Kamis, 25 September 2008

Materi.. oh materi...

Barusan, 5 menit yang lalu, aku terima sms dari mantan mertuaku. SMS Pertama:
”Wis rampung sidange. Ruko dan rumah jadi milikku, dia dapat 30 juta. Yen deweke sayang anak rasah banding, arep tak tukokne koskosan an hudasyifa kabeh or ibu tapi langsung di ahli wariske cah2.. Yen dadak banding keburu aku kawin maneh malah mengko repot urusane, sakne hudasyifa”.

Lalu disambung sms kedua

Yo rapopo. Aku gek ketemuan karo sing arep tuku ruko. Aku ra masalah, mulai dari nol ndak kesenengen bojoku sing anyar. Tur nek golek bojo kudu sing luwih sugih”.

Selama ini hubunganku dengan mereka, mantan mertuaku, baik sekali. Bahkan jauh lebih baik dibandingkan mereka dengan anaknya sendiri. Rupanya interaksi yang selama ini tampak saling memahami posisi, saling menghargai, saling menghormati, itu hanya berlaku sampai 1 bulan yang lalu. Saat anakku diambil paksa oleh Hani saat aku di kantor, lalu mungkin di situlah skenario mereka, kemudian anak-anak dibawa ke Jogja. Begitu mereka bisa nyambung dalam komunikasi dan interaksi, entah kenapa tiba-tiba sikap orang yang sangat aku hormati itu berubah. Enrah dikomporin anaknya secara habis-habisan, atau ingin mendapatkan kemanfaatan dari sidang harta bersama kami yang sedang berlangsung. Yang jelas, tiba-tiba orangtuanya masuk dalam sidang dan membuat suatu statemen yang sangat memojokkanku dan menguatkan posisi anaknya. Dalam smsnya satu bulan yang lalu bapaknya sempat mengatakan kepadaku, agar aku gak perlu kalut dengan perkembangan kondisi yang ada. Aku bilang gak bakal kalut untuk hal-hal seperti itu, hanya saja aku perlu positioning terhadap orang-orang yang membantu Hani. Karena bagitu saat ini yang kulawan bukanlah Hani secara personil, tapi sifat-sifat Hani bersama pengikut-pengikutnya. Makanya kalau mereka berada dalam barisan Hani maka aku harus memposisikan mereka dengan jelas dan tegas.

Apakah aku kalut dengan sms yang telah menginformasikan keputusan yang jelas-jelas tidak merepresentasikan keadilan itu? Sejak awal ketua majelis hakim emang sudah menyiratkan condong kepada Hani, bahkan sebelum sidang tersebut dimulai. Kalau melihat kejadian-kejadian sebelumnya hal ini ada kaitannya dengan uang. Bahkan ada banyak sekali keanehan-keanehan dalam persidangan kalau mau diungkap. Sudahlah.

Aku tersenyum melihat sms itu. Aku membayangkan betapa bahagianya dia memperoleh kemenangan besar dalam sidang. Setelah dia menguasai sebagian besar aset bersama; Rumah di kompleks Satwika Telkom Jatiasih, Rumah di kompleks Graha Harapan Bekasi Timur, mobil baleno tahun 2002, dan uangku hutanganku dari kantor dalam jumlah besar yang akan aku gunakan untuk membeli mobil. Itu pada episode pertama, begitu dia menguasai hasil penjualan aset-aset tersebut, dan langsung melakukan berbagai upaya sistematis yang sangat tidak elok, yang tidak perlu aku ekspos lagi, lalu episode kedua dia berusaha untuk melakukan segala upaya untuk menguasai aset lainnya, yakni rumah di BJI dan sebuah ruko di Plaza Bekasi. Dan ternyata dia berhasil. Hebat. Bahkan aku yang telah mempergunakan jasa lawyer pun kalah. Terlepas dari kapasitas lawyerku yang memang dibawah standar dan sangat memprihatinkan itu. Tapi sudahlah. Aku gak perlu dan berusaha untuk tidak akan pernah akan mengungkit, menyalahkan, kecewa, marah, atau perasaan-perasaan lain. Kecuali untuk sekadarnya, untuk sekadar introspeksi dan mereview kejadian sebelumnya saja. Setelah aku menjalani berbagai hal penting dalam kehidupanku, apakah aku akan kembali seperti masa-masa lalu dengan mengejar, mengusahakan, dan melakukan segala upaya yang berorientasi materi?

To be continued..

Tidak ada komentar: