Rabu, 24 September 2008

In Memoriam Mama Annie Razak; Sebuah Testimony

Hari itu, 14 September 2008, saat hari itu aku mengikuti training esq, berita mengagetkan itu aku terima. Selama ramadhan ini aku emang berniat untuk merefresh suasana hati, menjaga agar kondusif dan selaras dengan suasana ramadhan, salah satunya dengan menghadiri training esq. Rasa-rasanya diri ini tak bosan-bosannya diingatkan dan ditegur dengan ayat-ayatNya, dari training ke training. Kupahami karena ini adalah perjalanan spiritual, meski dilalui dalam waktu singkat, dan bukannya training perjalanan logika dan pengembangan wawasan yang orang akan cepat bosan saat sudah pernah mengalami. Ini kulakukan semenjak menjelang ramadhan juga, meski tidak selalu mengikutinya dengan intensif. Untuk training kemaren aku emang udah berniat untuk mengikuti secara tuntas, kebetulan lokasinya di sekitar Bekasi.
Di hari yang kedua itulah, saat di tengah dalam suasana yang dibuat gelap dan hening, mendadak handphoneku bergetar dan berkerlip. Aku melirik sebentar, kulihat nama FT yang meneleponku. Aku segera balas dengan pesan singkat, “FT, sori aku lagi dalam ruang training esq. Nanti aku call balik ya”. Habis itu handphone aku masukkan ke dalam tas lebih kedalam agar tidak terlalu mengganggu suasana training. Sekitar pukul 5 sore, saat training udah hampir usai, aku buka handphoneku, ternyata ada balasan pesan singkat dari FT,”Mas, mamanya IZ meninggal tadi siang”. Deggg! Inna lillahi wa inna ilaihi raji’uun. Betapa kagetnya diri ini mendapat informasi ini. Sejenak dengan cepat memori ini kembali ke beberapa bulan yang lalu, saat dimulai dengan perkenalanku dengan seorang wanita di sebuah cafĂ© Steak di Buncit, lalu berlanjut dengan mengenal teman2 dan sahabat2nya, FT, RN, EL, RI. Dan tentu saja, saat pembicaraan kami yang lebih banyak dilakukan tidak secara langsung face to face, hanya melalui sms dan email, namun mulai menemukan frekuensi yang sama, berlanjut aku mengenal keluarganya; Papa, Mamanya dan adiknya. Dan orang yang barusaja diberitakan telah meninggalkan kita tersebut adalah mamanya. Sahabat dari anak-anaknya banyak memanggil beliau dengan sebutan Mama, karena demikian dekatnya wanita itu dengan sahabat-sahabat anaknya yang dianggapnya seperti anaknya sendiri.
Perkenalanku dengan IZ, begitulah nama anak tertua beliau, sebetulnya belum begitu lama, sekitar bulan Maret 2008 yang lalu. Namun dalam waktu yang tidak begitu lama tersebut, seolah aku telah lama mengenal dia, keluarga dan sahabat-sahatnya. Sejenak aku merenung, betapa beberapa jam terakhir ini, semenjak kemaren sebenarnya aku sudah sangat ingin menelepon dia, untuk sekadar menanyakan gimana perkembangan kondisi kesehatan mamanya. Aku ingat beberapa hari yang lalu, saat malam itu aku meneleponnya, dengan nada gembira dia memberitakan bahwa kondisi mamanya berangsur membaik, setelah cairan dalam paru-parunya mulai disedot, tinggal menuntaskan yang masih tersisa. Makanya waktu mendengar kabar duka ini aku sangat kaget.
Masih terbayang dalam benakku, saat pertama kali aku ke rumah IZ untuk ketemu dan Papa dan Mamanya, yang menyambutku dengan sangat hangat. Mamanya sempat berkata dan berpesan, yang kata IZ diucapkan mamanya dengan penuh keharuan dan berkaca-kaca. “Anakku jangan diajak menderita ya. Kalau sampai itu terjadi, saya yang pertama kali tidak ikhlas”. Itulah pesan terakhir yang demikian dalam terhadapku, sebagai ekspresi keinginan seorang Ibu untuk kebahagiaan anaknya. Setelah kunjunganku tersebut, kita sempat satu mobil, saat IZ mengantarkanku sekaligus mengantarkan Mamanya ke Carrefour MT. Kuingat sekali betapa cerianya beliau saat itu, dengan humor-humor segarnya. “Listriknya lagi mati mas, makanya kita pergi ke mall aja untuk ngadem sejenak”, kata beliau. Sepanjang perjalanan itu suasana rame dan hangat karena kendaraan berisi anggota keluarga, yang disebut IZ sebagai keluarga Extra Vaganza. Seorang mama yang ceria, semangat, humoris, penuh canda tawa yang menyegarkan suasana, mirip dengan anaknya, dan sangat energik, tipe tidak bisa istirahat.
Pertemuan selanjutnya dengan mama Annie adalah saat aku mengantar kepulangan beliau bersama Papa, kembali ke Lombok. Kami melepas beliau berdua di Bandara, bersama IZ dan EL. Rasanya pertemuan dengan beliau terasa begitu singkat dan ternyata saat di Bandara itulah pertemuanku dengan beliau yang terakhir kalinya. Dalam pertemuan terakhir itu, sempat aku ingin mengenal mamanya lebih jauh, namun ternyata Allah berkehendak lain. Begitu cepat beliau dipanggilNya. Mudah-mudahan beliau nyaman berada di sisiNya, amien.
Kembali pada keinginanku untuk menelepon IZ sejak malam sebelumnya, yang ternyata tertunda-tunda sampai tidak sempat kesampaian meneleponnya. Malam itu adikku, Amin, yang lagi mengerjakan project kerjasama UGM-Partnershipnya TTK, datang dari Jogja mengingap di kediamanku, dan ngobrol, bersama Toni sampai tengah malam. Sempat kami memperbincangkan soal mama yang sedang sakit di Lombok. Mereka sempat menggodaku,”Kok gak bezoek kesana?”. Aku tersenyum saja mendengar itu, tanpa menjawabnya. Dalam suasana yang lumayan capek, kebanyakan air mata tumpah di training esq, tengah malam itu aku tidur. Tadinya aku pengin menelepon Iez, namun sudah terlalu malam. Kupikir besok pagi saja. Menjelang shubuh, Amin berangkat ke Bandara karena flight pesawat ke Jogja pagi hari. Sedangkan aku ke musholla, yang pagi itu aku ada jadual untuk mengisi kultum. Habis kultum, sebagaimana biasanya kalau hari Minggu, para jamaah banyak yang masih berdiam diri di musholla, ngobrol, dan pagi itu aku memang sudah menjanjikan untuk memutar film documenter tragedy kemanusiaan di Halmahera Utara, Tobelo, tempat aku sebagai saksi mata kejadian tersebut. Cukup lama ternyata waktu untuk memutas film, karena obrolan berkembang kemana-mana. Habis itu, dalam kondisi terlambat satu dua sessi training esq, aku langsung meluncur ke Cikarang. Lagi-lagi keinginanku untuk menelepon Iez masih belum kesampaian. Kupikir, nanti siang saja, saat break, atau paling lambat saat menjelang berbuka puasa waktu NTB.
Aku tersadar lagi dari lamunanku, dan inilah kenyataan yang terjadi, kabar itu begitu mengagetkanku. Beberapa kali aku coba kontak Iez, namun ternyata belum bisa nyambung. Aku bisa memaklumi karena kondisi psikologik dia yang belum bisa menerima telepon. Saat aku kontak FT, ternyata dia sedang dalam perjalanan menuju Bandara untuk berangkat ke Mataram, Lombok. Kubilang sebenarnya aku pengin juga berangkat, namun hari itu kayaknya waktunya terlalu mepet. Sampai di rumah, sekitar jam 20.00 BBWI, aku mencoba kontak ke beberapa travel untuk cari tiket ke Mataram, namun masih nihil.
Baru besok harinya, 15 September 2008 saat aku iseng-iseng menelepon Batavia Air, ternyata masih ada tiga buah tiket ke Mataram. Aku langsung acc untuk booking tiket tersebut, lalu aku bayar. Alhamdulillah, akhirnya dapat juga tiket yang kuinginkan. Aku ingin menemani Iez dan keluarga yang dalam keadaan duka saat itu. Pesawat berangkat jam18.00 BBWI, delay sekitar 1 jam dari waktu yang semestinya. Sampai di Mataram ternyata sudah cukup larut, yakni sekitar pukul 22.30 BBWI. Aku langsung ke hotel Mataram. Sampai menjelang Mataram aku masih belum bisa kontak Iez maupun keluarganya. Kupikir, yang penting aku ke Mataram dulu, soal alamat yang aku tuju, rumahnya, itu soal gampang.
Sampai di hotel, aku sempat baca koran Lombok Post di lobby hotel. Terpampang informasi bertajuk berita duka, AN meninggal dunia. Ada ulasan beberapa kerabat dan sahabatnya yang mengemukakan betapa seorang Annie masih sangat dibutuhkan oleh masyarakat Lombok. Banyak kontribusi beliau yang mengembangkan potensi pariwisata di Lombok. Almarhum meninggalkan suami dan 2 orang anak. Dalam hati aku berbisik dan meralat berita tersebut, meninggalkan suami dan 2 orang anak plus satu calon menantu. Amin, bisikku lagi menambahkan. Ohya, malam itu aku mendapatkan hotel dengan cepat, sebuah hotel yang bagiku sangat murah dibandingkan dengan fasilitas dan lokasinya. Aku bisa langsung meluncur ke hotel ini, sungguh seolah aku sangat dimudahkan olehNya. Di pesawat aku sempat ngobrol dengan teman baru sebangku, dari Depkes yang sedang kunjungan singkat ke Mataram. Di Bandara dia dijemput dari Depkes setempat, dan menawariku untuk cari hotel yang sama dengan dia. FT namanya, dia bilang, ”Aku juga baru sekali kesini mas, dan aku juga takut sendirian”. Alhamdulillah, kami dicarikan hotel yang cukup representative, dan di waktu mendatang kalau kesini lagi mungkin tempat ini cukup recommended. Malam yang udah larut, aku sempat smsan dengan Iez. Dia ngasih alamat rumah, yang ternyata sama dengan hasil yang aku dapatkan dari searching di catalog bni pagi sebelum berangkat.
Namun ternyata pagi sampai siangnya aku belum bisa kesana. Tadinya ak mau nyari kaos dan baju, karena kepergianku ke Mataram ini tidak aku persiapkan sebelumnya. Saat aku tanya mall terdekat ke sopir yang mengantar kami, dia menawarkan diri untuk mencarikan tempat yang khas, yakni di Cakra, dan menawarkan diri untuk mengantarkan aku mencari rumah Iez. Tawaran yang sangat baik. Namun ada sedikit yang harus aku korbankan ternyata, yakni aku tidak bisa sesegera ke rumah Iez, karena ternyata mbak FT mengajak dulu ke pantai Senggigi. “Soalnya siang ini aku balik ke Jakarta mas, jadi sayang kalo tidak sempat lihat Senggigi. Aku sendiri pulang sore menjelang maghrib, kupikir tak apa juga mampir sejenak ke Senggigi. Perjalanan sejenak ke tempat wisata yang sebenarnya tidak pas, dan tentu saja tidak enjoy, karena niatku kesini semata ingin menemani IZ dan keluarganya.

Sekitar jam 13.00 BBWI aku baru bisa ke rumah Iez. Sebuah rumah yang asri, berhalaman luas, dan tampak suasananya masih cukup ramai.
to be continued..

Tidak ada komentar: