikan menjadi dua, yakni pertama adalah sabar fisik dan kedua adalah sabar jiwa. Sabar fisik juga terbagi menjadi dua macam, yakni sabar terpaksa dan sabar sukarela.
Sabar fisik yang masuk kategori terpaksa, misalnya seseorang yang dilahirkan dalam keadaan tidak lengkap inderanya. Contoh lain misalnya kita sedang sakit, atau manusia yang semakin uzur sehingga kondisi fisiknya makin melemah. Demikian juga saat kita menghadapi bencana alam, gempa bumi, gunung meletus, tsunami dan lain sebagainya. Itu adalah suatu kondisi yang tidak bisa dihindari, sunnatullah dan tidak ada pilihan bagi objeknya untuk memilih. Pun, saat kondisi fisik manusia yang semakin tua dan uzur maka tidak akan bisa memilih kembali menjadi muda, atau saat ada gempa bumi, kita tidak bisa menolaknya. Oleh karena itu ini disebut sebagai sabar fisik yang terpaksa. Lalu bagaimana dengan sabar fisik yang sukarela? Yakni saat kita mempunyai pilihan apakah akan menggunakan fisik kita untuk bersikap sabar ataukah tidak. Ada pilihan (choice). Misalnya kendaraan kita mengalami tabrakan dengan kendaraan lain maka ada pilihan bagi kita apakah kita perlu memperturutkan emosi kita dan menggunakan fisik kita untuk hal yang tidak berguna, misalnya meninju lawan kita, menggertak, ataukah kita lebih memilih untuk bersabar diri untuk menghindari konflik.

Demikian juga sabar jiwa, ada dua, yakni sabar yang termasuk kategori terpaksa dan sabar yang termasuk kategori sukarela. Saat keluarga kita ada yang meninggal dunia maka kita terpaksa menerimanya karena memang tidak bisa kita tolak. Sedangkan sabar sukarela saat kita membersihkan jiwa kita dari hal-hal yang mengotorinya, misalnya iri, dengki, negative thinking, sos (senang melihat orang susah atau sebaliknya susah melihat orang senang), sinis, susah suka memvonis dan penyakit hati lainnya. Ini adalah sabar sukarela, karena ada proses internalisasi dan proses transformasi yang dibentuk dari dalam diri kita sendiri, merupakan pilihan kita sendiri, melalui proses kesadaran kita sendiri karena kita merasa bahwa ini adalah lebih baik bagi kita. Bukankah Allah telah berfirman dalam surat Asy Syams,”Allah mengilhamkan sukma kefasikan dan kebaikan. Beruntunglah bagi yang mensucikannya dan merugilah bagi yang mengotorinya”.
Bukan hanya manusia, bahkan hewan pun ternyata bisa bersabar. Bedanya, kesabaran hewan adalah dalam kategori sabar terpaksa. Misalnya saat berbagai jenis hewan mau kita sembelih untuk dimakan, maka hewan bersikap sabar. Kenapa? Karena memang mereka tidak punya pilihan (choice) dalam hidupnya dan tidak berdaya terhadap manusia, dan memang fithrah mereka untuk digunakan bagi kepentingan umat manusia. Karena manusia telah dilengkapi dengan inftrastruktur yang lebih sempurna dibanding hewan, maka semestinya kita renungkan, apakah kesabaran kita ini masih pada level terpaksa karena memang tidak punya pilihan, ataukah lebih dari itu, yakni sabar sukarela yang muncul dari kesadaran diri untuk memilih sabar sebagai sikap hidup.


Konteks Sabar dalam Kehidupan Kita

Dikaitkan dengan konteksnya, sabar ada tiga macam. Pertama, sabar dalam menjalankan perintah Allah. Dalam keseharian, melaksanakan sholat tepat waktu, membaca Al Qur’an, menghadiri pengajian, shalat malam, berpuasa dan lain sebagainya sesungguhnya bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan secara konsisten dan istiqomah. Kenapa? Banyak hal kesenangan yang harus kita korbankan, misalnya kita tidak bisa berleha-leha, bersantai ria dan sering juga kita mengalami kemalasan untuk melakukan itu. Adalah sebuah perjuangan untuk melawan rasa malas. Dan perjuangan itulah kesabaran. Bayangkan, saat kita puasa sekarang ini, betapa banyak hal kesenangan duniawi yang secara kasat mata kita korbankan, bukan hanya yang diharamkan bahkan terkadang yang halalpun kita korbankan. Itu semua perlu pengorbanan, dan inilah urgensi kesabaran dalam perjuangan itu.

Kedua, sabar dalam menjauhi larangan Allah. Mengapa kok banyak sekali larangan Allah dalam hidup kita? Kita dilarang berdusta, berjudi, membicarakan aib orang, menipu, berzina, meminum alcohol, berjudi, berselingkuh dan lain sebagainya. Padahal, perbuatan berselingkuh, minum alkohol, dan teman-temannya itu, --kata orang lho ya-- bukankah perbuatan yang menyenangkan bagi pelampiasan nafsu kita. Kenapa dilarang? Allah melarang karena perbuatan itu akan menimbulkan berbagai kerusakan dimuka bumi. Untuk itu, dibutuhkan kesabaran dan perjuangan yang kuat.

Ketiga, sabar dalam menerima taqdir Allah. Apapun yang menimpa kita, kita harus bersabar menghadapinya. Baik atau buruk, semua itu adalah ketentuan Allah yang selalu ada hikmahnya bagi kita.
Ketiga hal diatas harus kita pupuk dan kita pelihara untuk diimplementasikan dalam kondisi dan situasi apapun dan bagaimanapun. Kalau ketiga hal ini sudah bisa kita lakukan, setiap hari perintah Allah sudah kita laksanakan dengan penuh kesabaran, setiap hari kita menghindari semua larangan Allah dengan sikap sabar, dan setiap hari kita juga sabar menerima apapun ketentuan dan taqdir Allah maka hidup kita akan jauh lebih nyaman.


Objek Sabar

Lalu, apa saja objek yang kita harus sabar? Setidaknya ada 7 objek, yakni, pertama, kita harus sabar dalam mengelola syahwat kemaluan kita. Ini hal tidak mudah, namun harus diatasi. Organ-organ syahwat ini diciptakan untuk sesuatu yang baik, misalnya untuk berkembang biak, meneruskan keturunan, saling kasih-mengasihi, saling melengkapi dan lain sebagianya. Namun kita lihat, industrialisasi dan komersialisasi syahwat ini sedemikian menjadi bisnis yang tidak pernah mengalami resesi dan downturn dalam situasi ekonomi apapun. Mungkin hanya pada bulan ramadhan saja sedikit ada jeda, setelah itu biasanya rame lagi. Banyak problem sosial yang terjadi. Misalnya banyak anak-anak yang lahir tanpa jelas siapa orangtuanya, aborsi terjadi dimana-mana, skandal yang terjadi bahkan di tempat-tempat yang terhormat. Bayangkan berbagai problem sosial yang timbul sebagai dampak manusia tidak mampu mengelola syahwatnya, demi kenikmatan yang dirasakan hanya sesaat beberapa menit saja.

Kedua, kita diminta sabar dalam urusan syahwat perut. Organ-organ dalam perut dianugerahkan oleh Allah kepada kita dengan sangat sempurna dan memiliki presisi yang sangat tinggi, sampai pada sel-sel, atom, molekul, dan organ yang lebih kecil lainnya. Kalau kita tidak mampu mengelola syahwat perut maka sesuai dengan sabda Rasulullah bahwa perut adalah sumber dari segala penyakit. Makanya banyak berbagai penyakit karena ketidakmampuan dan ketidaksabaran manusia mengelola syahwat perut, diantaranya obesitas, kanker, stroke, jantung dan lain sebagainya. Karenanya beliau mencontohkan untuk makan sebelum lapar dan berhenti sebelum kenyang. Dan juga isi perut idealnya berisi dalam tiga bagian, sepertiga untuk makanan, sepertiga air dan sepertiga udara.

Ketiga, kita diminta sabar dalam mengelola syahwat ucapan. Kita harus sabar untuk tidak mengucapkan kata-kata yang hanya sekadar menimbulkan kemarahan orang lain, dusta, memburuk-burukkan orang lain dan lain sebagianya. Ini bukan perkara sepele dan bukan pula hal yang gampang untuk dilakukan. Perlu perjuangan dan kesabaran untuk menahan diri. Kita lihat, bukankah terkadang kita senang dan menikmati berbagai tayangan infotainment yang mengumbar aib seseorang sampai pada hal-hal yang sangat pribadi, dalam media cetak maupun elektronik. Kita membeli majalah, tabloid, dan turut menyebarkannya tanpa pernah peduli betapa malunya orang yang diberitakan aibnya makin beredar oleh kita.
Keempat, kita perlu sabar dalam mengelola syahwat kekuasaan. Ambisi adalah sesuatu hal yang positip namun ambisius cenderung negative. Kalau kita tidak bisa mengelola hal ini dan tidak bersikap sabar, yang timbul adalah sikap menghalalkan segala cara untuk mencapai ambisi kekuasaan itu.
Kelima, kita diminta untuk mengelola emosi kita. Emosi adalah anugerah, namun tetaplah harus dikelola dan dikontrol dengan baik. Karena kalau tidak, akan mengakibatkan berbagai kerusakan.
Keenam, sabar dalam mengelola syahwat harta. Kita dibolehkan mencari harta, bahkan sebanyak-banyaknya, namun harus diperoleh dengan proses yang baik, etik dan halal. Dan ada hak orang lain, yakni zakat. Harta yang diperoleh pun sesungguhnya akan dimintai pertanggungjawaban, dari proses untuk mendapatkannya, proses dalam mengalokasikannya dan memanfaatkannya. Betapa harta yang diperoleh akan justru menjadi boomerang saat kita tidak bisa mempergunakannya dengan baik, untuk peduli dan berbagi dengan sesama, untuk meningkatkan kualitas ibadah kita kepada Allah, untuk menafkahi keluarga pada hal-hal yang positip.
Ketujuh atau terakhir, sabar dalam mengelola syahwat hedonis, yakni kecenderungan untuk semata menikmati hal-hal yang menyenangkan dalam hidup. Hedonisme focus pada kesenangan, dan bisa memunculkan kemalasan, serba instant dan memilih jalan pintas.


Akhirnya, Eureka… Dapatkan Hikmah Sabar di Bulan Ramadhan ini..

Ramadhan adalah proses pembelajaran, continuous learning process bagi kita, yang kita terima tiap tahun. Sudahkah selama ini ada dampaknya bagi kita? Lalu apa implikasi sikap sabar dalam kehidupan kita? Sikap sabar biasanya menimbulkan optimisme dan sikap positif thinking dan positif feeling bagi kita. Orang yang sabar akan selalu punya pengharapan yang baik, optimisme dan hal ini akan mendorong untuk selalu berbuat yang terbaik, dinamis dan aktif.

Saat kita bisa melakukan sikap sabar dengan ikhlas, sebagaimana ikhlasnya kita melakukan shalat atau puasa, adalah merupakan perbuatan yang positip. Perasaan kesal, jengkel, penasaran atau tidak ikhlas adalah perbuatan yang negative. Menurut F. Bailes, Pikiran yang positif akan menyehatkan sel-sel tubh, sebaiknya pikiran yang negative akan merusak sel-sel tubuh. Pikiran yang positive, yang terbentuk, berproses, berinternalisasi dalam diri, bertransformasi dalam alam bawah sadar kita (unconscious mind), jiwa, soul, etos, maka akan menjadi doa yang didengar oleh para malaikat dan diamini, dan akan didengar langsung oleh Allah. Karena, bukankah sesuai firmannya, Allah sangat dekat dengan kita bahkan lebih dekat dari urat nadi kita. Sebaliknya saat seseorang selalu bersikap negatif thinking, pesimis, kecewa, frustasi, merasa kalah, merasa tidak bisa, itupun pada hakekatnya akan membelenggu suara hati, sehingga saat lisan berdoa untuk mendapatkan sesuatu yang baik sementara pikiran dan jiwa masih terbelenggu, bukankah itu menjadi hal yang kontradiktif.

Demikianlah, semoga dengan puasa ramadhan ini, banyak hal yang kita kelola berbagai syahwat diatas, dan hal itu akan menjadikan kita dalam kategori orang yang sabar. Sehingga saat selesai ramadhan kita akan menjadi jiwa yang fitri. Insya Allah.

Referensi:
Bahan Renungan Kalbu, Penghantar Mencapai Penderahan Jiwa, Ir. Permadi Alibasyah.
Sabar Sebagai Perisai Diri, Prof. Dr. Hj. Musdah Mulia, MA, APU

Tidak ada komentar: